Presiden Joko Widodo

Koran Sulindo – Beberapa waktu yang lalu, saya menulis di tajuk koran ini mengenai anomali ekonomi saat pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saya merefleksikannya dengan dunia ketiga senasib yang sedang gencar membangun infrastrukturnya namun, di lain pihak , daya beli masyarakatnya menurun.

Saat itu, saya tidak mengupas secara mendalam sebab dan akibatnya kecuali menceritakan pengalaman di kedua negara tersebut, karena saya sangat mempertimbangkan pendapat mati-matian para pengamat dan ekonom yang mengatakan tidak terjadi penurunan daya beli masyarakat, melainkan semua ini akibat belanja secara on line, yang mengakibatkan fungsi pasar terganggu, yang mengakibatkan tutupnya banyak toko ritel.

Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia Emir Moeis

Namun, belum lama ini, saya cukup terkejut membaca statemen berisi keheranan Presiden Jokowi, yang mengatakan keadaan makro ekonomi kita—seperti nilai tukar, inflasi, suku bunga, dan regulasi—membaik tapi kenapa kok ekonomi Indonesia masih tersendat-sendat. Hal itu menggelitik saya untuk mendalami lebih jauh lagi, dengan membuka-buka catatan selama 15 tahun terakhir ini, saat berkiprah pada keuangan negara di DPR RI dan kerap bertanya sekaligus berdiskusi dengan rekan rekan para ekonom.

Dari catatan saya serta diskusi-diskusi  dan analisis-analisis yang dilakukan, ternyata multiplier effect atau trickle down dari  pembangunan infrastruktur tidak sebesar multiplier effect atau trickle down dari belanja barang dan subsidi. Pemerintah mengetatkan belanja barang, menarik anggaran subsidi (dengan konsekuensi naiknya harga listrik dan bahan bakar minya, yang mengurangi daya beli dan konsumsi masyarakat) dan menggelontorkan anggarannya ke belanja pembangunan, untuk menggenjot pembangunan , tentunya dengan harapan dari pembangunan tersebut akan ada dana yang akan mengalir kembali ke masyarakat; dan menjadi trickle down bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat kecil.

Ditambah lagi, untuk menambah memenuhi kocek agar dapat melaksanakan pembangunan, pemerintah mencarinya dari sektor pajak. Ini pula yang cukup menimbulkan gejolak.

Pengampunan pajak atau tax amnesty adalah langkah bagus sekali. Namun, kalau kemudian mengejar pajak hingga ke belanja-belanja ritel di toko-toko yang harus menyertakan NPWP atau NIK, naiknya NJOP secara mencolok, yang sangat memberatkan para pensiunan, pegawai kecil yang mati-matian mencicil kredit serta menabung untuk pemilikan rumah, semua itu menjadi berlebihan.

Memang benar negara kita terkenal sebagai salah satu surga pajak—semua orang memang seenaknya saja dalam memenuhi kewajiban fiskalnya. Namun, kalau semua dilakukan secara mendadak, itu tentu akan memberikan efek negatif juga.

Mungkin yang dituju adalah para cukong dan golongan menegah atas. Tapi, bagaimanapun, pasti akan berimbas ke masyarakat bawah.

Infrastruktur itu sendiri an sich akan terasa efeknya sesudah selesai dibangun dan dapat digunakan untuk seluruh kegiatan masyarakat. Dengan demikian dibutuhkan sekitar lima tahun sejak mulai saat konstruksi hingga ada benefitnya pada masyarakat.

Kendati begitu, harus diingat pula, dengan sistem mekanisasi industrialisasi modern di bidang konstruksi yang kita praktikan belakangan ini, kegiatan ini menjadi sangat minim menyedot tenaga kerja, sehingga tidak membawa banyak efek pada kesejahteraan rakyat kecil. Dana itu lebih banyak dinikmati atau masuk kepada kontraktor atau sub-kontraktor yang sudah memiliki peralatan modern, mempraktikkan otomatisasi. Ini juga yang terjadi di negara-negara berkembang yang lain beberapa waktu yang lalu.

Berbeda halnya dengan Amerika Serikat sekitar tahun 1920-an, saat terjadi krisis ekonomi atau malaise. Ketika itu, Presiden Roosevelt menggenjot perekonomian negaranya dengan pembangunan infrastrutur yang menyedot hingga puluhan ribu tenaga kerja. Sejarah mencata: Roosevelt berhasil.

Mungkin sudah waktunya kita mengerem sedikit pembangunan infrastruktur, dengan melonggarkan subsidi dan belanja barang. Sehebat apa pun pembangunan kalau masyarakatnya menurun tingkat keseahteraanya, pembangunan itu tak akan ada manfaatnya. Patut dilihat pula catatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang mengungkapkan terjadinya penurunan pertumbuhan kredit investasi kita.

Jadi, sudahlah, kita membangun sesuai dengan kemampuan kita. Memang, dilematis buat pemerintah saat ini di tengah melemahnya ekonomi dunia. Namun, jangan pula kita bebani masyarakat. Jangan pula setiap ada pemikiran kritis soal fiskal kita lalu para pejabat ramai-ramai langsung menolaknya, terkadang dengan tuduhan itu bahwa pemikiran kritis itu adalah suara haters. Bila kita terus bersikap seperti itu dalam politik fiskal, masyarakatlah yang menderita.

Kepada para haters, kiranya sudah cukup untuk menyalahkan pemerintah secara terus-menerus dan berlebihan. Berikanlah jalan keluar. Karena, kadang timbul kesan, ada yang ingin pemerintah gagal dalam kebijakan fiskalnya. Marilah kita membangun negeri ini bersama-sama.

Tampaknya, untuk lima tahun ke depan, Presiden Jokowi masih tetap pilihan terbaik dari yang ada saat ini. Karenanya, dalam periode kedua, lakukanlah sedikit perbaikan dalam fiskal kita, dengan lebih menggeser ke ekonomi kerakyatan dan sedikit demi sedikit lebih menjauhi pola neolib. Dalam hal perpajakan ada baiknya sedikit mengurangi tekanan—bahkan di negeri kapitalis pun terkadang ada pelonggaran pajak untuk meningkatkan dunia usaha dan menaikkan pertumbuhan.

Soal infrastruktur melambat? Tidak perlu dikhawatirkan. Masyarakat tentu sudah meilhat semangat presiden untuk menggenjot pembangunannya dan semangat seperti itulah yang sangat diperlukan bangsa dan negara ini. []