Sebanak 600 delegasi dari 16 negara anggota RCEP, bertempat di International Convention Exhibition BSD Serpong, Tangerang Selatan [Foto: tribunnews.com]

Koran Sulindo – Tidak banyak yang menyoal betapa berbahayanya Perjanjian Perdagangan Bebas dan Investasi (FTAs) melalui Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Putaran ke-16 perundingan RCEP yang diselenggarakan 6 hingga 10 Desember 2016 di BSD Serpong, Tangerang Selatan juga tidak mendapat banyak perhatian.

Padahal FTAs tidak lagi sekadar membahas aturan perdagangan, tapi juga mengurusi investasi, hak kekayaan intelektual, belanja pemerintah hingga badan hukum milik pemerintah. Salah satunya berkaitan dengan akses terhadap obat paten dan mungkin akan berdampak pada obat Antiretroviral (ARV) untuk penderita HIV/AIDS.

Dan kini berkembang wacana ARV berbayar bagi penderita AIDS yang selama ini menerima obat secara gratis alias subsidi dari negara. Di saat yang bersamaan, pemerintah tidak menyediakan alternatif bagi penderita HIV/AIDS.

Organisasi rakyat seperti Jaringan Aksi Perubahan Indonesia yang fokus pada kesehatan mendesak menteri perdagangan untuk menolak ketentuan monopoli atas obat-obatan paten itu. Apalagi ketentuan itu akan membatasi perkembangan obat-obatan generik yang tertuang dalam perjanjian RCEP.

Korea Selatan dan Jepang merupakan negara yang ngotot mendesakkan ketentuan hak intelektual atas obat paten. Kendati Amerika Serikat (AS) tidak ikut dalam RCEP, nampaknya skema blok perdagangan bebas ini mencontoh aturan-aturan yang termuat dalam Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPPA). Lewat aturan ini, maka AS juga akan merengguk keuntungan atas hak intelektual obat paten.

Ketentuan tersebut hanya akan memperpanjang monopoli atas obat paten oleh AS dan sekutunya. Aturan ini melampaui perjanjian yang diatur dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terutama dari aspek Trade-Related Intellectual Property Rights (TRIPS).

India menentang gagasan Korsel dan Jepang. Negara ini mencoba memberikan usulan yang lebih moderat bagi pemegang hak paten dan negara pengguna. Dengan demikian, rakyat terutama negara-negara berkembang masih bisa menjangkau obat paten itu.

India merupakan produsen terbesar untuk obat-obatan generik di dunia. Negeri ini memasok lebih dari 80 persen ARV generik bagi penderita HIV/AIDS terutama kalangan menengah ke bawah. Jika aturan ini ditetapkan, maka kalangan menengah dan miskin akan kesulitan mengakses obat yang mereka butuhkan termasuk ARV. Dan ini membahayakan para penderita HIV/AIDS.

Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan putaran ke-16 RCEP yang secara resmi dibuka pada 6 Desember lalu. Kegiatan ini dihadiri 600 delegasi dari 16 negara, bertempat di International Convention Exhibition BSD Serpong, Tangerang Selatan.

Skema regional ini melibatkan 16 negara. Indonesia disebut sebagai penggagas bersama Tiongkok. Selain 10 negara Asean, keanggotaan RCEP meliputi Jepang, India, Korea Selatan dan Selandia Baru. Dibanding TPPA, RCEP meliputi sekitar 3,5 miliar penduduk atau setara 45 persen dari jumlah penduduk dunia.

Dengan jumlah US$ 23 triliun dari total produk domestik bruto meliputi sepertiga dari total luas wilayah dunia. Ini akan menjadi blok perdagangan bebas terbesar di dunia. [KRG]