Koran Sulindo – Sulit untuk mengakui demokrasi kita saat ini sudah kebablasan. Istilah ini muncul ketika masyarakat mulai merasakan sedikit “kebebasan” selepas jatuhnya rezim Orde Baru (Orba) di bawah jenderal fasis Soeharto. Ditambah sebagian masyarakat sudah berani bersuara untuk menuntut hak-hak demokratisnya meliputi ekonomi, politik dan kebudayaan.

Sesungguhnya, terutama sejak rezim Orba berdiri, rakyat sama sekali tidak pernah merasakan demokrasi. Karena sesungguhnya “demokrasi” yang dikampanyekan Orba adalah semu, hanya “pemanis bibir” agar penguasa terlihat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Justru, faktanya kata itu dipakai untuk membungkam rakyat.

Rakyat kemudian sedikit merasakan kebebasan selepas Orba jatuh pada 1998. Keran kebebasan berpendapat dan kebebasan pers mulai dibuka. Namun, tak ada yang menyangka, sejak itu, kekuatan yang setia pada status quo justru memanfaatkannya untuk mengkonsolidasikan kekuatannya di panggung politik. Hampir dua dekade sejak reformasi, kekuatan pro status quo seperti tentara dan polisi kini kembali tampil dalam kehidupan masyarakat.

Kehadiran tentara dan polisi itu bisa kita rasakan secara nyata. Semisal, program TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) yang ditetapkan pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) menggandeng TNI untuk mengawal pengelolaan dana desa. Terbaru adalah keberadaan nota kesepahaman (MoU) antara Kepolisian RI dan TNI untuk menghadapi demonstrasi dan mogok kerja. Juga rencana mengkaryakan kepolisian sebagai pelaksana tugas gubernur pada pemilihan kepala daerah serentak 2018.

Dari sisi kebebasan berpendapat, Kementerian Komunikasi dan Informatika pernah menggandeng Dewan Pers untuk membuat aturan barcode sebagai alat bantu untuk memverifikasi media yang “jelas” dan media yang dianggap tidak jelas. Walau barcode  mirip “bredel” pada masa Orba, Dewan Pers dan pemerintah beralasan itu diperlukan untuk mencegah hoaks atau berita bohong dan berita palsu.

Juga aturan Surat Keterangan Penelitian (SKP) 2018 yang sempat diterbitkan Kementerian Dalam Negeri. Kendati telah dibatalkan, aturan ini tadinya mengatur tentang riset agar tertib administrasi dan pengendalian pelaksanaan penelitian dalam rangka kewaspadaan terhadap dampak negatif yang diperkirakan akan timbul dari proses penelitian dan tidak pengkajian terhadap substansi penelitian.

“Dengan berbagai pertimbangan, saya sebagai Mendagri membatalkan/mencabut Permendagri tersebut yang memang belum diedarkan dengan pertimbangan akan menyerap aspirasi berbagai kalangan, khususnya akademisi, lembaga penelitian, dan DPR secara mendalam,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seperti dikutip detik.com pada pekan kedua Februari 2018.

Berdasarkan fakta tersebut, istilah “demokrasi kebablasan” itu menjadi tidak tepat. Justru lewat berbagai perangkatnya, negara hendak membatasi – jika bukan membungkam dan menindas – rakyat karena sudah sadar dengan hak-hak demokratisnya. Apalagi kenyataannya, korporasi lewat negaralah yang merampas sumber-sumber penghidupan rakyat baik ekonomi, politik maupun kebudayaan.

Fasisme
Kemunculan kekuatan tentara dan polisi ini semakin mempertegas tesis Lenin yang bisa kita baca lewat karyanya Negara dan Revolusi. Dalam karyanya itu, ia menyebut aparatur keamanan seperti polisi dan tentara adalah mesin negara. Mengutip Marx, Lenin menuturkan, lewat “tata tertib” kekuatan penindas akan melegalkan dan mengekalkan penindasan. Seperti politikus kita hari ini, borjuis kecil (kaum sosial demokrat), kata Lenin, menyebut “tata tertib” bukan sebagai alat penindas melainkan alat untuk “mendamaikan” kaum tertindas dan penindas.

Lenin karena itu menyimpulkan “pembebasan kelas tertindas bukan hanya tidak mungkin tanpa revolusi dengan kekerasan, tetapi juga tidak mungkin tanpa penghancuran aparat kekuasaan negara yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa dan yang merupakan penjelmaan dari ‘pengasingan’ itu.”

Sementara itu, profesor Jose Maria Sison, seorang intelektual dari Filipina berpendapat, fenomena kehadiran tentara dan polisi dalam kehidupan sosial masyarakat merupakan karakteristik fasisme. Dalam karyanya yang berjudul The Social Basis Of A Fascist State, fasisme merupakan reaksi penguasa terhadap bangkitnya kesadaran gerakan rakyat yang menderita akibat krisis politik dan ekonomi.

Karena itu, penguasa merasa memerlukan cara baru untuk menjaga kestabilan sistem “demokrasi” yang mereka bangun selama ini. Di negara-negara berkembang atau Sison menyebutnya dengan negara setengah jajahan – setengah feodal, penguasa fasis tentu saja menikmati dukungan dari negara imperialis Amerika Serikat dan kaum borjuis komprador.

Persis seperti fasis Eropa dan Jepang di masa lalu, fasisme di negara-negara Dunia Ketiga merupakan aturan tirani kaum penguasa komprador. Umumnya kelompok militer akan ikut berkuasa meski yang memimpin dari kalangan sipil ataupun militer. Dan mereka acap mengkampanyekan slogan anti-komunis secara masif untuk menutupi diri mereka sebagai “boneka” Amerika Serikat.

Selain fakta yang sudah disebutkan, ciri fasisme lainnya, menurut The Institute For National and Democratic Studies (Indies) adalah kecenderungan kenaikan anggaran militer baik di Indonesia maupun secara global. Kendati tidak sedang berkonflik dengan negara manapun, di Indonesia kenaikan belanja militer dan persenjataan umumnya karena isu ketegangan kawasan dan pembaruan alutsista yang telah tua.

Namun, kata Direktur Eksekutif Indies Kurniawan Sabar, konflik yang acap terjadi dan terbesar berkaitan dengan agraria. Ini merupakan konsekuensi dari eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam. Di banyak kasus, kata Kurniawan, pemodal kerap menggunakan aparat militer dan kepolisian untuk menjaga kepentingan mereka, baik dalam kasus perkebunan, pertambangan, kehutanan maupun penggusuran yang mengatasnamakan pembangunan.

Bukankah karakteristik dan ciri-ciri demikian sangat nyata di Indonesia? Selain meningkatnya anggaran pertahanan dan kepolisian saban tahun, Presiden Joko Widodo, misalnya, berdasarkan catatan media telah dua kali menyatakan akan menggebuk Partai Komunis Indonesia jika kembali muncul di Indonesia. Atas dasar ini, sulit rasanya untuk mengatakan tidak ada fasisme di Indonesia. [Kristian Ginting]