Memperkuat Pengawasan Koperasi

Ilustrasi kasus gagal bayar Koperasi Indosurya/Istimewa

Koran Sulindo – Kasus gagal bayar koperasi kembali terjadi di Indonesia. Kali ini menimpa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta. Para anggota KSP Indosurya tak bisa lagi mendapatkan simpanan yang ditaruh ke koperasi tersebut beserta imbal hasilnya.

Tentu masih segar ingatan kita bagaimana Koperasi Langit Biru, Koperasi Pandawa dan Koperasi Cipaganti yang menyisakan cerita pilu tentang para anggotanya. Kisah menyedihkan beberapa tahun lalu itu kembali terulang di kasus Indosurya.

Dalam kasus Indosurya kali ini, nilainya pun memang tak sedikit bisa melebihi Rp 10 triliun. Jika nilai gagal bayar ini benar, maka inilah jumlah kerugian terbesar sepanjang sejarah kasus gagal bayar koperasi. Dalam kasus Koperasi Langit Biru, koperasi tersebut tak bisa membayar kewajiban hingga Rp 6 triliun. Lalu di Koperasi Pandawa, koperasi ini tak bisa mengembalikan kewajiban ke anggotanya hingga Rp 3 triliun.

Mirip dengan kasus sebelumnya, pengurus Indosurya pun harus berurusan dengan polisi. Dan proses pengembalian kewajiban ke anggota ini masuk ke pengadilan melalui mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Dalam kasus di polisi sudah ada dua tersangka yakni petinggi koperasi HS dan SA. Dalam hal ini, para tersangka dijerat dengan Pasal 46 UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. “Berisi ancaman hukuman bagi pihak yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, tanpa izin dari Bank Indonesia (BI) diancam hukuman penjara minimal lima tahun maksimal 15 tahun dan denda Rp 10 miliar sampai dengan Rp 20 miliar,” ujar Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra.

Jika melihat pasal yang disangkakan memang cukup unik karena polisi menetapkan dengan pasal UU perbankan padahal dalam kasus ini adalah koperasi. Makanya para kuasa hukum tersangka juga mempertayakan penetapan pasal perbankan dalam kasus ini. Karena Indosurya tak perlu mendapatkan izin dari BI. Indosurya berkilah sudah mendapatkan izin dari Kementerian Koperasi dan UKM.

Namun terlepas dari perdebatan soal pasal yang diterapkan, pertanyaan yang lebih pas adalah pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM memang tak terlihat dari setiap kasus gagal bayar koperasi. Walau Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Agus Santoso sempat mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap KSP Indosurya Cipta pada 26-30 November 2018.

Dari pemeriksaan itu, kata Agus, ditemukan sejumlah pelanggaran administratif. Pada 26 Februari 2019, KSP Indosurya lalu dikenakan sanksi administratif berbentuk peringatan pertama untuk segera memperbaiki beberapa temuan yang ada. Hingga akhirnya memang koperasi ini masuk dalam pengawasan khusus kementerian Koperasi dan UKM. Lagi-lagi, pengawasan khusus ini pun ternyata belum cukup untuk memberikan perlindungan ke anggota koperasi.

Kasus Koperasi: Rumit
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai masalah koperasi di Indonesia memang rumit. Secara umum, karena kurangnya pengawasan dari Kementerian Koperasi dan UKM serta suku dinas koperasi di daerah – daerah.

“Pengawasan kurang sehingga pengelolaan dana kurang transparan. Jadi, kalau dana investasinya besar bisa mengalir ke mana-mana sehingga penyalahgunaan bisa terjadi karena kurang pengawasan dari lembaga terkait,” kata Eko.

Dibandingkan bank, pengawasan koperasi dinilai lebih longgar. Pertama, dari sisi kelembagaan, pembentukan koperasi lebih mudah karena hanya perlu diisi oleh beberapa orang anggota atau tidak lebih dari 10 orang.

Kedua, usaha koperasi berbeda dengan bank yang sudah diatur secara ketat atau high regulated dari Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya saja, jika bank menetapkan bunga terlalu tinggi maka bisa ditegur oleh OJK, BI dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).

“Kalau bunganya tinggi, pasti ditanya kenapa bisa tinggi sekali. Karena rasio bunganya dinilai terlalu tinggi maka disemprit,” kata Eko.

Berbanding terbalik dengan koperasi. Dengan pengawasannya yang lemah, pemegang saham atau pengurus koperasi bisa saja menetapkan bunga lebih tinggi dari bank untuk menarik minat masyarakat.

Terlebih, mereka tidak diwajibkan menyampaikan laporan keuangan secara rutin maupun real time seperti bank. Jika terdapat persoalan di koperasi, kementerian atau lembaga terkait berpotensi memberikan sanksi tapi muncul pertanyaan apakah akan ditindaklanjuti secara cepat. Berkaca dari kasus gagal bayar sebelumnya memang sama sekali tak ada cerita happy ending dari setiap proses pidana maupun perdata.

Misalnya saja Koperasi Langit Biru yang cukup menggemparkan pada 2012. Koperasi ini awalnya bernama PT Transindo Jaya Komara (TJK). Jenis usaha mereka adalah pengelolaan daging dan hasil peternakan, bekerja sama dengan 62 penyuplai daging sapi. Perusahaan itu milik Jaya Komara. Ia bukan seorang ahli ekonomi. Jaya Komara adalah seorang mantan penjual kerupuk.

Untuk menjaring investor, Koperasi Langit Biru menawarkan paket investasi dengan iming-iming bunga yang tinggi. Hingga akhirnya Jaya Komara berhasil mengumpulkan hingga Rp 6 triliun. Jaya Komara menyebutkan uang itu untuk dikelola kembali di bisnis daging sapi. Namun, dari hasil penelusuran aparat kepolisian, bisnis di Tulung Agung ternyata tidak menghasilkan dan selama ini Koperasi Langit Biru bekerja gali lubang-tutup lubang atau hanya mengandalkan uang setoran investor baru yang masuk untuk membayar bonus investor lama.

Para anggota koperasi pun berang hingga akhirnya Jaya Komara harus mendekam di dalam penjara. Namun para anggota koperasi harus gigit jari. Jaya Komara ditemukan bunuh diri di dalam penjara. Uang dari para anggota pun menguap begitu saja.

Begitu juga dengan Koperasi Pandawa dan Koperasi Cipaganti. Proses pidana yang berjalan juga tak bisa serta merta mengembalikan uang para anggotanya. Sementara dari proses perdata, ternyata nilai aset koperasi juga tak bisa menutup pembayaran ke anggotanya.

Dengan kata lain, jika sudah terjerat dalam kasus gagal bayar koperasi, maka anggota akan sangat sulit mendapatkan dana mereka kembali.

Nah, sekarang memang menjadi momen untuk mengembalikan marwah koperasi yang sesungguhnya. Tentu saja, cerita koperasi itu hanya segelintir dari seluruh koperasi di Indonesia yang berhasil mensejahterakan anggotanya.

Tentu semua paham sistem koperasi berbasis gotong royong merupakan sokoguru perekonomian nasional. Para anggota bahu membahu dan saling menolong di saat suka maupun duka. Ketika sebuah koperasi yang fokus kepada kesejahteraan anggotanya, maka mereka akan cepat berkembang.

Kementerian Koperasi memang mempunyai peranan penting untuk menjadikan koperasi kembali ke kisah awal untuk mensejahterakan anggotanya. Melalui sejumlah perubahan aturan untuk membuat para penyidik Kementerian bisa lebih leluasa menindak para koperasi yang lari dari tujuan awal pembentukan. Termasuk untuk mengendus lebih awal kasus koperasi seperti ini lagi.

Dari fakta itu, kita berharap mudah-mudahan tak ada lagi cerita kasus gagal bayar koperasi di masa mendatang. [Kenourios Navidad]