Menakar Inflasi Setelah Kenaikan Tarif Listrik

BPS rilis angka inflasi Mei 2018 hanya 0,21% [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Inflasi diprediksi akan meningkat pada Maret dan Mei lantaran tarif dasar listrik untuk pelanggan 900 VA naik. Prediksi berdasarkan laju inflasi pada Januari tahun ini yang melesat menjadi 0,97 persen dari sebelumnya 0,42 persen pada Desember 2016.

Badan Pusat Statistik (BPS) karena itu mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai laju inflasi tersebut. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, selain kenaikan tarif listrik, inflasi pada Januari lalu juga dipicu kenaikan biaya administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).

Menurut Suhariyanto, hal yang sama juga akan terjadi pada Maret dan Mei karena ada kenaikan beban. Harga tarif listrik baru secara resmi diberlakukan pada Maret ini dari Rp 791 per kilo Watt hour (kWh) menjadi Rp 1.034 per kWh. Pada Mei nanti harganya menjadi Rp 1.352 per kWh. Dengan begitu, pada Juli nanti, tarif listrik untuk 12 golongan telah mengalami penyesuaian tarif.

Inflasi ini juga berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah. Di pasar spot nilai tukar rupiah melemah 0,19 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sebelumnya nilai tukar rupiah adalah Rp 13.361 per dolar dan naik menjadi Rp 13.363 per dolar.

“Kenaikan inflasi ini tidak bisa dihindari karena aturan telah ditetapkan. Tak mungkin diubah dan pemerintah telah menghitungnya dengan matang,” kata Suhariyanto di Jakarta, Rabu (1/3).

Meredam Inflasi
BPS setidaknya yakin pemerintah akan meredam inflasi itu dengan mengendalikan komponen penyumbang inflasi lainnya yaitu komponen gejolak harga pangan. Dan itu sudah dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia sepanjang bulan lalu dan berhasil.

Buktinya sumbangan komponen gejolak harga pangan untuk inflasi Februari 2017 menurun. Dari 0,67 persen menjadi 0,36 persen. Jika ini tetap berlanjut, maka potensi laju inflasi pada Maret dan Mei akan mampu dikendalikan pemerintah.

Analis PT Esandar Arthamas Berjangka Tonny Mariano mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak semata-mata karena inflasi. Tapi, karena Gubernur The Fed wilayah Philadelphia, Patrick Harker mendukung kenaikan suku bunga bulan ini.

Angka inflasi yang disebutkan BPS, kata Tonny, sebenarnya masih terjaga dan bahkan secara teori mendukung rupiah. Pergerakan rupiah pada Kamis (2/3) besok disebut akan kembali terpengaruh sentimen eksternal, apalagi data dalam negeri sangat minim. [KRG]