Koran Sulindo – William Hinton, dalam Mao, Rural Development, and Two-Line Struggle menulis bahwa seruan Liu Shaoqi untuk mengkonsolidasi “sistem demokrasi baru”, pada 50-an, dalam praktik, sebenarnya merupakan seruan untuk membangun kapitalisme. Mula-mula Hinton melihat perbedaan pandangan antara Mao dan Liu berkaitan dengan jalan terbaik menuju sosialisme. Namun akhirnya ia menjadi sadar bahwa perbedaan pandangan itu bersifat kelas. Masing-masing mewakili pandangan kelas yang antagonis.
Kesimpulan Mao bahwa kontradiksi antagonis yang menghalangi pembangunan sosialis terdapat di dalam partai komunis sendiri, sangat mengejutkan Hinton. Mao adalah pemimpin komunis pertama di dunia yang mengemukakan hal itu. Banyak orang kiri, bahkan komunis, yang menganggap Mao “gila” menempatkan kawan-kawan seperjuangan lama sebagai musuh Revolusi Besar Kebudayan Proletar (RBKP). Bukan Mao yang “gila”, melainkan merekalah yang tidak mengerti dan menolak mengakui kebenaran kata-kata Mao, 1957: ”Masih ada sisa-sisa tuan tanah dan klas komprador yang sudah digulingkan, masih ada borjuasi dan pengubahan terhadap borjuis kecil baru saja dimulai. Perjuangan klas antara proletariat dan borjuasi, antara berbagai kekuatan politik dan antara proletariat dan borjuasi di bidang ideologi akan makan waktu panjang, berliku-liku dan kadang-kadang bahkan sangat tajam. Kaum proletariat berusaha mengubah dunia menurut pandangan dunianya sendiri dan begitu juga kaum borjuasi. Dalam hal ini, masalah siapa yang akan menang, sosialisme atau kapitalisme masih belum sungguh-sungguh dipecahkan”.
Setelah reform kapitalis Deng menghancurkan basis ekonomi sosialis, baru Hinton sadar dan mengerti apa yang dimaksud Mao dengan “jalan kapitalis” dan “pengambil jalan kapitalis”.
Perjuangan Kelas dan Kemunafikan Kaum Revisionis
Salah satu pelajaran penting dari RBKP adalah kesadaran bahwa selama periode pembangun an sosialis masih terus ada perjuangan kelas yang tercermin dalam perjuangan dua garis da-lam PKT. Kemenangan Revolusi Demokrasi Baru (RDB) yang melahirkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), 1949, tidak menghilangkan kontradiksi antara garis Mao yang konsekwen maju di jalan sosialis dan garis Liu Shaoqi yang ingin membangun kapitalisme. Partai lahir dan hidup dalam sebuah masyarakat berkelas, maka perjuangan ideologi melawan borjuasi merupakan perjuangan kelas yang masih harus dilancarkan. Lahirlah slogan Maois “Jangan pernah melupakan perjuangan kelas”.
Bandingkan dengan laporan politik Liu Shaoqi kepada Kongres PKT ke VIII 1956, yang menegaskan bahwa perjuangan yang menentukan antara sosialisme dan kapitalisme sekarang telah berakhir. Sedangkan Deng dalam pidatonya di depan sidang CCPKT tahun 80-an berkata, ”Mengatakan bahwa perjuangan klas masih belum selesai? Itulah fikiran Revolusi Kebuda-yaan..”
Sementara itu, Mobo Gao berpendapat Deng Xiaoping dan konco-konconya sebetulnya bukan marxis. Pada dasarnya mereka adalah orang-orang nasionalis revolusioner yang turut serta dalam RDB karena itu merupakan satu-satunya jalan guna mencapai martabat dan persatuan rakyat Tiongkok. Ketika itu, nasionalisme dan perjuangan kelas bergandengan tangan. Tapi, setelah pembebasan 1949, kedua tema itu tidak bisa lagi jalan bersama.
Setelah merasa kekuasaannya terkonsolidasi, Deng dengan terbuka mengajukan garis “modernisasi, keterbukaan”, teori “kucing putih kucing hitam”, “menghentikan” perjuangan kelas dan mengutamakan pembangunan ekonomi. Tapi, benarkah kaum revisionis yang berkuasa itu menghentikan perjuangan kelas? Yang mereka hentikan adalah Revolusi Kebudayaan yang merupakan perjuangan kelas yang dilancarkan kelas proletariat melawan kaum revisionis dalam partai yang mengambil jalan kapitalis.
Adanya perjuangan kelas tidak tergantung pada pengakuan siapapun. Ia ada secara objektif. Penyangkalan Liu dan Deng tidak berarti perjuangan kelas atau kontradiksi kelas itu hilang.
Tiap kontradiksi mengandung dua aspek yang bertentangan. Tahun 1953, Mao mengemukakan kontradiksi pokok antara klas proletariat dan klas borjuasi. Tahun 60-an, selama RBKP berlangsung, Mao menunjukkan sasaran atau aspek yang harus ditundukkan adalah kaum revisionis reaksioner yang berkuasa dalam partai dan mengambil jalan kapitalis. Celakanya, aspek inilah akhirnya yang berdominasi melalui kudeta 1976! Jadi sebenarnya klik revisionis Deng melancarkan perjuangan kelas sengit melawan kaum Maois dan berhasil menang!
Setelah berkuasa, mereka sama sekali tidak mengendorkan perjuangan kelas! Perlawanan buruh, tani dan penduduk menentang reform kapitalis dan penggusuran selalu mendapat penindasan polisi, tentara dan centeng-centengnya. Jangan lupa penindasan Tian An Men, 1989!
Di abad ke-21, seiring dengan meningkatnya kesadaran di kalangan buruh, mahasiswa dan intelektual, pembungkaman dan penindasan makin intensif. Tahun 2012, beberapa situs yang memuat tulisan dan komentar yang berseberangan dengan terompet penguasa ditutup. Antara lain situs Utopia, maozedongflag.net, chineseworkers.net dan masih banyak lagi. Ketika itu, Bo Xilai, pejabat partai tertinggi Chongqing, yang mempopulerkan lagu-lagu zaman Mao, ditangkap dan masuk penjara dengan tuduhan korupsi. Kawan-kawannya pun dicopot dari jabatannya. Desember 2015, sejumlah besar organisasi dan LSM pendukung buruh menjadi sasaran serangan aparat kepolisian. Dalam penindasan yang dinamakan “709” (9 Juli), sekitar 200 pengacara dan aktivis HAM ditangkap. Beberapa di antaranya didakwa “subversi kekuasaan negara” dan dituduh berkolaborasi dengan “kekuatan asing”.
Kaum Marxis-Leninis-Maois-Kiri
Kita lihat di foto pemudi dan pemuda umur 20-an. Banyak di antara mereka berasal dari keluarga kaya, karena biaya pendididkan universitas mahal. Mereka belajar di universitas-universitas elite terkenal seperti Universitas Peking, Tsinghua, Universitas Rakyat. Di situ mereka jadi anggota grup-grup studi “Marxist Society”. Di samping mempelajari dan mendiskusikan marxisme, banyak yang terjun langsung dan bekerja di pabrik. Di situlah mereka mengenal dan merasakan sendiri penghisapan brutal yang diderita kaum buruh.
Misalnya, siswa yang pakai nama samaran Luke, cerita bahwa ia menjadi marxis berkat pengalaman bekerja dengan 20 orang buruh muda di sebuah workshop di pinggiran kota Peking. Mereka merakit kotak-kotak karton selama 12 jam di ruangan di bawah titik beku tanpa pemanas. Ia sangat terkejut melihat tangan para pekerja perempuan yang tinggal di workshop itu, “bengkak seperti lobak” karena kedinginan. Semua mereka tak dapat menyelesaikan pendidikannya. Majikan mendatangkan mereka dari pedesaan dan tidak tahu kapan bisa kembali. Luke berkata: “Cara produksi kapitalis ini dapat mengubah manusia menjadi budak-budak feodal”. Sejak itu, Luke, bersama dengan siswa kiri lainnya, mengorganisasi, bicara dalam pertemuan, mendukung tukang sapu, tukang sampah, tukang masak, penjaga dan pekerja lain yang bekerja di kampus.
Juni 2015, Shen Mengyu tamat jurusan Mathematics and Computational Science di Universitas Sun Yatsen. Bukannya cari pekerjaan di perusahaan IT, ia malah masuk pabrik dan bekerja di jalur perakitan.
Sebagai siswa, ia sudah sering mendengar cerita bagaimana buruh dilindas roda pembangunan, tentang buruh pabrik Foxconn yang lompat dari gedung asrama atau pabrik, 40 ribu jari-jari putus setiap tahun di Pearl River Delta, 280 juta buruh migran yang mengorbankan masa remajanya untuk membangun kota tapi tidak bisa tinggal di kota, tentang penyakit yang disebabkan karena pekerjaan, seperti keracunan benzol, leukemia, pneumoconiosis yang membuat penderita sesak nafas dan ingin lebih cepat mati. Kaum buruh membangun kota-kota dengan darah dan keringatnya, tapi kemudian digilas dan diusir dari kota.
Shen mulai mempelajari undang-undang dan peraturan perburuhan dan pergi ke daerah industri dan kampung-kampung buruh di kota, untuk mengenal dan mengerti kehidupan serta kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Kalau turun hujan, garasi bawah tanah di mana buruh tinggal, tergenang air, pakaian dan tempat tidur basah kuyup. Shen menjelaskan peraturan dan undang-undang perburuhan, namun kata-kata hitam di atas putih tidak dapat memberi mereka kontrak kerja. Di pabrik sepatu Dongguan Yuyuan, Shen mendengar buruh yang sudah kerja 10 tahun lebih dan hampir pensiun, baru tahu bahwa pabrik tidak membayar bagian dari jaminan sosial yang merupakan kewajibannya.
Shen jadi bingung dan syok! Kekuasaan macam apa ini yang membuat undang-undang sama sekali tak berguna? Dihadapkan pada kenyataan kejam itu, Shen jadi sadar buruh lahir miskin akan mati miskin pula. Akhirnya Shen bekerja di pabrik suku cadang Guangzhou Rihong Electromechanical Co. Ltd. yang dimodali Jepang. Jadilah dia buruh industri.
Hari pertama Shen masuk kerja di workshop, bunyi raungan mesin seperti memecahkan gendang telinganya, bau minyak dan debu metal memenuhi seluruh workshop. Peringatan bahaya benzol dan bahan kimia lainnya sangat menakutkan. Buruh mengenakan masker sekali pakai yang tidak dapat secara efektif memblokir debu atau menyaring gas beracun, dan beberapa bahkan tidak memiliki masker sekali pakai. Ruang kerja itu panas sepanjang tahun, dan sudah sangat panas di bulan Mei. Itu normal ketika panas 35 derajat atau lebih, dan di beberapa tempat bahkan mendekati 50 derajat. Intensitas kerja dan keringat deras membuat masker yang tipis basah dan membuat orang merasa tercekik, apalagi masker tebal yang tertutup rapat.
Lebih mengenaskan lagi keadaan buruh perempuan yang hamil, karena mereka harus lebih keras bekerja guna mencapai target produksi, sampai harus mengorbankan hak libur perem puan hamil. Xiaomei, rekan kerja Shen, selalu keguguran tiap kali hamil selama bekerja di pabrik itu. Akhirnya ia keluar.
Itulah yang disebut pabrik suku cadang mobil “berupah tinggi”, di mana buruh mengorbankan kesehatannya untuk apa yang disebut “upah tinggi”. Banyak rekan kerja Shen yang menderita rhinitis dan bronkitis karena bekerja lama di lingkungan yang keras itu, serta kehilangan pen dengaran dan penurunan sel darah putih. Harga yang harus dibayar buruh untuk melahirkan sertifikat “pemasok unggul” tentu tidak menarik perhatian pengagum “Sosialisme dengan ciri Tiongkok”.
Pengalaman bekerja sebagai buruh itulah yang membuat Shen Mengyu sadar akan perlunya berjuang untuk perubahan, tidak bisa hanya mengeluh saja. Buruh kehilangan martabat dan haknya sebagai manusia.
Para buruh migran ini pasti termasuk dalam “jutaan yang telah diangkat dari kemiskinan”!. Alangkah baiknya kalau antek remo serta para pengagum “pembangunan” bekerja di pabrik seperti itu. Mereka tidak akan jadi marxis, tapi setidaknya akan tahu bagaimana buruh harus bekerja untuk masuk dalam kategori “bebas dari kemiskinan” yang dipropagandakan kaum penguasa remo serta para centengnya dengan bangga.
Kasus Jasic di Shenzhen
April 2018, sekitar 89 buruh dan aktivis di pabrik Jasic mencoba mendirikan serikat buruh in dependen. Mengapa buruh merasakan perlunya sebuah serikat buruh independen? Sudah terbukti, dalam setiap konflik dengan majikan, serikat buruh resmi selalu berpihak kepada ka pitalis. Ditanya mengapa serikat buruh resmi berpihak kepada kaum kapitalis, seorang pejabat komunis berkata, di mana-mana kita dapat temukan buruh, tapi kapitalis sedikit. Bayangkan, itulah pendapat orang “komunis” Tiongkok tentang buruh dan kapitalis.
Akibat dari tindakan mencoba mendirikan serikat buruh independen, beberapa buruh dipecat.
Akhir Juli, konflik meluas, ketika 20 buruh dan seorang aktivis mahasiswa ditangkap karena memprotes perlakuan brutal polisi. Awal Agustus, Shen Mengyu, Yue Xin dan simpatisan lain nya dari Universitas Peking, Tsinghua, Nanjing dan Sun Yatsen membentuk Grup Pendukung
Solidaritas Buruh Jasic. Mereka cerminkan dukungannya melalui surat terbuka, tulisan di media sosial, menyebar luaskan foto dan video pidato dan manifestasi damai di depan pabrik Jasic dan kantor polisi. Koalisi buruh-mahasiswa itu menuntut pembebasan tanpa syarat semua buruh yang ditahan, hukuman bagi polisi dan preman yang memukuli buruh dan mempekerjakan kembali buruh yang dipecat.
Memperingati Hari Meninggalnya dan Kelahiran Mao
Para mahasiswa kiri dari berbagai universitas, buruh dan aktivis pendukung buruh Jasic juga terlibat dalam aksi bulan September untuk memperingati 42 tahun meninggalnya Mao, dan Desember 2018, 125 tahun kelahirannya, di Shaosan, provinsi Hunan. Di sini terbelejeti lagi kemunafikan rezim kapitalis Xi Jinping. Bukannya mendukung anak-anak muda yang ingat ke pada Mao, malah aparat polisi dikerahkan untuk menangkap mereka dengan alasan membuat keributan.
Qiu Zhanxuan, ketua Marxism Study Society di Universitas Peking, ditangkap polisi berbaju sipil, dalam perjalanannya menuju peringatan ulang tahun Mao. Shen Mengyu dan Yue Xin, setelah dibebaskan dari penangkapan yang pertama, diculik, dalam perjalanan menuju Shenzhen untuk mendukung buruh Jasic. Setelah mereka hilang, sejumlah mahasiswa Universitas Peking membentuk “Gerakan mencari Yue” untuk melobi kebebasannya. Tak lama kemudian, diberitakan salah seorang organisatornya, Zhang Shengye, hilang. [Tatiana Lukman]