Koran Sulindo – Setelah 10 tahun berkuasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut gagal dalam menegakkan hak asasi manusia [HAM]. Terutama pada masanya pula Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] merekomendasikan agar membentuk empat hal terkait dengan kasus penculikan aktivis pada 1997/998.
Adapun empat rekomendasi itu adalah membentuk Pengadilan HAM, mencari 13 orang aktivis yang masih hilang, merehabilitasi dan kompensasi pada keluarga korban serta meratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa. Dari empat rekomendasi itu, tidak ada satu pun yang dijalankan Presiden Yudhoyono hingga kekuasaannya berakhir pada 2014.
Aktivis Ikatan Orang Hilang [Ikohi] Mugiyanto Sipin pada Agustus 2014 melalui dinding Facebook-nya sempat menuliskan kekecewaannya pada pemerintahan Yudhoyono. Menurutnya, pemerintah Yudhoyono telah menyia-nyiakan harapan masyarakat selama 10 tahun.
Pada saat yang sama Mugiyanto menitipkan harapannya pada pemerintah baru yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ikohi disebut secara kritis akan mengawal Jokowi untuk merealisasikan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat terutama kasus penculikan 1997/1998.
Harapan Mugiyanto menjadi wajar mengingat Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu ketika berkampanye pada Pemilihan Presiden 2014. Janji Jokowi itu pun tertuang dalam visi misi yang mengambil judul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian”.
Dalam berdaulat secara politik, Jokowi bersama Kalla menyatakan komitmennya menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 196.
Hari ini tepat dua tahun Mugiyanto menyatakan kekecewaannya terhadap Yudhoyono dan menitipkan harapannya pada Jokowi untuk menyelesaikan kasus penculikan aktivis 1997/1998. Hari yang bertepatan dengan Hari Penghilangan Orang Secara Paksa Internasional. Namun, janji dan komitmen Jokowi masih jauh panggang dari api.
Celakanya para pelaku yang terlibat dalam kasus penculikan aktivis 17 tahun lalu mendapatkan keistimewaan. Pendeknya, karier para pelaku setidaknya yang tercatat empat orang justru moncer dan sebagian dari mereka sudah menyandang pangkat jenderal. Ironis. Padahal Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 6 April 1999 menghukum mereka bersalah dan tiga di antaranya dipecat dari TNI.
Keempat orang yang menjadi anggota Tim Mawar dan terlibat dalam penculikan aktivis pada 1997/1998 yang menerima kenaikan pangkat menjadi brigadir jenderal adalah Kolonel Inf Fauzambi Syahrul Multazhar (Wakil Komandan Tim Mawar yang dulu bernama Fausani Syahrial Multhazar), Kolonel Inf Drs Nugroho Sulistyo Budi, Kolonel Inf Yulius Selvanus dan Kolonel Inf Dadang Hendra Yuda.
Selain perlakuan istimewa yang diperoleh anggota Tim Mawar, hal serupa juga terjadi pada pimpinan mereka yakni Letjen. Purn. Prabowo Subianto. Ketika tiga organisasi sipil yaitu Kontras, Setara Institute, dan Imparsial meminta salinan surat keputusan pemecatan melalui mekanisme Keterbukaan Informasi Publik [KIP] pada Mabes TNI, surat itu disebut hilang.
Padahal surat tersebut diperlukan untuk menindaklanjuti kasus penculikan dan penghilangan paksa. Terlebih kasus itu yang menjadi alasan utama Prabowo dipecat melalui sidang Dewan Kehormatan Perwira akhir 1998. Dalam sidang KIP pada 2015, Mabes TNI memastikan surat yang dimaksud tidak dalam kuasanya sehingga sidang DKP diragukan.
Fakta ini menunjukkan, persoalan ini tidak hanya soal administratif, tapi bahwa negara belum menjadikan kasus pelanggaran HAM dalam mempromosikan seorang perwira. Maka, tidak usah heran impunitas terhadap mereka para perwira yang diduga pernah melanggar HAM akan terus berlanjut. Itu pula yang terjadi saat ini. Meski hubungan Luhut Binsar Pandjaitan yang menjadi salah satu menteri Jokowi memiliki pasang surut dengan Prabowo, tapi karena jiwa korsa, Luhut akan tetap melindunginya dan juga terhadap perwira lainnya. Lalu, akankah Mugiyanto dan para korban pelanggaran HAM kembali menelan kekecewaan? [KRG]