Memihak UMKM atau Pengusaha Kakap?

Pelaku UMKM binaan Rekind yang mampu produksi APD dan masker kain/Dokumentasi Rekind

Koran Sulindo – Niat pemerintah untuk menopang bisnis pengusaha modal minim atau biasa disebut usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ketika wabah Covid-19 sedang berlangsung tampaknya masih belum maksimal. Beragam aturan memang sudah dikeluarkan untuk bisa membantu UMKM keluar dari masalah keuangan.

Semisal, aturan restrukturisasi kredit dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian sebagai Kebijakan Countercyclical. Aturan ini seharusnya bisa dipakai oleh pemerintah untuk bisa membantu pengusaha khususnya UMKM dalam menghadapi dampak wabah corona. Sebab, bagi pengusaha besar tanpa adanya aturan ini bukan persoalan yang sulit untuk bisa mendapatkan keringanan dari bank.

Apalagi jika melihat kategori utang di atas Rp 10 miliar untuk pengusaha kakap maka bank akan lebih mudah memberikan restrukturisasi untuk menjaga likuiditasnya. Sayangnya aturan reskturisasi kredit ini masih banyak dipakai untuk membantu pengusaha besar.

Berkaca dari data OJK menunjukkan realisasi restrukturisasi kredit per 15 Juni 2020 sudah mencapai Rp 655,84 triliun. Keringanan berbentuk stimulus ekonomi ini telah diberikan kepada 6,27 juta nasabah di seluruh Tanah Air.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, realisasi ini terdiri atas restrukturisasi kredit UMKM senilai Rp 298,86 triliun kepada 5,17 juta nasabah. Sayangnya, restrukturisasi kepada debitur non-UMKM atau korporasi jumlahnya lebih banyak dan mencapai Rp 356,98 triliun kepada sekitar 1,1 juta nasabah.

“Perkembangan data ini dilaporkan bank kepada OJK dari minggu ke minggu per bank. Ini juga disertai laporan per jenis kredit,” kata Wimboh pada Senin (22/6) lalu dalam rapat dengan Komisi XI DPR.

Kalau dilihat berdasarkan segmennya, restrukturisasi kredit UMKM bisa mencapai Rp 553,93 triliun kepada 12,69 juta debitur. Sementara untuk segmen non-UMKM nilainya bisa setinggi Rp 798,59 triliun kepada 2,6 juta nasabah. Catatan ini sebenarnya cukup disayangkan karena pemerintah seharusnya lebih jeli melihat saat ada kebijakan untuk memberikan keringanan.

Bagi pengusaha besar dapat mengakses relaksasi dari perbankan karena memiliki kedekatan yang baik dengan pihak perbankan sehingga lebih diprioritaskan. Apalagi, perbankan menginginkan pinjaman kredit yang jauh lebih besar untuk menjaga likuiditasnya dengan jaminan kredit yang mungkin lebih baik dibandingkan dengan pemberian kredit bagi UMKM.

Jadi, tanpa ada bantuan pemerintah, pengusaha besar bisa berkomunikasi dan mempunyai posisi tawar lebih tinggi dibandingkan pengusaha UMKM yang masih gagap mengadapi perbankan.

Malahan jika pemerintah mau bisa saja mengeluarkan kriteria pengusaha yang sudah tak perlu lagi mendapatkan keringanan. Karena di saat momen saat ini ada usaha juga dari pengusaha nakal yang ingin keluar dari jeratan gagal bayar dengan menggunakan alasan terdampak virus corona. Padahal sebelum corona bisnisnya memang sedang terganggu.

Terkait dengan kredit bagi UMKM, pemerintah dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) juga memberikan subsidi bunga sekitar 3% hingga 6%. Kritikan dengan kebijakan ini juga dianggap keberpihakan setengah hati dari pemerintah.

“Ini kesannya pemerintah mau main aman, makanya menggunakan bank dan industri keuangan non-bank. Itupun subsidinya tidak besar dan selama enam bulan,” kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, dalam sebuah acara diskusi daring, Rabu (10/6) lalu.

Padahal di beberapa negara justru membebaskan bunga bagi pelaku usaha mikro, alias memberikan bunga 0%. Tujuannya, agar sektor ini masih bisa berkembang di tengah pandemi corona.

Selain itu, jika melihat kriteria yang mendapatkan subsidi bunga pun tak semua UMKM yang bisa meraihnya. Indef mencatat dari 64.194.057 pelaku UMKM, hanya 12.673.609 atau 12% yang berpotensi mendapatkan bantuan berupa subsidi bunga.

Aturan subsidi bunga UMKM tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin untuk Kredit/Pembiayaan UMKM Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program PEN. Beleid ini ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 5 Juni 2020.

Di sisi lain insentif untuk pelaku usaha besar lebih diprioritaskan. Hal ini terlihat dari insentif perpajakan, di mana pemerintah hanya menanggung Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM senilai Rp 2,4 triliun.

Insentif
Di saat yang sama, pemerintah memberikan insentif perpajakan senilai Rp 94,6 triliun bagi pelaku usaha skala besar. Ini terdiri atas, insentif PPh Pasal 21 senilai Rp 39,66 triliun, pembebasan PPh Pasal 22 impor senilai Rp 14,75 triliun, dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp 14,4 triliun. Kemudian, pengembalian pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) senilai Rp 5,8 triliun, penurunan tarif PPh Badan senilai Rp 20 triliun, dan insentif lain Rp 26 triliun.

Begitu besarnya insentif bagi pengusaha ini memang cukup ironi di kala pandemi saat ini. Lagi-lagi tanpa bantuan pemerintah pun sebenarnya para pengusaha modal besar ini sudah bisa bertahan. Di saat krisis beberapa kali, pengusaha modal cekak yang akan jatuh duluan dibandingkan kakap.

Jika memakai teori ekonomi Adam Smith maka seharusnya pengusaha kakap ini dibiarkan menjalankan pasar bebas tanpa ada bantuan pemerintah. Namun di saat krisis para pengusaha modal besar malahan yang duluan merengek ke pemerintah. Tak lagi sesuai dengan roh ekonomi pasar bebas.

Sebelum ada corona, para pengusaha penganut paham pasar bebas, langsung marah jika ada intervensi pemerintah ke bisnis mereka, soa harga misalnya. Kini sebaliknya di saat kesusahan, berharap ada tangan pemerintah yang membantu.

Alhasil orang kaya pun terbantukan dengan kebijakan pemerintah. Sebaliknya ada pengusaha modal irit yang harus siap-siap gulung tikar. Kita akan bersiap mendapatkan data jumlah orang miskin yang bertambah sedangkan orang kaya di Indonesia akan terus bertambah.

Indonesia sendiri memiliki 115.000 penduduk yang masuk ke dalam kategori 1% orang paling kaya di dunia. Berdasarkan laporan Global Wealth Report 2019 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, jumlah tersebut tergolong kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan populasi penduduk dewasa Indonesia yang mencapai 173 juta orang.

Dahsyatnya, di dalam laporan tersebut disampaikan, 1% penduduk paling kaya di dunia ini memegang hampir setengah dari keseluruhan aset global. Mereka yang masuk ke dalam kategori ini, setidaknya memiliki kekayaan senilai US$ 936.400 atau setara dengan sekitar Rp 131,84 miliar. [Kenourios Navidad]