Ilustrasi: Jokowi - CNBC
Ilustrasi: Jokowi - CNBC

Koran Sulindo – Perekonomian dunia terguncang. Termasuk di Indonesia. Semua terdampak wabah Covid-19 yang hingga hari ini masih terus berlangsung. Jurang resesi pun sedang menunggu di depan. Sudah ada lima negara yang terjun ke jurang resesi yaitu Singapura, Jerman, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Hong Kong.

Bagaimana dengan Indonesia? Posisi Indonesia saat ini berada di ambang pintu resesi. Meski pertumbuhan kuartal II/2020 (periode April-Juni) belum diumumkan, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto memperkirakan pertumbuahan berada di kisaran -3,8% hingga -4,2%. “Bahkan ada prediksi yang mendekati -4,5%,” kata Airlangga pada pekan ketiga Juli lalu.

Dari paparan Airlangga itu dipastikan pertumbuhan pada kuartal II/2020 akan negatif. Benar, isu ini sudah lewat, yang penting adalah ke depan. Lantas bagaimana kemungkinan di kuartal III dan IV tahun ini? Agar ekonomi bergerak, pemerintah pasca-Lebaran 2020 mulai melonggarkan berbagai kebijakan pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran wabah corona.

Itu sebabnya, kondisi jalanan mulai padat bila dibandingkan dengan April-Mei lalu. Pusat perbelanjaan pun sudah mulai buka walau masih sepi pengunjung. Pedagang kaki lima juga sudah mulai tampak ramai menjajakan dagangannya. Pemerintah menamai kondisi ini sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi yaitu pembukaan kembali aktivitas sosial ekonomi secara bertahap.

Meski begitu, kondisi tersebut tidak serta merta mendorong roda ekonomi bergerak kencang. Itu sebabnya, para pengamat dan pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 akan tetap negatif walau tak lagi sedalam kuartal II.

“Tentu pemerintah berharap di kuartal III minimal kita bisa menjaga agar situasi tidak terlalu dalam, tetapi bisa recover mendekati -1% atau 0%,” ujar Airlangga.

Masalahnya bukanlah semata-mata krisis ekonomi sosial itu. Pandemi Covid-19 yang menjadi akar masalah belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Justru jumlah kasus baru dari waktu ke waktu terus bertambah termasuk di Indonesia. Inilah persoalan pokok yang dihadapi pemerintahan Joko Widodo.

Selain dampak ekonomi, aktivitas politik pun terganggu. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini, misalnya, telah mengalami penundaan dari awalnya September 2020 diundur ke Desember 2020. Namun, tidak ada jaminan pula perhelatan Pilkada itu pasti terselenggara mengingat tren wabah Covid-19 masih berlangsung.

Karena situasi ini, muncul wacana untuk memberikan kesempatan kepada Jokowi mewujudkan janji-janji politiknya. Sebab, fokus pemerintahannya hari ini fokus menangani wabah Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional. Jadi, kapan Jokowi bekerja sebagai presiden selain mengurus Covid-19?

Politikus senior PDI Perjuangan Emir Moeis mengusulkan untuk memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk menunaikan janji-janjinya dalam kampanye dulu. Terlebih semua orang, pikiran, energi lebih memprioritaskan penanganan Covid-19. Mulai dari bupati, wali kota, gubernur, polisi, hingga presiden, menghadapi hal yang sama. Khusus pejabat publik yang harus melalui suatu proses pemilihan. Tapi apakah mungkin dalam keadaan seperti ini bisa dilakukan pemilihan?

Kata Emir, syukur Pilkada sudah ditunda dari September ke Desember. Tapi, hingga Juli ini wabah Covid-19 masih saja meningkat. Tentu saja semua berharap September nanti wabah ini sudah hilang sehingga ada waktu 3 bulan berkampanye untuk Pilkada Desember. Tapi kalau ternyata meningkat bagaimana?

Pun demikian dalam hal pemilihan presiden (Pilpres). Rasanya tidak adil jika Jokowi pada tahun-tahun 2022-2023 nanti kita bandingkan dengan janji-janji politiknya yang cukup banyak, dari janji-janji ekonomi, janji infrastruktur, dan sebagainya yang notabene sudah hampir satu tahun ini tidak bisa dilaksanakan dengan penuh. Semuanya terkikis dengan permasalahan Covid. Anggaran juga terkikis bencana tersebut.

Lantas bagaimana bisa kita menilai Jokowi kalau begitu? Emir berpendapat perlu diberikan kesempatan kepada Jokowi untuk membuktikan janji-janji politiknya, dalam keadaan yang normal, bukan seperti dalam keadaan saat seperti sekarang ini. Setidaknya Jokowi diberi kesempatan memerintah hingga 2025 atau paling bagus diberi kesempatan 3 kali.

Emir merujuk kepada fakta Presiden Amerika Serikat (AS) Franklin D. Roosevelt yang pernah menjabat hingga 4 periode. Padahal, kata Emir, AS disebut sebagai negara “raja” demokrasi. Sebelum menyimpulkannya, ada baiknya kita menelusuri mengapa Roosevelt bisa terpilih sebagai presiden AS selama empat periode.

Roosevelt
Dalam How FDR Became the First—And Only—President to Serve Four Terms yang dimuat history.com, diceritakan bahwa Roosevelt menjadi presiden pertama dan hanya satu-satunya di AS yang terpilih sebanyak empat periode berturut-turut. Pasalnya, konstitusi AS ketika itu belum membatasi masa jabatan seorang presiden. Baru pada amandemen ke-22, konsitusi AS membatasi jabatan presiden hanya dua periode.

Roosevelt disebut menjadi presiden pertama dan terakhir yang memenangi lebih dari dua periode berturut. Untuk periode ketiga Roosevelt mungkin agak sama situasinya dengan hari ini. AS dan dunia diterpa krisis yang dikenal sebagai Depresi Besar periode 1929 hingga 1939. Juga karena Perang Dunia II baru saja dimulai pada waktu itu.

Krisis itu kemudian memungkinkan Roosevelt untuk terus menjabat sebagai presiden. Demi kestabilan karena krisis Malaise itu. Menurut Profesor University of Virginia’s Miller Center Barbara Perry, faktor internal karena Depresi Besar dan faktor eksternal di mana Perang Dunia II baru saja dimulai, juga karena kecakapan politiknya membuat Roosevelt kembali terpilih sebagai presiden AS pada 1936.

Untuk jabatan keempatnya, Roosevelt terpilih pada 7 November 1944. Tentu ini menjadi sejarah baru yang terjadi d AS. Akan tetapi, untuk jabatan keempatnya ini, ia hanya sempat berkuasa setahun. Tepat pada 13 tahun berkuasa, ia meninggal dunia di kantornya pada 1945.

Kendati mendapat dukungan luas dari rakyat, tidak semua orang bahkan termasuk pendukungnya menyetujui langkah Roosevelt untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada periode ketiganya. Penasihat utama Partai Demokrat pada waktu itu justru memutuskan untuk meninggalkan Roosevelt. Bahkan di beberapa tempat yang menjadi lokasi kampanyenya ditemui sebuah slogan “FDR Out at Third”.

Menurut Profesor Perry, terlepas dari popularitas Roosevelt, sepertiga orang AS terutama orang-orang bisnis merupakan penentang utamanya. Para pebisnis itu menilai Roosevelt akan membawa AS ke arah sosialisme. Karena itu, wacana pembatasan jabatan presiden pun mulai lagi menjadi pembicaraan publik.

Partai Republik menjadi pendukung utama pembatasan jabatan masa presiden. Juga beberapa orang Partai Demokrat setuju dengan gagasan tersebut. Alasan pembatasan tersebut untuk menghindari tirani dalam pemerintahan. Masa waktu 16 tahun atau empat periode disebut sebagai ancaman yang paling berbahaya untuk kebebasan AS. Karena itu, dua tahun setelah kematian Roosevelt, Kongres meloloskan amandemen ke-22 konstitusi AS yang membatasi masa jabatan presiden hanya untuk 2 periode.

Wacana
Kembali kepada pemikiran Emir Moeis soal memberi kesempatan 3 kali kepada Jokowi dengan alasan krisis kesehatan yang kemudian menjalar ke krisis ekonomi dan sosial. Kendati situasinya hampir mirip karena dunia sedang mengalami krisis, perbedaan mendasar terletak kepada aturan-aturan yang termuat dalam konstitusi, baik di AS semasa Roosevelt maupun Jokowi di Indonesia saat ini.

Berdasarkan UUD 1945 setelah reformasi, pada Pasal 7 disebutkan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Sesudahnya mereka dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Dengan kata lain, masa jabatan presiden dan wakil presiden di Indonesia hanya bisa untuk dua periode yang lamanya 10 tahun.

Wacana periode masa jabatan presiden ini juga sempat menyeruak ke publik pada akhir 2019. Masa jabatan presiden berdasarkan UUD 1945 hanya bisa dua periode kemudian diusulkan ditambah menjadi tiga periode. Wacana itu seiring dengan usul amandemen UUD 1945 yang sedang digodok Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).

Dengan perubahan itu lewat amandemen UUD 1945, maka sangat memungkinkan Jokowi akan menjabat satu periode lagi. Di samping usulan tiga periode, ada pula yang mengusulkan perubahan masa jabatan presiden itu untuk satu periode tapi dengan masa 8 tahun.

Wacana penambahan masa jabatan presiden itu atas nama konsistensi pembangunan. Akan tetapi, sebagian pihak mengingatkan agar wacana penambahan masa jabatan presiden lewat amandemen itu harus pula melibatkan publik. Dengan demikian, publik tidak terkejut dengan perubahan tersebut.

Soal wacana ini, Presiden Jokowi juga sudah pernah menanggapinya. Pada waktu itu, ia tidak setuju dengan usul masa jabatan presiden diperpanjang tiga periode. Karena itu, ia curiga pihak pengusul wacana itu justru ingin menjerumuskannya.

Jokowi menilai ada tiga motif pengusul dalam hal penambahan masa jabatan presiden. Pertama, ingin menampar mukanya; kedua, mencari muka; atau ketiga ingin menjerumuskannya. Jokowi memastikan dirinya merupakan produk pemilihan langsung UUD 1945 pasca-reformasi. Karena itu, wacana amandemen UUD 1945 agar tidak melebar ke mana-mana, cukup fokus tentang haluan negara.

Benar ketika itu Jokowi menolak. Namun, dalam perkembangannya tidak ada yang menduga dan menyangka dunia kini dilanda krisis kesehatan karena wabah Covid-19 dan telah berdampak pula terhadap masalah ekonomi dan sosial. Seperti kata Emir, yang diuntungkan kalau Jokowi tiga kali adalah rakyat kecil. Apalagi sudah terbukti program pembangunan berjalan sebagaimana yang lalu, yang telah teruji dan terbukti, terutama di proyek infrastruktur seperti jalan, kereta api, airport, tol laut, dan lain-lain.

Untuk Jokowi, perpanjangan itu tidak ada untungnya kecuali pengabdian. Toh Jokowi sudah dua kali jadi presiden, kata Emir. [Kristian Ginting]