Koran Sulindo – Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyatakan, kebakaran hutan dan bencana asap harus tetap menjadi prioritas pemerintah dan menjadi tanggung jawab perusahaan sebagai dalang utama kasus itu. Dikatakan Sekjen AGRA, M. Ali, pemerintah harus memastikan upaya penegakan hukum dilakukan dengan menyasar korporasi bukan masyarakat adat dan petani peladang sebagai korban.
Di samping merespons upaya kriminalisasi terhadap pejuang agraria, pernyataan tersebut disampaikan Ali karena korporasi yang telah dihukum justru mengabaikan putusan pengadilan. Karena itu, ancaman pembakaran hutan dan lahan serta bencana asap masih akan terus “meneror” rakyat. Pemerintah dinilai tidak tegas terhadap korporasi pelaku pembakar hutan dan lahan.
Sikap ketegasan pemerintah itu, kata Ali, semata-mata untuk memberi rasa keadilan kepada masyarakat yang menjadi korban dari pembakaran hutan dan bencana asap. “Pemerintah harus tegas mencabut izin-izin perusahaan yang terbukti membakar lahan,” kata Ali dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.
Di Kalimantan Tengah, masyarakat sipil sedang mengajukan gugatan warga negara kepada pemerintah atas kebakaran hutan dan bencana asap yang terjadi pada 2015. Hasilnya, pengadilan mengabulkan gugatan warga negara. Akan tetapi, pemerintah mengajukan upaya kasasi atas putusan tersebut. Dengan kata lain, sikap dan posisi pemerintah sebetulnya tidak ingin bertanggung jawab memenuhi hak-hak korban pembakaran hutan dan bencana asap.
Kartika Sari, salah satu penggugat mengatakan, gugatan itu merupakan sikap warga negara yang menginginkan keadilan atas kasus pembakaran lahan dan bencana asap. Pasalnya, kasus tersebut dinilai telah merenggut masa depan masyarakat terutama anak-anak, pihak yang paling rentan terpapar asap akibat pembakaran lahan dan hutan. “Pemerintah harus menjamin hak warga negara dan menjalankan putusan pengadilan bukan melakukan kasasi,” kata Kartika.
Sedangkan aktivis Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharudin mengatakan, upaya menghentikan pembakaran hutan dan bencana asap tidak terlepas dari peran serta kewenangan pemerintah menjalankan tata kelola pemerintah yang baik dan menghentikan rantai pasok industri yang kotor. Harus ada kebijakan yang kuat untuk melindungi hutan yang tersisa dan lahan gambut dari ancaman investasi yang berusak serta menghentikan penghilangan hutan.
“Saat ini sudah ada sekitar 45 ribu orang yang menandatangani petisi dan menginginkan pemerintah mengambil tindakan untuk melindungi hutan dan lahan gambut,” kata Rusmadya.
Soal upaya gugatan korporasi terhadap ahli yang dipakai negara ketika di pengadilan, Ali berpendapat, itu sebagai bentuk kriminalisasi. AGRA, kata Ali, sudah sejak awal menduga korporasi adalah dalang utama pembakaran hutan dan lahan selama ini. Fakta itu juga menunjukkan negara belum tegas kepada korporasi yang melakukan praktik pembakaran hutan dan bahkan mengabaikan putusan pengadilan
Akademisi IPB Bambang Hero Saharjo digugat PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) ke Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat pada pertengahan September lalu. Bambang Hero digugat dan meminta pengadilan menyatakan perbuatan Bambang Hero melawan hukum karena keterangannya sebagai ahli kebakaran hutan dan lahan dinilai cacat hukum, tidak memiliki pembuktian dan dinyatakan batal demi hukum. Sebelum Bambang Hero, kriminalisasi serupa juga dialami Basuki Wasis, juga ahli dari IPB pada 2013. [KRG]