Memilih Langsung atau Tidak Langsung

OPINI – Pemerintah membuka wacana untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah (pilkada), dari sistem pilihan langsung (seperti sekarang) dikembalikan ke pemilihan oleh anggota dewan (DPRD) seperti di era Orde Baru. Dengan alasan utama: besarnya biaya pilkada di berbagai tingkat: bupati/walikota dan gubernur.

Hal tersebut disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya pada acara HUT Partai Golkar di Sentul, Bogor, Kamis 12 Desember 2024.

Presiden Prabowo mengajak semua pihak memikirkan kembali dan menata ulang sistem pemilu yang akan datang. Presiden meminta agar tidak malu mengakui bahwa sistem pemilu saat ini penuh kekurangan dan tidak efektif sehingga menghabiskan biaya yang sangat besar.

Ia menilai, sistem yang lebih hemat dapat meringankan beban calon kepala daerah dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.

Gagasan tersebut mendapat dukungan dari hampir semua partai politik. Tampaknya gagasan ini bakal menemui jalan lancar menuju Undang-Undang baru sistem Pemilu/Pilkada.

Tentu pada sisi lain banyak penentangan akan hal ini, terutama dari kalangan intelektual/akademisi ataupun aktivis demokrasi.

Kepala daerah dipilih oleh DPRD dianggap mengebiri suara rakyat, jauh dari nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi bakal dikata mundur.

Perbandingan pilkada langsung dan melalui DPRD

Pilkada langsung  memiliki kelebihan: melibatkan partisipasi rakyat, meningkatkan akuntabilitas, kepala daerah yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan kepada DPRD. Memperkuat nilai-nilai demokrasi dengan memberikan rakyat kesempatan untuk terlibat aktif dalam proses politik.

Pemilihan kepala daerah yang  dilakukan oleh anggota DPRD akan dapat menekan biaya penyelenggaraan jadi lebih murah. Proses pemilihan lebih sederhana karena tidak melibatkan seluruh masyarakat secara langsung. Efisiensi waktu, pemilihan dapat dilakukan lebih cepat tanpa memerlukan tahapan pemilu panjang. Meminimalkan konflik, tidak ada keterlibatan langsung masyarakat, sehingga potensi konflik para pendukung berkurang.

Mengurangi politik uang pada level masyarakat, tetapi aliran politik uang beralih ke anggota DPRD dan partai politik.

Pada pilkada langsung, misal pada pemilihan gubernur, tingkat pengenalan calon pada pemilih juga sangat minim. Begitu jauh jarak fisik, pemilih hanya mengenal calon dari gambar di poster/baliho, tidak tahu sosok yang bakal dipilih.

Pada sistem pilkada melalui DPRD, transaksi politik terjadi antara calon dan anggota DPRD. Legitimasi rendah, kepala daerah dianggap kurang mewakili kehendak rakyat karena hanya dipilih oleh DPRD. Minim akuntabilitas, kepala daerah lebih menghamba kepada DPRD, sehingga berpotensi mengurangi akuntabilitas publik. Pemilihan oleh DPRD akan menguntungkan kelompok politik tertentu dan memperkuat dominasi elite partai politik.

Pilihan antara pilkada langsung atau melalui DPRD tergantung pada konteks dan tujuan yang ingin dicapai. Pilkada langsung cocok untuk memperkuat demokrasi dan keterlibatan rakyat, tetapi membutuhkan pengawasan ketat terhadap praktik politik uang dan konflik sosial.

Di sisi lain, pilkada melalui DPRD lebih efisien dari segi biaya dan waktu, tetapi berisiko pada legitimasi politik dan transparansi, juga bakal menjadi permainan partai politik menjual suaranya.

Yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari penyelenggaraan pemilihan umum adalah soal bagaimana memberantas perilaku praktik money politics (politik uang), bukan soal mekanismenya langsung atau dipilih oleh DPRD.

Karena itu, jika semangatnya efisiensi anggaran, maka jalan yang harus dilakukan pemerintah, adalah perbaikan pada pihak penyelenggara pemilu dan penegak hukum.

Sebab, tidak ada jaminan politik uang akan hilang jika kepala daerah nantinya kembali dipilih oleh DPRD. Potensi itu tetap ada, hanya saja tidak melibatkan masyarakat secara langsung. Alih-alih menurun, perilaku money politics justru bisa semakin besar di kalangan elite partai politik.

Di samping itu, pemerintah juga harus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahayanya money politics yang dapat merusak demokrasi karena tidak akan bisa menghasilkan pimpinan daerah yang lebih baik. Upaya memberantas politik uang ini juga harus dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas. [KS]