Koran Sulindo – Dewasa ini kita menyaksikan kontradiksi antar-imperialis yang semakin runcing. Yang paling menonjol adalah sanksi dan perang tarif antara imperialis AS dan imperialis Tiongkok; antara AS-Uni Eropa dan Rusia. Antek remo sama sekali tidak mampu melihat bahwa permusuhan antara AS dan Tiongkok kapitalis sekarang sepenuhnya berbeda sifatnya dengan permusuhan Tiongkok sosialis sebagai basis revolusi dunia dengan imperialis AS dulu.
AS memusuhi Tiongkok kapitalis sekarang karena tidak mau melepaskan hegemoninya. AS menyesal telah secara besar-besaran membantu dan mendorong integrasi ekonomi Tiongkok ke dalam sistem ekonomi kapitalis dunia melalui penanaman modal, membuka pasar AS dan pemberian status khusus kepada Tiongkok dalam perdagangan. AS mengira Tiongkok akan membuka tanpa batas pasar dalam negeri dan membiarkan kompetisi kapitalis secara “bebas” dengan menghilangkan dominasi dan monopoli negara. AS kecewa! Maka, Trump menerapkan “proteksionisme” di hadapan globalisme One Belt One Road (OBOR) pimpinan imperialis Tiongkok. (Tentang Imperialis Tiongkok, baca Lenin Bersama Kita dan Masalah Tenaga Kerja Asing Tiongkok)
Jadi permusuhan AS dengan Tiongkok sekarang adalah persaingan, rebutan pasar bagi produknya, rebutan ruang untuk penanaman modalnya, rebutan bahan baku dan rebutan pengaruh politik. Sedangkan pada zaman Mao, Tiongkok menginspirasi dan membantu perjuangan rakyat sedunia untuk membebaskan dirinya dari belenggu imperialisme dan neo-kolonialisme.
Antek remo sering menunjuk pertemuan antara Mao dengan Nixon, tahun 1972, untuk membenarkan kolaborasi dengan imperialisme. Sidang Umum PBB baru menyetujui RRT menggantikan Taiwan, Oktober 1971. RRT berkepentingan AS meninggalkan politik dua Tiongkok, maka disambut kunjungan Nixon. Tapi, di pihak lain, Tiongkok sosialis tidak mengkhianati perjuangan rakyat melawan imperailis. Internasionalisme proletar jalan terus. Di sini bertolak belakangnya Mao dengan Deng!
Apa “Jasa” Deng Dalam Modernisasi Tiongkok?
Kaum remo, para pengagum dan pendukung “Sosialisme dengan ciri Tiongkok” selalu mengangkat Deng sebagai “bapak” modernisasi dan pembangunan Tiongkok kapitalis. Mereka menganggap Deng telah “menyelamatkan” Tiongkok dari “kehancuran dan stagnasi” ekonomi yang disebabkan oleh Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP). Seperti pendukung Orde Baru (Orba) mengangkat Soeharto sebagai “bapak pembangunan”.
“Resolusi Tentang Beberapa Masalah Dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya RRT “ yang disahkan Sidang Pleno VI CCPKT IX, Juni 1981, antara lain menyatakan RBKP “telah mengakibatkan partai, negara dan rakyat menderita kekandasan dan kerugian yang paling serius….” “RBKP …telah membawa bencana di seluruh negeri”. Logis, karena partai sudah dibersihkan dari kaum Maois!
Karena kutukan datang dari para penguasa Tiongkok sendiri, kontan orang mempercayainya tanpa pikir dua kali. Persis seperti kasus Stalin. Karena yang mengutuk adalah pimpinan partai dan pemerintahan Soviet sendiri, pastilah itu “betul”, tidak mungkin “bohong”, bukan?
Banyak orang tidak tahu bahwa sudah ada begitu banyak penelitian dan penulisan tentang sejarah Uni Soviet yang mengungkapkan pemutarbalikan, pemalsuan, penyembunyian fakta sejarah yang dilakukan oleh kaum remo Soviet. Begitu juga yang berkaitan dengan RBKP dan Mao.
Profesor Wim F. Wertheim dalam Lasting Significance Of Mao-Model For Third World Countries, menulis : ”Dalam pembicaraan dengan Tan Zhenlin yang, setelah direhabilitasi pada tahun 70-an, menduduki jabatan penting lagi (dia pernah dikritik dengan tajam pada akhir tahun 60-an), dia bicara tentang “kemacetan” ekonomi selama Revolusi Kebudayaan. Tetapi, toh dia harus mengakui bahwa kenaikan produksi pertanian rata-rata selama 10 tahun itu mencapai sekurang-kurangnya 3.4% per tahun; satu angka yang menurut dia sendiri sebetulnya jauh lebih tinggi. Saya mencoba menjelaskan bahwa dibanding dengan negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya, itu adalah sebuah hasil yang luar biasa, bukannya sesuatu yang mengecilkan hati”. “Secara keseluruhan, apakah model Mao dari permulaan tahun 60-an menghasilkan kemajuan dalam perkembangan desa? Yang paling mengesankan adalah jawaban yang kami terima ketika kami tanya dalam periode mana diambil inisiatif-inisiatif penting dalam Komune Rakyat atau Brigade. Dalam jawabannya, mereka selalu memilih tahun-tahun yang justru jatuh dalam periode 10 tahun yang mereka katakan ”hilang” itu, yang menurut kader-kader Peking, periode di mana ”the gang of four” berkuasa, mulai dibangun atau diperbesar bendungan-bendungan atau bangunan penyimpanan air”. ”Bahkan di Komune yang kurang makmur pun, Stiefel dan saya tidak berhasil melihat ’10 tahun yang hilang’ itu”.
Mobo Gao menderetkan sukses dalam ilmu dan teknologi yang dicapai sejak tahun 1966 sampai 1976 (“10 tahun yang hilang” menurut kaum revisionis): mobil “Bendera Merah”, peletusan bom atom, pembuatan insulin kristal sintetis untuk sapi, komputer transistor, komputer sirkuit terpadu, kamera tiga dimensi otomatis, antibiotik Qingda, peluncuran satelit, rel kereta api elektron, tanker 100 ribu ton, perkembangan sumur minyak Dagang dan Shenli dan kilang minyak Yanshan Peking. Bahkan ketika itu telah diadakan konferensi pertama tentang lingkungan dan politik pemerintah untuk mengatasi pengotoran air.
Laporan resmi tahun 1978, Joint Economic Committee of the US Congress menyatakan, pada zaman Mao, ekonomi Tiongkok mencatat pertumbuhan yang positif dalam pertanian dan industri, bahwa Mao dan kawan-kawannya telah menciptakan sebuah basis ekonomi kuat dan di atas basis itulah dilakukan pembangunan kapitalis oleh pimpinan selepas Mao.
Sementara itu Xing Li dalam Chinese Cultural Revolution Revisited mengemukakan, perusahaan kota dan desa yang dibangun ketika RBKP, telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan bagian paling dinamis dalam ekonomi Tiongkok sejak reformasi kapitalis dimulai. Bank Dunia menilai pertumbuhan dan kinerja perusahaan tersebut sangat luar biasa. Ia telah meningkatkan PDB dari 13% menjadi 31% pada tahun 1994. Dalam 15 tahun terakhir perusahaan tersebut telah menciptakan 95 juta pekerjaan. Banyak orang melihat itu dihasilkan oleh ekonomi pasar. Orang lupa bahwa perusahaan kota dan desa lahir dari strategi pembangunan Mao yang memobilisasi massa dan mendesentralisasi ekonomi guna memajukan industri di daerah pedesaan untuk mengubahnya kemudian menjadi pusat-pusat industri di samping kota-kota industri besar.
Mao melihat kaum tanilah akhirnya yang akan menanggung beban investasi industri. Oleh karena itu, negara harus membantu kaum tani untuk mengembangkan industrinya sendiri, bukannya membebaninya dengan pajak berlebihan dan melebarkan kesenjangan antara kota dan desa. Mao menginginkan proses kolektivisasi bergandengan tangan dengan industrialisasi pedesaan. Dengan demikian akan terhindari terbentuknya perkampungan buruh miskin di kota-kota seperti yang terjadi sekarang di Tiongkok kapitalis.
Perkembangan perusahaan kota dan desa merupakan proses sejarah bertahap yang bertumpu pada sejumlah inovasi kreatif selama RBKP berkobar, misalnya “hubungan pabrik dan komune”; “intelektual muda ke pedesaan”; “kader dan teknisi bekerja di unit-unit akar rumput”; “hubungan antara industri dan pertanian”, dan sebagainya. Dari 300 juta tenaga kerja ketika itu, 28 juta bekerja di komune dan pabrik-pabrik brigade. Mereka yang anti-RBKP pun mengakui bahwa politik mengembangkan perusahaan komunal dan desa telah mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Jadi, sebenarnya sukses perusahaan-perusahaan itu merupakan kelanjutan logis dari “hal-hal dan perkembangan baru” yang dilahirkan RBKP.
Dari situ Xing Li menarik kesimpulan bahwa pencapaian dalam reform Deng sebenarnya menunjukkan suksesnya strategi pembangunan sosialis selama RBKP, bukan kegagalannya!
Di samping itu, Maurice Meisner, menyatakan “…di antara keberhasilan yang tak mudah dijumlah melalui perhitungan ekonomi, tapi vital untuk mengukur kesejahteraan rakyat adalah tersebar luasnya sekolah dan kesempatan pendidikan, transformasi penduduk yang tadinya buta huruf menjadi mayoritas melek huruf, pembangunan sistem kesehatan secara menyeluruh yang tadinya tidak ada sama sekali. ….Rekor ekonomi Maois, betapapun cacatnya, merupakan rekor sebuah zaman ketika dibangun fondasi industri modern…..rekor yang lebih baik dibandingkan dengan tahap-tahap yang sebanding dalam industrialisasi Jerman, Jepang dan Rusia yang sampai sekarang merupakan kasus ekonomi paling berhasil…Di Jerman laju pertumbuhan ekonomi periode 1880-1914 adalah 33 persen per dekade. Di Jepang dari tahun 1874-1929 tingkat peningkatan per dekade adalah 43 persen. Uni Soviet, dari periode 1928-58 mencapai 54 persen. Di Tiongkok, dari 1952-72, angka per dekade adalah 64 persen…
Pencapaian ekonomi ini jauh lebih luar biasa karena dicapai oleh rakyat Tiongkok sendiri atas dasar sumber daya material mereka sendiri yang sangat sedikit, dengan sedikit bantuan atau dukungan dari luar, kecuali bantuan Soviet yang terbatas pada 1950-an, yang seluruhnya dibayar kembali (dengan bunganya) pada pertengahan 1960-an. Industrialisasi Maois berjalan tanpa pinjaman atau investasi asing… Pada akhir zaman Maois, Tiongkok memiliki keunikan di antara negara-negara berkembang karena dapat mengklaim ekonomi yang tidak dibebani oleh utang luar negeri maupun inflasi internal. (Mao’s China And After. A History Of The People’s Republic, Third Edition, 1999)
Jadi pepesan kosong saja ejekan agen remo dan konco-konconya terhadap sosialisme yang mereka definisi sebagai “pemerataan kemiskinan”. Justru terbukti keunggulan sosialisme dengan rekor pertumbuhan ekonomi 43 persen di Uni Soviet dan 54 persen di Tiongkok!
M. Meisner menambahkan bahwa angka itu sepenuhnya bertentangan dengan informasi banyak wartawan asing yang mengemukakan ekonomi sistem sosialis berkembang dengan “kecepatan siput”. Tanpa revolusi industri di zaman Mao, kaum reformis ekonomi yang menjadi terkenal di zaman pasca-Mao tidak akan menemukan apa-apa yang bisa mereka reform!
Lantas, apa “jasa” Deng? Sebetulnya tak patut orang bicara tentang “jasa”. Yang Deng lakukan adalah kejahatan, antara lain, menghapus status buruh tetap dan menjadikannya sebagai sapi perahan dan barang dagangan murah yang dibeli dan diperlakukan sewenang-wenang; menghapus hak mogok, menghapus kebebasan demokratis dan hak mendapat pendidikan dan layanan kesehatan gratis; menyambut kedatangan kembali kaum kapitalis komprador yang dulu lari ke Hongkong dan Taiwan dan kaum kapitalis monopoli berbagai negara imperialis; mengubah watak aparat kepolisian dan tentara menjadi alat penindasan terhadap rakyat yang berani melawan dan menuntut keadilan, menyusutkan tanah pertanian dan air, mendorong pembangunan dengan dampak polusi air, tanah dan udara dan penyakit bagi kaum pekerja.
Deng menjadikan ratusan juta petani sebagai tumbal restorasi kapitalisme yang telah menciptakan 1.58 juta miliuner yang memiliki kekayaan lebih dari 10 juta yuan, di antaranya 105 ribu super kaya dengan kekayaan 100 juta ke atas (data Statitas), dan borjuasi komprador di kalangan pejabat partai dan pemerintahan. Lalu, 6 juta orang penderita pneumoconiosis, yang saya singgung dalam bagian 2, termasuk tumbalnya.
Persis seperti Soeharto yang menjadikan 3 juta mayat kaum progresif dan komunis dan ratusan ribu tapol di Buru, Plantungan, Nusakambangan, kamp konsentrasi dan penjara, yang tersebar di pulau-pulau Indonesia lainnya, sebagai tumbal politik neoliberal pro-imperialis dan neo-kolonialis rezim Orba sampai sekarang.
Kalau mau tetap bicara tentang “jasa” Deng, maka sistem ekonomi kapitalis dunialah yang berterima kasih kepada Deng. Karena politik pintu terbukanya bertepatan waktunya dengan relokasi kapital global pada akhir abad XX sebagai jalan keluar dari krisis tahun 70-an dan 80-an yang disebabkan oleh menurunnya tingkat keuntungan (profit rate). Relokasi kapital global ke Tiongkok yang menyediakan ratusan juta tenaga kerja murah itulah yang telah menyelamatkan sistem ekonomi kapitalis dunia dari kehancurannya.
Tiongkok telah menopang sistem ekonomi kapitalis dunia dengan memberinya spatial fix (perbaikan spasial), istilah yang digunakan Mingqi Li, ahli ekonomi Tiongkok. Penanaman modal asing yang disedot Tiongkok karena tenaga kerja murahnya telah mengubahnya menjadi pusat ekspor manufaktur dalam ekonomi kapitalis dunia. Dan itu meningkatkan profit rate. Kalau profit rate terus turun, akumulasi kapital menjadi tak mungkin, dan itulah salah satu faktor yang melahirkan krisis; akibatnya kapitalisme berhenti berfungsi. Adanya tenaga kerja murah merupakan salah satu dari tiga syarat bagi berjalannya sistem kapitalis. Dua syarat lain adalah input material murah dan negara dengan pajak rendah.
Sosialisme Sama dengan “Pemerataan Kemiskinan”?
Agen remo dan kawan-kawannya sering mengejek sosialisme yang dibangun rakyat Tiongkok di bawah pimpinan Mao adalah pemerataan kemiskinan. Ideologi reaksioner anti-sosialis dan anti-Mao telah membuat mereka menutup mata pada kenyataan bahwa revolusi telah melahirkan persatuan dan stabilitas; memungkinkan kaum tani melancarkan reform tanah, emansipasi kaum perempuan dan kelas pekerja, mengakhiri penyakit sosial yang bersumber pada sistem setengah jajahan setengah feodal seperti prostitusi dan kriminalitas, meletakkan dasar untuk membangun Tiongkok yang mengabdi kepada buruh dan tani. Rakyat belum bisa menikmati kelimpah-ruahan material, karena pembangunan industri modern memerlukan biaya sangat besar; namun kebutuhan pokok terpenuhi, layanan kesehatan dan pendidikan terjamin dan aspek tak kalah penting adalah kesetaraan dan kehidupan aman terlindungi dari penggusuran, PHK, penindasan dan kesewenang-wenangan pejabat dan aparat kepolisian dan militer.
Berikut data yang diajukan Pao Yuching: luas tanah yang dikerjakan dengan mesin meningkat dari 2,4% pada tahun 1957 menjadi 42,4%, tahun 1979; luas lahan yang diirigasi meningkat dari 24,4% dari seluruh luas lahan pada tahun 1957 menjadi 45,2% pada tahun 1979. Dalam periode yang sama, lahan yang diirigasi dan dikerjakan dengan mesin meningkat dari 4,4% menjadi 56,3%. Pada tahun 1957 terdapat 544 stasiun listrik, tahun 1979 meningkat menjadi 83.244. Selama periode yang sama, jumlah traktor ukuran besar dan menengah meningkat 45 kali, mesin panen meningkat 12 kali, sedangkan traktor kecil meningkat jumlahnya dari tidak ada menjadi 1,67 juta unit. Produksi biji-bijian/padi meningkat dari 181 juta ton pada akhir periode pemulihan pada tahun 1952 menjadi 285 juta ton pada tahun 1977. Kecuali dalam periode 1959-1961, kenaikan rata-rata per tahun lebih dari 3% dalam produksi padi/biji-bijian (lebih besar dari angka pertumbuhan penduduk) merupakan pencapaian yang patut dibanggakan. Pada akhir tahun 70-an Tiongkok berhasil mencapai swasembada dalam pangan. Dalam bidang industri, dari awal tahun 50-an sampai akhir tahun 70-an, output berkembang 9% per tahun. (An Analysis of China’s Capitalist Reforms)
Maurice Meisner menulis: ”Dimulai dengan basis industri yang lebih kecil daripada yang dimiliki Belgia pada awal 1950-an, Tiongkok yang begitu lama diejek sebagai “orang sakit Asia”, pada akhir periode Mao, muncul sebagai salah satu dari enam produsen industri terbesar di dunia. Pendapatan nasional tumbuh lima kali lipat selama periode 25 tahun, 1952-1978, dari 60 miliar menjadi lebih dari 300 miliar yuan, dengan industri menyumbang sebagian besar dari pertumbuhan. Per kapita, indeks pendapatan nasional (dengan harga konstan) naik dari 100 pada tahun 1949 (160 pada tahun 1952) menjadi 217 pada tahun 1957 dan 440 pada tahun 1978. Selama dua dekade terakhir era Maois, dari tahun 1957 hingga 1975 ( periode yang diremehkan oleh penerus Mao), bahkan dengan memperhitungkan bencana ekonomi Lompatan Besar, pendapatan nasional Tiongkok meningkat sebesar 63 persen per kapita selama periode pertumbuhan populasi yang cepat, lebih dari dua kali lipat secara keseluruhan .
Apakah mungkin kemiskinan menghasilkan peningkatan harapan hidup rakyat dari 35 tahun pada tahun 1949 menjadi 63 pada tahun 1975?
Sementara itu Wong menyatakan, pada akhir dekade Revolusi Kebudayaan 1979, terdapat hampir 800 ribu perusahaan industri yang tersebar di desa-desa dan kota-kota kecil, ditambah hampir 90 ribu stasiun pembangkit listrik tenaga air kecil. Perusahaan-perusahaan ini mempekerjakan hampir 25 juta pekerja dan menghasilkan sekitar 15 persen dari hasil industri nasional. [Tatiana Lukman]