Menakar Ahok dan Langkah PDI Perjuangan

Djarot Saiful Hidayat (duduk, kiri) dan Megawati Soekarnoputri (duduk, kanan) dalam sebuah acara PDI Perjuangan di Jakarta.

Koran Sulindo – Politik, ada yang mengatakan, adalah seni kemungkinan. Juga tentunya adalah seni menjalankan kepentingan dan, dalam tataran praktis, seni untuk untuk meraih kekuasaan. Dan, seperti umumnya karya seni, manuver politik pun bisa melahirkan banyak tafsir.

Itulah yang terjadi ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menghadiri acara haul 1.000 hari wafatnya Taufiq Kiemas, mantan Ketua MPR yang suami dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, 8 Juni 2016 lalu.

Ada yang menafsir, hadirnya Ahok di acara haul itu adalah upaya “mengambil hati” Megawati agar ia bisa diusung PDI Perjuangan dalam Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, meski telah menyatakan akan mencalonkan dirinya lewat jalur perseorangan. Bahkan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menafsir, Ahok sudah mulai tidak percaya diri untuk maju lewat jalur perseorangan. Namun, kata Muhaimin lagi, sah-sah saja Ahok merapat ke PDI Perjuangan. “Ya, bagus. Karena, independen tanpa didukung partai itu akan ributlah,” katanya di sela-sela acara haul tersebut.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan DKI bidang Pemenangan Pemilu Gembong Warsono juga mengatakan hal serupa. “Kenapa dia menggoda partai politik? Rasanya, bagi saya, Ahok sudah enggak percaya diri juga sekarang. Percaya dirinya menurun. Karena menurun, dia menggoda-goda partai politik,” tuturnya.

Gembong berpandangan, alasan logis di balik mulai tidak percaya dirinya Ahok maju melalui jalur perseorangan adalah intens-nya komunikasi yang dilakukan sejumlah partai. “Dia melihat juga bahwa intensitas komunikasi yang dibangun partai politik di DKI Jakarta cukup tinggi sehingga memengaruhi kepercayaan diri Ahok,” kata Gembong.

Ketika Ahok keluar dari rumah Megawati setelah acara haul itu, ada pula yang menafsirkan PDI Perjuangan tidak akan mengusung Ahok. Karena, Ahok keluar dari rumah Megawati dengan air wajah yang tidak ceria.

Ahok sendiri membantah ada pembicaraan soal pemilihan kepala daerah dengan Megawati dalam kesempatan tersebut. “Enggak ada, enggak ada,” katanya.

Namun, sehari sebelum acara itu, 7 Juni 2016, Ahok menginformasikan dirinya telah bertemu dengan Megawati Soekarnoputri. Dalam pertemuan itu, katanya, Megawati menyarankan Ahok agar tetap berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat (Wakil Gubernur DKI Jakarta sekarang, kader PDI Perjuangan) pada pemilihan gubernur nanti. “Bu Mega enggak pernah maksa. Bu Mega cuma bilang, ‘Kalian itu sudah baik berdua.’ Gitu, lo,” ujar Ahok.

Ahok mengaku, dirinya merespons pernyataan Megawati itu dengan menjawab bahwa ia sudah telanjur memutuskan maju melalui jalur perseorangam. “Saya bilang, ‘Ini kan sudah telanjur, Bu.’,” katanya

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Ahmad Basarah, kemungkinan partainya mengusung Ahok masih terbuka. Namun, sebelum itu, Ahok harus mengakui telah salah jalan karena memilih jalur perseorangan. “Harus ‘tobat politik’ dulu,” ujar Basarah.

Yang juga harus dilakukan Ahok, lanjutnya, adalah mengikuti tahapan-tahapan yang telah digariskan partai. “Termasuk mengikuti uji kepatutan dan kelayakan,” kata Basarah. PDI Perjuangan, tambahnya, tak mau salah langkah dalam mengusung calon Gubernur DKI Jakarta.

Pernyataan yang senada juga diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira. Meski peluang Ahok masih terbuka, katanya, Ahok perlu menyelesaikan sejumlah urusan, antara lain dengan pendukung Ahok di jalur perseorangan, Teman Ahok. “Peluang ada, tapi Ahok urusi dulu relawannya. Karena, kami juga memperhitungkan hal-hal itu,” kata Andreas.

Sampai awal Juni lalu, Teman Ahok mengklaim telah mengumpulkan fotokopi KTP dukungan untuk Ahok sebanyak 900 ribu lembar, meski syarat minimal KTP pada pilkada hanya 750 ribu (7,5% dari penduduk Jakarta). Ahok yakin, pada 20 Juni 2016, fotokopi KTP dukungan yang terkumpul sudah mencapai 1 juta.

Sampai saat ini, Ahok memang masih berkukuh melalui jalur perseorangan, meski terbuka kemungkinan gagal melewati tahapan verifikasi faktual seperti dituntut Undang-Undang Pilkada yang direvisi dan telah disahkan DPR awal Juni lalu. Fotokopi KTP sebagai bentuk dukungan calon independen harus diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum. “Ada kemungkinan gagal. Kami jalan terus,” kata Ahok.

Ahok terkesan memang pesimistis pada verifikasi aktual itu. Karena, memang, fakta di lapangan, umumnya orang-orang yang menyerahkan fotokopi KTP ke Teman Ahok adalah kelas menengah-atas yang memiliki rutinitas kesibukan yang relatif tinggi. Jadi, diduga, kemungkinan mereka bisa hadir secara fisik ketika KPUD melalukan verifikasi faktual sangat kecil. Diakui Ahok pula, aturan soal verifikasi faktual itu bakal mempersulit pendukung calon perseorangan.

Mungkin itu sebabnya Ahok ditafsirkan mulai mencari dukungan PDI Perjuangan, partai pemenang pemilihan umum. Apalagi, pada awal Juni lalu, Ahok juga mengatakan tidak menutup kemungkinan untuk kembali berpasangan dengan Djarot pada masa pemilihan kepala daerah 2017 mendatang. Malah, ia mengungkapkan, jika nantinya memang dirinya akan maju bersama Djarot, Heru Budi Hartono yang sebelumnya digadang sebagai calon wakilnya pasti bisa memaklumi. “Kalau belum talak tiga mah begitu, kan? Kecuali talak tiga, mesti menikah dulu, nanti cerai lagi. Nah, begitu kan?” kata Ahok di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, 2 Juni 2016.

Ia juga menyatakan, skenarionya memang akan seperti itu jika dia benar-benar diusung PDI Perjuangan. “Kalau diusung PDIP pasti sama Djarot dong. (Tapi) Kita kan tetap independen,” ujarnya. Ahok mengaku kasihan kepada Teman Ahok yang sedang berusaha mengumpulkan satu juta data KTP untuk mendukung dirinya lewat jalur perseorangan.

Pihak PDI Perjuangan sudah menegaskan berkali-kali tidak akan pernah mendukung calon perseorangan. “PDI Perjuangan hanya mencalonkan mereka yang bersama PDI Perjuangan menempuh jalan kepartaian untuk rakyat,” kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di Jakarta, 30 Maret 2016.

Diungkapkan Hasto, pengelolaan pemerintahan membutuhkan kerja sama eksekutif dan legislatif. Jalur partai politik dianggap lebih bisa menyinergikan dua hal itu. “Untuk mengelola pemerintahan diperlukan sebuah kepemimpinan yang mampu menyatupadukan seluruh potensi tersebut, bukan yang memecah belah potensi-potensi itu,” tuturnya.

Dengan jumlah kursi terbanyak di DPRD DKI Jakarta, 28 kursi, PDI Perjuangan merupakan satu-satunya partai yang bisa mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sendiri, tanpa harus berkoalisi. Namun, sinyal untuk berkoalisi dengan partai politik lain pun telah ditiupkan dari “kandang banteng”.

Keinginan untuk berkoalisi itu patut diapresiasi, karena bisa dilihat sebagai implementasi semangat gotong-royong untuk membangun negeri ini. Dengan berkoalisi, kemungkinan mendapat calon berkualitas dan berkompeten untuk diusung sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pun lebih terbuka lebar.

Sungguhpun begitu, siapa pun calon yang diusung PDI Perjuangan nanti mestilah memahami dengan benar serta memiliki rekam jejak yang dipenuhi sikap dan tindakan yang sesuai garis perjuangan PDI Perjuangan: Pancasila 1 Juni 1945. Sekadar mengingatkan, beginilah bunyi Pancasila: 1 Ketuhanan yang Maha Esa; 2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3 Persatuan Indonesia; 4 Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; 5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila, mestinya memilih siapa pun pemimpin daerah dan pemimpin negeri ini menjadi relatif mudah. Patokannya sudah jelas. Inilah (sebenarnya) salah satu kehebatan Indonesia dan kehebatan Bung Karno yang telah merumuskan Pancasila.  [DIS/PUR]