Membengkak, Kewenangan DPR Setelah Reformasi 1998

Gedung DPR/wikimedia.org

Koran Sulindo – Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini dinilai terlalu besar dan luas, yang memberikan ruang bagi kemungkinan penyelewengan. Kewenangan DPR setelah reformasi membengkak.

Pendapat ini dilontarkan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zainal Arifin Mochtar, dalam seminar “Menelusuri Peran dan Kinerja DPR dalam Pemberantasan Korupsi” di University Club UGM, Senin (20/3). “Pendulum kekuasaan yang dulu ada di presiden kemudian ditarik ke DPR karena adanya trauma dengan persoalan pada masa presiden Soeharto, sehingga kini fungsi DPR tidak lagi hanya 3 tapi sudah bertambah 2 fungsi lagi,” ujarnya.

Zainal kemudian memberikan contoh terkait fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Fungsi ini dimaknai dengan terlalu luas, namun tanpa didukung dengan komitmen serta kemampuan yang mumpuni, sehingga di beberapa kasus justru membuka peluang terjadinya pemerasan dan aksi suap-menyuap.

“Sekarang untuk jadi pejabat publik apa pun di negeri ini harus via DPR. Padahal, dalam sistem presidensial, DPR seharusnya diarahkan kepada presiden untuk mengawasi pelaksanaan wewenangnya, bukan malah mengawasi semua,” kata Zainal.

Sementara itu Wakil Ketua KPK Laode M Syarif yang juga tampil sebagai pembicara menyoroti adanya keinginan dari DPR untuk merevisi UU KPK. Menurutnya, revisi UU KPK yang digaungkan DPR ditengarai merupakan bagian dari upaya untuk melemahkan KPK. Sebab, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK masih cukup efektif.

“Upaya revisi UU KPK yang dilakukan pada saat ini akan berdampak sistematis terhadap melemahnya gerakan pemberantasan korupsi,” ujar Laode.

Laode menegaskan, semestinya DPR perlu mendengarkan KPK untuk mengetahui apa yang dibutuhkan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi, bukan justru membatasi ruang gerak KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Misalnya terkait pendapat-pendapat yang mempermasalahkan penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Tindakan ini, menurutnya, bukanlah menjadi sesuatu yang perlu dipermasalahkan, hanya perlu diatur secara khusus.

“Sebenarnya tidak masalah kalau kami izin ke pengadilan, tapi bagaimana kalau yang terlibat itu justru panitera atau hakim sendiri Pasti ada konflik kepentingan. Kalau kami menyadap, tentu itu berdasarkan pro yustisia, bukan dilakukan sembarangan,” tegas Laode.

Dalam seminar itu Laode juga mengingatkan bahwa DPR sebagai lembaga legislatif perlu memperhatikan kepentingan serta aspirasi rakyat. Dikatakan, DPR memegang peranan strategis dalam pemberantasan korupsi, maka bila fungsinya digunakan justru untuk melemahkan pemberantasan korupsi mestinya juga harus bertanggungjawab kepada rakyat

“Kalau DPR membuat inisiasi yang bertentangan dengan keinginan rakyat, berarti mereka sedang menodai kepercayaan rakyat,” tutur Laode.

Berdasarkan alasan itulah Laode mengajak publik untuk mengawasi serta menolak tegas segala upaya yang dikemas dengan berbagai cara untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. [YUK]