Hersri Setiawan (kiri) dalam sebuah acara.

Sulindomedia – “Kita sekarang ini sudah 50 tahun dari Peristiwa 1965 itu, sudah waktunya untuk belajar kembali menyusun sejarah yang selama ini kita tidak diperbolehkan untuk mempelajari. Kita diharuskan untuk hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh penguasa Orde Baru. Sekarang waktunya kita untuk belajar, untuk melupakan penyakit atau rasa sakit, untuk memberi angin segar bagi generasi sekarang untuk mempelajari sejarah masa lalu dengan baik, untuk membangun masa depan yang lebih baik.”

Itulah kata-kata yang dilontarkan Hersri Setiawan saat acara bedah dan diskusi buku karyanya, Memoar Pulau Buru I, yang berlangsung di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (11/3/2016).

Jumat siang itu merupakan sebuah sejarah bagi Hersri, karena ia bisa “kembali” mengunjungi fakultas tempat ia menimba ilmu sebelum ditahan di Pulau Buru. “Siang ini adalah hari yang penting untuk saya, yaitu ‘pulang’ ke ‘rumah’ besar almamater bernama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM yang dulu bernama jurusan hukum, ekonomi, sosial, dan politik dan bertempat di Pagelaran [keraton]. Sesudah 51 tahun ‘si anak hilang’ telah ditemukan oleh ‘ibunya’. Lima puluh satu tahun sungguh waktu yang panjang dalam sejarah. Dan waktu itu masih bisa lebih panjang lagi jika kita tidak berbuat sesuatu. Jika kita tidak berani mengambil tindakan memutus mata rantai kebisuan,” ujarnya lagi.

Hersri mengucapkan terima kasih kepada Fisipol UGM yang memberi tempat dan mengambil tanggung jawab untuk melawan upaya pelupaan yang tak kenal henti, memberi penghargaan pada karya-karyanya serta menyediakan ruang kebebasan untuk para cendekia dan kaum muda untuk mengenal dan menelaahnya.

“Penghargaan ini bukan untuk saya pribadi tetapi untuk beratus-ratus teman yang hilang dan tidak kembali. Penghargaan ini juga untuk mengingat dan memaknai suara dan martabat korban ’65 sebagai upaya untuk pengungkapan kebenaran, rehabilitasi serta rekonsiliasi,” kata Hersri lagi.

Sementara itu dalam sambutannya, Dirjen Kebudayaan Dr Hilmar Farid mengatakan, hadirnya Hersri yang disambut baik oleh kalangan Fisipol UGM adalah sebuah peristiwa yang mengharukan. Menurut Hilmar, Memoar Pulau Buru menyajikan sejarah kelam pemerintah di masa lalu. Adalah rezim Orde Baru yang membentuk kesadaran ketakutan. sebuah ketakutan yang sebetulnya ada pada penguasa sendiri, ketakutan yang diciptakan sendiri.

“Apa yang disampaikan Hersri merupakan bentuk kesaksian. Ia mampu mengatasi warisan yang begitu lama ditanamkan pada kita yakni ketakutan. Siapapun yang membaca,  buku ini adalah kontribusi Hesri bagi kita untuk mengikis ketakutan,” kata Hilmar Farid.

Budi Irawanto, pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM yang tampil sebagai salah satu pembedah, mengatakan,‘Memoar Pulau Buru I yang setebal 516 halaman itu ditulis Hersri dengan alur kronologis, mulai dari sebelum ia berangkat hingga kepulangannya dari Pulau Buru. “Buku ini juga menyodorkan bab yang tematis, misalnya ‘Tokoh-tokohku’, yang mengisahkan sejumlah pribadi yang ditemui oleh Hersri, baik di rumah tahanan di Jawa maupun di kamp Pulau Buru,” ujar Budi.

Budi menyatakan buku tersebut mengisahkan dengan gamblang kepedihan yang harus ditanggung seseorang dengan cap ‘ET’ beserta segenap stigma yang disandangnya. “Tapol memang tidak dibebaskan, tapi hanya dikembalikan ke masyarakat dari mana dia dulu dijemput”, kata Hersri – halaman 15. Bahkan menjadi tapol juga berarti kehilangan martabat. “Nama sudah tidak ada lagi bagi tapol. Karena nama hanya milik manusia,” tulis Hersri – halaman 33.

Kendati memoar yang ditulis Hersri sebagian besar mengisahkan kepedihan menjadi tapol, namun Budi menilai tulisannya jauh dari ratapan, penyesalan atau sikap yang apologetik. Ini dinyatakan Hersri sejak awal di halaman 5 ; “Karena segala pengalaman pahit masa lalu bagi saya merupakan konsekuensi logis belaka dari pendirian dan sikap politik yang saya ambil secara sadar.”

Meski memoar ini banyak bercerita kehidupan sehari-hari para tapol, namun tak menghilangkan kritik tajam Hersri kepada Orba. Dan ini bisa dibaca pada halaman 8 dan 16). “Kritik itu bahkan disampaikan Hersri tanpa tedeng aling-aling,” kata Budi.

Memoar Pulau Buru I bukanlah karya Hersri satu-satunya. Jauh sebelumnya, Hersri juga telah menulis buku Humoria Buruensis (1987),  Aku Eks-Tapol (2003), Kamus GESTOK(2003), dan Diburu di Pulau Buru (2006).  [YUK]