Koran Sulindo – Sejarah perjuangan rakyat Tiongkok mencatat gerakan 4 Mei yang dipelopori para siswa Universitas Peking dan mencapai puncaknya tahun 1919. Ketika itu, Mao bekerja di perpustakaan universitas. Partai Komunis belum berdiri. Jutaan mahasiswa turun ke jalan memprotes penyerahan provinsi Shandong kepada Jepang sebagai bagian dari perjanjian Versaille. Di samping berkarakter nasionalis anti-imperialis, menuntut kedaulatan nasional dan reform politik dan sosial, gerakan juga bersifat kebudayaan melawan ajaran Konghucu yang dianggap sebagai penghalang perkembangan ilmu, demokrasi, industri, dan emansipasi perempuan.
Penangkapan dan penindasan terhadap gerakan mahasiswa 4 Mei di Peking mendapat solidaritas dari buruh di Shanghai yang mengumumkan aksi mogok selama satu minggu pada awal Juni. Kaum buruh mengajukan tuntutan kenaikan upah, kondisi kerja lebih baik dan hapusnya penghisapan.
Penangkapan dan Penculikan di 2018
Pada 24 Agustus 2018, polisi anti-kerusuhan menyerang apartemen siswa di Huizhou, kira-kira 70 kilometer dari Shengzhen, dan menahan sekitar 60 orang, termasuk Shen Mengyu, Zheng Yongming, Yue Xin dan Gu Jiayue. Mayoritas dituduh “mencari perselisihan dan memprovokasi kekacauan”. Diberitakan, para siswa bergandengan tangan dan menyanyikan “Internasionale”.
Gerakan solidaritas buruh dan mahasiswa ini juga mendapat dukungan dari para komunis tua. South China Morning Post memberitakan lebih dari setengah dari kira-kira 80 orang yang turut serta dalam aksi protes, 6 Agustus 2018, di depan kantor polisi Distrik Pingshan Shen zhen adalah anggota dan kader tua PKT.
Seorang aktivis, Gu Zhenghua, berusia 90 tahun, dalam tuilisannya September 2018, melawan media negara yang menuduh kaum Marxis muda itu dimanipulasi oleh kekuatan asing. Wu Jingtang, begitu mendengar berita tentang penangkapan buruh Jasic, berseru kepada semua kawan-kawan untuk mendukung buruh Jasic atas nama Ketua Mao. Wu dikenal dan dihormati karena perannya dalam memimpin ribuan buruh yang menentang penjualan Tonghua Iron and Steel Group pada 2009. Ia meninggal awal 2019 dengan usia 82 tahun.
Sarjana kiri juga tidak lolos dari pengawasan dan penindasan. Chai Xiaoming, guru Marxisme di Universitas Peking dan editor paruh waktu di situs Maois, Red Reference, ditangkap karena mempublikasi tulisan Jin Canrong, profesor di Universitas Rakyat yang berpendapat Tiongkok seharusnya mengambil jalan lain untuk modernisasi. Pada 21 Maret 2019, Chai ditahan di penjara rahasia di mana orang bisa disekap sampai 6 bulan. Itu yang dinamakan Residential Surveil lance at a Designated Location. Itulah yang terjadi pada mereka yang diculik di tengah jalan oleh polisi berbaju sipil.
Dampak Penindasan Jasic
Pada Januari 2019, setelah lima bulan “hilang” muncul Shen Mengyu, Yue Xin, Zheng dan Gu dalam sebuah video yang ditayangkan oleh pejabat Keamanan Negara di depan mereka yang pernah jadi anggota Grup Pendukung Solidaritas Buruh Jasic. Diberitakan, Yue Xin berkata bahwa dia dipengaruhi kaum kiri radikal dan sekarang sadar bahwa tindakannya itu “ilegal”. Shen Meng yu diberitakan “mengaku” telah berusaha menggulingkan PKT dan pemerintah, dan sekarang “menyesal” karena tindakannya telah membuat “kekuatan asing” menyerang pemerintah Tiongkok. Keempat siswa mengaku sebagai korban “cuci otak”. Setelah nonton video, ada yang komentar, kecuali Yue Xing, ketiga siswa lainnya seperti berubah menjadi orang lain. Ada lagi yang komentar, mereka kelihatan seperti orang yang “jemu”. Sebagian lagi berpendapat itu pengakuan yang dipaksakan. “Muka pucat, agak bengkak, lesu, ekspresinya seperti orang yang dibius, semua itu membuat orang bertanya-tanya perlakuan seperti apa yang mereka derita selama mereka ditahan”, begitu komentar salah seorang kawan keempat siswa itu.
Kegiatan di kampus ditindas. Penguasa universitas memperingatkan siswa agar tidak turut aksi-aksi protes, tidak bicara dengan media, tidak mengadakan pertemuan dengan buruh. Pimpinan lama Marxism Study Society yang bersimpati dengan buruh Jasic dikeluarkan dan diganti dengan siswa anggota Liga Komunis dan PKT. Mereka yang bersimpati dengan buruh Jasic dicap “kriminal”. Di Universitas Nanjing, siswa dilarang masuk grup studi Marxisme, pidato anggota grup pendukung solidaritas buruh Jasic juga dilarang. Beberapa siswa yang mencoba mendirikan asosiasi Membaca Marxisme guna mempelajari langsung karya-karya Marx dan lebih memperhatikan buruh dan tani, dipukuli oleh penjaga dan bandit kampus, diseret ke gedung administrasi untuk kemudian dimasukkan dalam mobil polisi. Sampai bulan Mei, 2019, diberitakan 100 orang lebih yang ditahan atau “hilang”.
Apakah semua pelarangan dan penangkapan itu tidak mirip dengan perlakuan Orba terhadap semua yang berbau “PKI” atau “komunis”?
Mengapa Penguasa Menindas Para Maois Muda?
Pada Mei 2018, kaum penguasa remo Tiongkok memperingati 200 tahun kelahiran Marx. Segera centengnya memamerkannya untuk menunjukkan betapa “Marxisnya” PKT. Dalam pidatonya, Xi Jinping mengajukan Marx sebagai “pemikir terbesar di zaman modern yang dengan teori ilmiahnya menunjukkan jalan menuju masyarakat tanpa penindasan atau penghisapan”.
Lantas apa dosa para Maois muda yang bersolidaritas dengan buruh dan memperingati Mao? Apakah Xi Jinping tidak tahu kondisi kerja di pabrik Foxconn melanggar undang-undang dan peraturan perburuhan yang bahkan sudah dikebiri oleh reform kapitalisnya Deng? sebanyak 18 buruh lompat bunuh diri, tak tahan kondisi hidup dan kerja di situ! Siapa yang ingin mencari kebenaran, bisa nonton The truth of the Apple iPad behind Fosconn’s lies di YouTube.
Rupanya Xi mewarisi kebutaan Deng Xiaoping berkaitan dengan kenyataan dan fakta kehidupan di negerinya sendiri.
Di depan sidang Komite Sentral PKT di 80-an, Deng berkata: “Ada seorang kawan bermimpi: dia bilang bermimpi melihat di seluruh Tiongkok penuh dengan pejabat korup. Omong kosong! Kader-kader kita semuanya orang komunis, setiap mereka kita didik dan dipromosikan sendiri.” “Kawan itu bermimpi lagi: Buruh telah menganggur dan kehilangan pekerjaan. Kapitalis kembali melakukan pemerasan. Kaum tani tidak punya tanah untuk digarap. Penderitaan rakyat berlipat ganda. Itu kan sama sekali omong kosong!” “Yang lebih menggelikan lagi adalah kawan itu bermimpi pula: di Tiongkok, di mana-mana ada pelacur, ada penyakit kelamin, orang miskin menjual putri-putrinya ke dalam neraka pelacuran. Menurut saya, kawan itu sungguh keterlaluan. Masak dikira kita bahkan lebih buruk daripada Chiang Kaishek”.
Siapa yang bermimpi? Deng Xiaoping atau kawannya? Apakah pemerasan dan penghisapan yang diderita kaum buruh migran Tiongkok dewasa ini, hanya sebuah mimpi buruk Xi Jinping?
Apa sebenarnya yang ditakuti dan dikhawatirkan penguasa remo dengan gerakan koalisi buruh dan siswa?
Kaus oblong yang dipakai Shen Mengyu, Yue Xin dan kawan-kawannya dalam foto tersebut bertuliskan Tuánjié jiùshì lìliàng, artinya persatuan adalah kekuatan, yang merupakan salah satu lagu sangat populer di zaman Mao.
Para penguasa tidak bisa melupakan gerakan 4 Mei 1919 yang dipelopori para siswa Universitas Peking dan bergabungnya kaum intelektual dengan gerakan buruh. Kasus Jasic menunjukkan bibit persatuan antara buruh dan kaum intelektual maois muda.
Sebenarnya, dengan masih terusnya dipertahankan papan nama “Partai Komunis Tiongkok”, gambar Mao belum diturunkan dari Tian An Men, dan bla-bla-nya Xi Jinping, para penguasa tidak punya alasan yang masuk akal untuk menindas dan membungkam kaum Marxis-Leninis-Maois-Kiri (MLMK). Satu-satunya tuduhan ngawur yang mereka gunakan adalah mereka dimanipulasi, dicekoki dan didukung kekuatan asing.
Coba kita pakai akal sehat. Kekuatan asing mana yang “mencuci otak” para siswa universitas untuk menjadi Maois? Pikiran Mao dilahirkan, ditempa dan dibuktikan kebenarannya dalam praktik di Tiongkok. Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) hanya terjadi di Tiongkok zaman Mao. Pengalaman perjuangan pembebasan yang panjang, pembangunan sosialis dan melancarkan revolusi di bawah kondisi kediktaturan proletar merupakan sumber pembelajaran dan inspirasi utama yang tak kunjung habis. Kaum Maois muda hanya perlu menggali sejarah perjuangan rakyatnya sendiri yang dibimbing PKT dan pikiran Mao, menerapkan dan mengembangkannya sesuai dengan kondisi aktual, guna menegakkan kembali kekuasaan kaum pekerja Tiongkok. Itulah yang mereka lakukan dalam grup-grup studi di berbagai universitas. Mereka tak perlu cekokan atau pengaruh kekuatan asing.
Kekuatan yang mendapat dukungan kaum imperialis AS, Eropa dan lain-lainnya, adalah orang-orang semacam Jung Chang, penulis Mao, the unknown story, para penulis literature of the wounded (“sastra orang-orang yang terluka” oleh RBKP) yang “memanufaktur kebenaran”, dan kaum intelektual neo-liberal yang menuntut ruang politik bagi kaum kapitalis dan borjuasi. Untuk jangka panjang, kaum penguasa remo melihat kaum MLMK jauh lebih berbahaya daripada kaum kanan neoliberal. Karena itu, mereka cepat-cepat membunuh bibit-bibit perjuangan yang menantang kemunafikan dan pengkhianatan kaum penguasa remo terhadap sosialisme dan nilai-nilai moral dan etik komunis sejati.
Pengkhianatan Kaum Remo Tiongkok kepada Internasionalisme Proletar
Dalam sejarah sudah dibuktikan, kaum revisionis baik klasik maupun modern mengkhianati perjuangan kaum buruh melalui kolaborasinya dengan kaum imperialis dan kaum reaksioner lokal. Agen remo tidak mampu melihat fakta dan pengalaman sejarah berkaitan dengan sepak terjang kaum revisionis. Dia menantang saya untuk menunjukkan kolaborasi kaum remo de ngan kaum imperialis.
Saya pernah diejek, dikatain “kutu buku” oleh antek remo itu. Dia kewalahan, begitu banyak informasi dan argumentasi yang tak dapat ia bantah. Hanya rezim reaksioner yang senang rakyatnya bodoh, supaya mudah ditipu, dimanipulasi dan dikuasai.
Kalau otak hanya dipenuhi dengan propaganda kaum remo Tiongkok, logislah kalau dia tidak tahu bahwa kaum revisionis klasik pimpinan Eduard Berstein menentang seruan Lenin agar kaum sosial demokrat melawan partisipasi pemerintah imperialis negeri masing-masing dalam Perang Dunia (PD) I. PD I adalah perang antar-imperialis; sudah seharusnya kaum sosial demokrat menolak saling bunuh antara kelas pekerja negeri-negeri peserta untuk kepentingan kelas borjuasi. Tidakkah jelas kelihatan kaum revisionis mendukung perang imperialis dan mengkhianati kaum proletar sedunia?
Ini poster tahun 1967. Jelas tercermin dukungan teguh Tiongkok kepada perjuangan rakyat Asia, Afrika dan Amerika Latin. Artinya PKT dan pemerintah menjalankan Internasionalisme Proletar.
Bagaimana dengan kaum remo Soviet pimpinan Khruschov? Apakah agen remo ini tidak tahu bahwa Uni Soviet tidak pernah mengutuk kudeta militer Soeharto dan pembantaian terhadap jutaan komunis dan kaum progresif pengikut Bung Karno? Mereka serta antek-anteknya di Moskwa dan juga kaum Trotskis justru menyalahkan PKI. PKI dituduh menjalankan garis Mao, maka itu ditumpas. Busyet! Kalau PKI ambil jalan Mao, tidak akan bisa ditumpas!
Poster tersebut berbunyi: Hancurkan Imperialisme Amerika, Hancurkan Revisionisme Soviet! Da dao Mei di, da dao Su xiu! Jelas, ketika itu imperialisme AS dan revisionisme Soviet adalah musuh rakyat Tiongkok.
Semua orang yang sedikit saja tahu politik, sadar akan peran kekuatan imperialis dalam kudeta dan pembantaian 65-66. Ketika rezim Soeharto memerintahkan perwakilan diplomatik supaya mengibarkan bendera setengah tiang bagi para jenderal yang dibunuh pasukan Cakrabirawa, kedutaan RRT (masih di bawah Mao), Vietnam, Kuba dan Korea Utara menolak. Agen remo bisa berkilah, Uni Soviet tidak mau mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan mau bersikap netral. Bisakah kita bersikap netral ketika terjadi pembantaian manusia tak berdosa?
Sekarang simak kata-kata Mao di bawah ini:
“Imperialisme AS lebih terisolasi lagi. Semua rakyat di dunia tahu bahwa imperialisme adalah sumber segala peperangan. Mereka menentangnya, termasuk rakyat Amerika. Revisionisme Soviet semakin terungkap, terutama dalam krisis di Timur Tengah. Kaum revisionis Soviet kembali menggunakan cara-cara Khrushchov: mereka mengirim 2.000 ahli militer ke Republik Arab Bersatu. Pertama, mereka melakukan petualangan dan mengirim armada perangnya. Kemudian, mereka dapat informasi dari Republik Arab Bersatu bahwa mereka tidak akan mendahului menyerang. Informasi ini disampaikan ke Johnson melalui hotline (hotline tidak ada pada zaman Khrushchov). Johnson dengan cepat memberi tahu Israel, yang kemudian melancarkan serangan mendadak: enam puluh persen angkatan udara Mesir dihancurkan di darat. Bantuan Soviet berjumlah 2,3 miliar, tetapi akhirnya Repuplik Arab Bersatu menyerah. Ini mengungkapkan bagaimana negara-negara nasionalis dikhianati kaum revisionis Soviet.” (Jean Daubier Histoire de la révolution culturelle prolétarienne en Chine (1965-1969).
Masih belum yakin kaum remo berkolaborasi dengan kaum imperialis dan mengkhianati perjuangan rakyat, kelas buruh dan bahkan negara-negara nasionalis?
Ketika semua pengikut Mao sudah disingkirkan, politik luar negeri Tiongkok di bawah Deng berubah 180 derajat. Dengan serta merta ia hentikan solidaritas kepada partai-partai sekawan guna menjalin hubungan mesra dengan pemerintahannya, bahkan rezim militer fasis Soeharto. Kaum progresif pengikut Bung Karno yang tadinya mendapat perlindungan dan boleh melakukan kegiatan politik melawan imperialisme dan rezim Soeharto, diberitahu, kalau mau terus melakukannya, harus meninggalkan Tiongkok. Syarat untuk tinggal di Tiongkok adalah meninggalkan kegiatan politik. Apa arti tidak boleh melakukan kegiatan politik bagi mereka yang memiliki keyakinan politik? Sama dengan masuk ‘penjara’ dan dibungkam suaranya, bukan? Maka berbondong-bondonglah orang Indonesia minta eksil ke Eropa.
Dalam kasus Filipina, diakui sendiri oleh Direktur Umum Departemen Urusan Asia Selatan dan Asia Tenggara Komite Sentral PKT, Shen Beili, bahwa hubungan dengan Partai Komunis Filipina putus pada tahun 80-an. Dengan gamblang ia mengemukakan bahwa selama organisasi itu dilarang atau bekerja di bawah tanah maka PKT tidak akan berhubungan dengan partai tersebut.
Dalam sebuah sistem kediktaturan yang mengabdi imperialisme, hanya kaum reaksioner yang mengharapkan kaum komunis bekerja legal, karena dengan demikian akan mudah ditangkap dan dibunuh.
Organisasi sekawan di Birma, Thailand, Malaysia, Serawak dan Kalimantan Utara juga dikhianati oleh klik remo Tiongkok. Kebijakan Deng ini jelas bertentangan dengan Mao. Coba simak pendapat Mao: “Saat ini ada arus anti-Tiongkok di banyak tempat, yang memberi kesan seolah-olah kita terisolasi. Memang mereka jadi anti-Tiongkok karena takut akan pengaruh Tiongkok dan Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Mereka menentang Tiongkok untuk mempertahankan penindasan terhadap rakyat mereka dan untuk mengalihkan ketidakpuasan rakyatnya. Penentangan terhadap Tiongkok dilakukan oleh imperialisme AS dan revisionisme Soviet. Ini membuktikan bahwa kita tidak terisolasi, pengaruh kita di seluruh dunia justru meningkat pesat. Semakin mereka menentang Tiongkok, semakin mereka mendorong revolusi rakyat: rakyat di negeri-negeri ini memahami bahwa jalan Tiongkok adalah jalan pembebasan. Tiongkok tidak saja harus menjadi pusat politik revolusi dunia. Ia juga harus menjadi pusat militer dan teknik”. (Jean Daubier Histoire de la révolution culturelle prolétarienne……”.
Jelas, pada dekade 60-an, perang Vietnam dan RBKP telah menginspirasi dan mendorong maju perjuangan bersenjata melawan imperialisme dan antek-antek lokalnya. Perang gerilya juga berkembang di Filipina, Birma, Thailand, Malaysia dan Serawak-Kalimantan Utara. Tiongkok, seperti kata Mao di atas, menjadi pusat revolusi dunia, setelah Uni Soviet dikuasai kaum remo. Dan seharusnya, juga menjadi pusat militer dan teknik, yang diabdikan, sudah tentu, kepada kepentingan perjuangan rakyat Tiongkok dan dunia. Bukannya, seperti sekarang, digunakan untuk mengklaim seluruh Laut Tiongkok Selatan sebagai miliknya, menjarah kekayaan alam negeri-negeri Dunia Ketiga dan mencari keuntungan semaksimal mungkin. Mao mendidik rakyatnya untuk mengikat pinggang erat supaya bisa membantu perjuangan rakyat sedunia. Karena paling sedikit rakyat Tiongkok sudah memiliki kekuasaan politik, sedangkan rakyat negeri lain masih harus memperjuangkannya.
Dengan berkuasanya klik remo Deng, kita saksikan Tiongkok telah mengkhianati sosialisme dan rakyatnya sendiri, dan juga perjuangan rakyat sedunia. Apakah itu bukan bukti kolaborasi kaum remo Tiongkok dengan kaum imperialis? Hanya agen remo yang dungu dan buta politik tidak mengerti hubungan antara revisionisme dengan imperialisme. [Tatiana Lukman]