Memilih Pemimpin yang Mampu Mengamalkan Trisakti

Ilustrasi: RAKORNAS TIGA PILAR PDIP/PDIPERJUANGAN.ID

Pemikiran ekonomi politik Bung Karno selalu soal rakyat, rakyat, dan rakyat. Pemimpin yang kita butuhkan kini adalah yang mampu menerjemahkan Bung Karno untuk zaman kini.

Koran Sulindo – Soekarno menyadari, setelah menelusuri sejarah politik modern di manapun di muka bumi ini, bahwa rakyat tertindas yang ingin memper­baiki nasibnya umumnya selalu pada akhirnya berada di pihak yang kalah; sedang kaum pemodal/kapitalisme selalu menang dan berhasil memulihkan kembali status quo kepada kondisi yang menguntungkan baginya.

Menurut Bung Karno rakyat bisa menang, jika dan hanya jika mereka dapat membangun kekuatan dengan menggalang persatuan dan kesatuan di antara mereka. Di sinilah dapat dilihat konsep persatuan dan kesatuan nasion Bung Karno bukan suatu megalomania untuk mencapai kejayaan “Indonesia Raya” semata-mata, tetapi memang merupakan prasyarat dan bagian dari konsep demokrasi Bung Karno dan perjuangan menegakkan demokrasi itu. Konsep yang disarikan dan diserap dari tanah dan air negeri ini.

Konsep Trisakti Bung Karno, yang secara singkat bisa dirumuskan sebagai berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dalam budaya, mencerminkan orisinalitas intelektual dari pemikir politik Indonesia. Dan itu semua berlangsung dalam deru dan derap revolusi di negeri baru yang belum berumur dua dasawarsa kala itu.

Konsep yang secara resmi dicetuskan Bung Karno pada 1963 itu mengandung relevansi dengan situasi dan kondisi politik serta ekonomi Indonesia yang terlanjur di-“gempur” oleh kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang bertendensi neo-liberal. Selain itu, juga cenderung memperbesar ketimpangan sosial ekonomi serta meminggirkan kekuatan dan kemandirian bangsa.

Dalam situasi politik nasional dan global kontemporer, pemikiran Bung Karno itu wajib dielaborasi ulang dan dikontekstualisasikan pada perkembangan zaman yang selalu dinamis.

Dalam konteks kepemimpinan masa kini menjadi penting untuk memilih yang mau dan mampu mengamalkan Trisakti kembali, yang bisa dilihat dari modelnya mengelola negara.

“Inilah yang mesti dilihat, diawasi, dan diteropong terkait suksesi kepemimpinan ke depannya, siapakah pemimpin yang mengamalkan Pancasila dan Trisakti itulah yang mesti dipilih,” kata peneliti LIPI, Syamsuddin Haris, pada Seminar Menyongsong Hari Lahir Pancasila bertajuk “Melihat Kekinian Lima Konsep Kebangsaan dan Ke-Indonesiaan Bung Karno”,  Juni 2014 lalu.

Memang itu percikan pemikiran hampir 5 tahun lalu, tapi secara umum konteks sosial, politik, dan ekonomi Indonesia tak berubah banyak, karena itu masih selalu relevan.

Penerjemahan ke Konteks Terkini

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr Kuskridho Ambardi, juga menilai konsep yang dirumuskan Bung Karno itu perlu dieksplorasi dan ada peninjauan ulang, dengan penerjemahan yang sesuai konteks sekarang.

“Ide Bung Karno harus dihadapkan pada tantangan masa kini. Bukan sekadar dikutip-kutip belaka,” kata Kuskridho, dalam wawancara dengan koransulindo.com, pada Maret 2016 lalu.

Hingga kejatuhannya, gagasan Bung Karno tentang sosialisme ala Indonesia belum berkembang penuh sampai pada kebijakan yang komprehensif dan kukuh. Di zaman Orde Baru ide itu dibuang tak dipakai. Dan di era reformasi diadopsi sebagai slogan dan belum sepenuhnya didialogkan dengan tantangan nyata.

“Kita lupa berdebat di level konseptualnya dan alpa berdiskusi di level kebijakannya,” kata penulis buku”Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Era Reformasi” itu.

Tujuan dasar sosialisme Bung Karno tentu masih relevan, yakni pentingnya pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan. Tapi, penerjemahan strategis dalam sosialisme ala Indonesia yang dirumuskan Bung Karno itu masih perlu ditelaah ulang, sebab dirumuskan dalam berberapa ungkapan tahun 1950- an dan 1960-an, seperti Manipol Usdek, Nasakom, dan berbagai dekon (deklarasi ekonomi).

Inti sosialisme ala Indonesia yang dirumuskan saat itu memuat tiga ciri. Pertama: tumpuan aktor ekonomi pada perusahaan negara atau dalam bahasa sekarang BUMN. Kedua: prinsip pembangunan berbasis perencanaan negara. Ketiga: ekonomi yang mencerminkan egalitarianisme dan tidak elitis—yang dalam bahasa sekarang disebut ekonomi kerakyatan. Di antara tiga ciri ini mungkin tak semuanya bisa diadopsi dengan mudah dan seolah secara otomatis akan menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Menurut Kuskridho, aspek yang paling relevan saat ini adalah aspek ekonomi egalitar yang tidak elitis. Alasannya, tumpuan terlalu besar pada konglomerasi terbukti runtuh di Indonesia pada tahun 1998 dan tetesan ke bawah terlalu sedikit. Dan kini ketimpangan pendapatan di Indonesia juga makin melebar.

Perencanaan pembangunan juga perlu ditinjau ulang. Banyak negara maju yang tak mengandalkan perencanaan pembangunan secara detail ternyata juga berhasil menyejahterakan rakyatnya.

“Jadi, yang diperlukan bukan perencanaan yang detail, tapi arah kebijakan yang jelas,”katanya.

Pendeknya, pemikiran Bung Karno itu perlu dieksplorasi dan ditinjau ulang dengan penerjemahan yang sesuai konteks sekarang.

Senjata Ampuh

Pemikiran Bung Karno dibuang ke tong sampah dalam pemerintahan Jendral Soeharto selama 33 tahun yang jatuh pada 1998 lalu. Setelah itu Indonesia memasuki masa reformasi tapi dengan isi kepala dan wajah seperti orang linglung. Dan nama dan pemikiran Bung Karno seperti kotak Pandora yang dibuka kembali; namun tidak selalu dengan semangat untuk mencari tahu. Lebih banyak hanya sebagai tempat mencari kutipan.

Sikap politik dan ekonomi berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) sudah ditegaskan Bung Karno bahkan sebelum negara bangsa Indonesia mewujud, seperti bisa dilihat dalam pidato pembelaannya di pengadilan kolonial Belanda pada 1933 yang kelak dibukukan dan diberi tajuk “Indonesia Menggugat”.

Konsep berdikari ini ditegaskan kembali Bung Karno dalam pidatonya di depan Sidang Umum IV MPRS diujung kekuasaannya pada 22 Juni 1966, yang diberinya judul “Nawaksara”. Pidato terakhir Bung Karno mengumandangkan dan mengingatkan kembali pentingnya berdikari.

Ia menegaskan tiga hal yang menjadi intisari revolusi Indonesia, yaitu: Revolusi kita mengejar suatu ide besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya.

Kedua, revolusi kita berjuang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh. “Dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita, diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongannya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja.”

Ketiga, bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu “berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!”

Dalam situasi nasional dan internasional saat itu, Trisakti yang berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan  berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh.

“Di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajurit prajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dahsyat sekarang ini. Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari.”

Sekitar 3 tahun sebelumnya, dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon), Bung Karno menempatkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial dan sumber daya ekonomi dalam pembangunan.

“Dalam melaksanakan revolusi di bidang sosial dan ekonomi selanjutnya, maka-sesuai dengan hukum revolusi- kita harus mempergunakan sepenuhnya semua alat revolusi yang sudah kita miliki itu, dengan selalu melandaskan perjuangan kita pada potensi dan kekuatan rakyat.”

Rakyat adalah urat nadi dalam hampir keseluruhan pikiran-pikiran Bung Karno. Yang ia pikiran setiap waktu, yang ia puja setiap saat, yang ia rayu seluruh waktu.

“Marilah kita semua satu-persatu mencoba menjadi besar. Angkatkanlah diri kita di atas segala tetek-bengek yang kecil-kecil! Revolusi adalah suatu hal yang harus dijalankan dengan aksimu dan idemu sendiri. For a fighting nation there is no journey”s end…”

Bung Karno telah wafat tapi pikiran-pikirannya akan selalu hidup dan siapapun pemimpin yang akan dipilih hari-hari ini mestilah yang mau dan mampu menerjemahkan Trisakti Bung Karno: yang melibatkan dan mempersembahkan kerja-kerjanya untuk rakyat, rakyat, dan rakyat. [Didit Sidarta]