Membobol Triliunan Rupiah dari Sebuah Ruko

Ilustrasi: Ruko PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (PT SNP) di bilangan Tanah Abang, Jakarta/YMA

Koran Sulindo – Rumah toko yang beralamat di RW.2, Duri Pulo, Gambir, Jakarta Pusat, itu tak menyolok; persis sama dengan banyak ruko yang dipakai untuk perkantoran atau mini market di seantero Jakarta. Tapi dari ruko yang secara lokasi sebenarnya lebih dekat ke pasar Tanah Abang daripada alamatnya yang menyiratkan di sekitaran stasiun kereta api Gambir itu bermula pembobolan 14 bank hingga Rp 14 triliun.

Pekan lalu Subdit Perbankan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menggeledah ruko yang menjadi kantor lembaga pembiayaan kredit PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (PT SNP), induk perusahaan pengkreditan PT Cipta Mandiri Prima yang dikenal dengan nama Columbia itu. Pekan lalu juga Bareskrim menaikkan status kasus pembobolan raksasa ini ke penyidikan.

Dari bangunan ruko 4 lantai bercat biru itu penyidik membawa 3 unit CPU dari ruang PT SNP di lantai 3. Sunprima diketahui menumpang di sana setelah sebelumnya dinyatakan pailit. Polisi sempat berbincang dengan salah satu karyawan di ruangan, di mana terpampang foto salah satu DPO yakni Leo Chandra pendiri Columbia sekaligus pemilik saham PT SNP.

Terungkapnya kasus pembobolan bank ini berawal dari laporan Bank Panin pada awal Agustus 2018. Wakil Direktur Tipideksus, Kombes Daniel Tahi Monang Silitongan, mengatakan PT SNP mengajukan pinjaman fasilitas kredit modal kerja dan fasilitas rekening koran kepada Bank Panin periode Mei 2016 sampai 2017 dengan plafon sebesar Rp425 miliar. Tapi 2 tahun kemudian, Mei 2018, kredit tersebut macet sebesar Rp141 miliar.

Tak tanggung-tanggung, penyidikan polisi menemukan PT SNP diduga melakukan dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen, penggelapan, penipuan, dan tindak pidana pencucian uang.

“Modusnya dengan menambahkan, menggandakan, dan menggunakan daftar piutang fiktif, berupa data list yang ada di PT CMP,” kata Daniel, dalam konferensi pers di Bareskrim, Gambir, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Menurut Daniel, hal itu dilakukan SNP kepada 13 bank lain, selain Panin, yang terdiri atas beberapa bank besar milik negara dan bank swasta.

“Total kerugian berkaitan dengan fasilitas kredit sekitar Rp14 triliun,” kata Daniel.

Dalam kasus Columbia ini polisi sudah menangkap dan menetapkan lima tersangka, yaitu Direktur Utama PT SNP berinisial DS, AP (Direktur Operasional), RA (Direktur Keuangan), CDS (Manager Akutansi) dan AS (Asisten Manager Keuangan).

Belakangan pendiri Columbia finance, Leo Chandra (LC), yang menjadi buronan dalam kasus pembobolan ini akhirnya menyerahkan diri, setelah kasus ini berubah dari perdata ke pidana. Menurut polisi, Leo selain pemegang saham juga yang merencanakan piutang fiktif mirip film Holywood ini.

Ilustrasi: Para tersangka pembobolan bank oleh PT SNP di Bareskrim Polri/YMA

“Masih ada 2 lagi yaitu LD, anaknya LC, dan SL orang keuangan,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim, Brigjen Rudy Heriyanto, kepada Koran Sulindo.

OJK

SNP Finance adalah perusahaan pembiayaan barang-barang elektronik yang berinduk pada PT Citra Prima Mandiri, lebih dikenal sebagai Grup Columbia. SNP mendukung pembiayaan pembelian barang yang dilakukan oleh Columbia tersebut, yang bersumber dari kredit perbankan.

Kasus SNP Finance muncul ke permukaan setelah kredit SNP Finance ke Bank Panin macet pertengahan tahun ini. Stelah itu baru muncul gugatan dari Bank Mandiri dan Bank BCA. Bank plat merah ini telah menyalurkan kredit sebesar Rp 1,4 triliun ke SNP Finance, sedang tunggakan di BCA sebesar Rp 200 miliar.

Namun, ternyata, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) konon sudah mencium anomali perusahaan, yang mempunyai cabang hampir semua supermarket di seluruh Indonesia itu, sejak setahun lalu. Juli 2017.

“Yang bongkar ini awalnya pengawas di 2017 tertangkap angka beda antara CAPS itu suatu aplikasi connecting SNP. Ada selisih saldo di sana. Kami minta Bank Mandiri melakukan pemeriksaan dan pembenahan,” kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III  OJK, Slamet Edy Purnomo, pekan lalu.

Pemberian pinjaman ke SNP Finance dilakukan dengan sistem executing, yaitu memberikan langsung pembiayaan ke perusahaan pembiayaan tersebut, dan bank melakukan joint financing ke lembaga pembiayaan itu. Artinya, kredit diberikan pada SNP Finance dan SNP Finance sendiri yang menyalurkannya ke pengguna.

Dalam perjalanannya, Kantor Akuntan Publik (KAP) Deloitte, yang menjadi auditor dan memeriksa laporan keuangan perusahaan merilis laporan keuangan SNP Finance terbilang apik.

Hal itu terus dilakukan, namun di saat bersamaan secara riil bisnis toko Columbia, makin seret dan akhirnya terjadilah kredit bermasalah (non performing loan/NPL) itu.

Tindakan SNP mengatasi kredit bermasalah tersebut? Menerbitkan Medium Term Notes (MTN). Penerbitan semacam surat utang ini memerlukan rating, dan ini dilakukan Pefindo berdasarkan laporan keuangan yang diaudit oleh KAP Deloitte. Penerbitan MTN tidak melalui proses di OJK, karena perjanjian yang bersifat privat, namun tetap memerlukan pemeringkatan karena dapat diperjualbelikan.

“MTN muncul manakala kredit disetop oleh Bank Mandiri,” kata Slamet.

SNP lalu mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap kewajibannya sebesar ± Rp 4,07 triliun, yang terdiri dari kredit perbankan sebesar ± Rp 2,22 triliun dan MTN sebesar ± Rp 1,85 triliun.

Sejak Mei 2018, SNP dalam status dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh OJK karena belum menyampaikan keterbukaan informasi kepada seluruh kreditur dan pemegang MTN sampai batas waktu habis.

OJK melakukan evaluasi atas langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank Mandiri, dan hoppla: tunggakan dalam jumlah sangat besar hingga triliunan.

Bank tak Melapor

Corporate Secretary Bank Mandiri, Rohan Hafas, mengatakan nominal uang pinjaman yang dirugikan mencapai angka Rp1,2 triliun. “Dulu Rp1,4 triliun, ada pembayaran menjadi Rp1,2 triliun,” kata Rohan, pekan lalu.

Rohan mengatakan dampak kerugian dari kasus ini cenderung kecil. “Mandiri total kreditnya Rp800 triliun, itu Rp1,2 triliun, dampaknya kecil,” kata Rohan.

Sementara itu, Corporate Secretary BCA, Jan Hendra tidak menyebutkan nominal penipuan kredit yang dialami BCA. Hanya saja, berdasarkan informasi yang beredar nominal kerugian BCA mencapai Rp210 miliar.

“BCA memang menjadi salah kreditur bagi SNP Finance yang dikenal Columbia,” kata Jan, pekan lalu, seperti dikutip tirto.id.

Menurut Jan, nilai itu juga kecil karena laporan keuangan BCA per Mei 2018, total kredit BCA mencapai Rp486,5 triliun. “Secara nominal dampaknya kecil sekali, dibandingkan dengan total kredit yang telah disalurkan. Jadi, tidak ada dampaknya,” kata Hendra.

Namun dalam kasus seperti ini, yang melibatkan lembaga perbankan yang alasan utama keberadaannya adalah kepercayaan, maka soal kecil dan besar mestinta tak dilihat dari sekadar nilai kerugian semata. Masalah terbesar adalah seperti tidak adanya kehati-hatian dari perbankan dalam memberikan pinjaman.

“Bank harus lebih prudent. OJK harus meningkatkan pengawasan dengan lebih dini, sehingga tidak terjadi kasus ini,” kata pengamat perbankan, Paul Sutaryono, pekan lalu.

Menurut Paul, OJK perlu meningkatkan pengawasan terutama yang bersifat lebih awal supaya tidak menjadi kasus besar. OJK juga harus mendorong perbankan yang menjadi korban untuk melaporkan penipuan yang dilakukan SNP ke polisi agar kasus ini dapat diusut tuntas.

Tepat di sinilah juga kasus ini seperti lama tak beranjak, dari 14 bank yang dibobol, hanya Bank Panin yang melpor ke polisi; dengan BCA dan Mandiri mengaku bagian dari 14 bank tersebut.

“Kita mengetahui setelah korban berani melapor, meskipun nanti dari mereka ada yang harus kita tindak,” kata Daniel, pekan lalu, sambil mengatakan bank bisa dikenakan Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan, belum lagi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. [Yudha Marhaena/Didit Sidarta]