Koran Sulindo – Dinamika politik di Timur Tengah bergerak cepat. Kendati Rusia dan Amerika Serikat (AS) tetap menjadi aktor utama. Moskow kemudian bekerja sama dengan Iran untuk membicarakan proses rekonsiliasi di Suriah.
Karena itu, keinginan Arab Saudi untuk mendominasi negara-negara Arab dan Islam nampaknya hanya tinggal mimpi. Padahal, sekitar dua tahun lalu negeri ini sangat berupaya membangun kekuatannya untuk menancapkan dominasinya di Timur Tengah selama berabad-abad.
Upaya itu nampaknya akan berhasil. Namun, itu hanya di atas kertas. Kekalahan Arab Saudi menjadi terlihat jelas ketika sekutu yang mereka dukung dalam perang Suriah terpaksa menyerah setelah Kota Aleppo berhasil sepenuhnya diduduki tentara pemerintah Suriah.
Memang di Suriah, Saudi tidak terlibat langsung dengan mengerahkan kekuatan militer. Berbeda dengan di Yaman. Akan tetapi, Saudi harus membayar mahal atas kekalahan mereka di Suriah. Alih-alih mampu menekan dan mengendalikan Iran, mereka justru frustasi menghadapi kegagalan tersebut.
Bahkan dalam pertemuan negara-negara penghasil minyak atau OPEC yang terakhir, Iran justru berani menentang keputusan Saudi yang ingin menurunkan produksi minyak mentah. Iran menolak dan akan menaikkan produksi minyak, sesuatu yang ditolak Riyadh.
Sekutu utama mereka, Amerika Serikat (AS) terutama di penghujung kekuasaan Presiden Barrack Obama juga tak lagi mampu menjamin dan melindungi Kerajaan Arab Saudi. Itu tercermin dari suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpecah soal kemungkinan keluarga korban serangan 9/11 2001 untuk menuntut pertanggungan Saudi atas peristiwa itu.
Dengan semua itu, nampaknya tidak ada yang baik bagi Saudi termasuk keterlibatan mereka di Yaman dan Suriah. Di Yaman, Saudi berharap Houthi yang didukung Iran dapat dengan cepat dikalahkan pasukan pro Arab. Namun, kenyataan berkata lain. Akibat perang berkepanjangan itu, puluhan ribu orang mesti mengungsi. Fakta lain akibat perang itu, 60 persen dari 25 juta penduduk Yaman kekurangan air dan makanan.
Kenyataan ini tak membuat Saudi menurunkan keterlibatan mereka dalam perang Suriah pada 2015. Saudi justru berhasil mengajak dan meyakinkan Qatar agar terlibat di Suriah untuk menjatuhkan Presiden Bashar Al Assad. Qatar percaya bahwa Assad bisa dijatuhkan dalam waktu singkat seperti yang dialami Muammar Khadafi di Libya. Tapi, itu dengan campur tangan AS dengan militer lewat NATO.
Melihat situasi itu, Assad kemudian meminta bantuan militer Rusia dan Iran yang pada akhirnya membatalkan niat AS membantu secara militer terhadap kelompok pemberontak yang didukung Saudi serta Qatar. [Baca juga: Membaca Pergeseran Arab Saudi ke Asia (Bagian I)]
Saudi Memperbaiki Hubungan
Situasi ini kemudian memaksa Saudi untuk memperbaiki hubungan tradisionalnya dengan Iran. Sebuah tulisan di globalresearch menyebutkan itu bukan semata-mata karena kemenangan Suriah bersama Rusia dan Iran dalam perang Suriah. Perubahan geo-politik terutama sikap AS terhadap Iran mendasari sikap Saudi kepada Teheran. Negosiasi nuklir Iran menjadi dasar dari pembangunan kepercayaan antara AS dan Iran yang diperantarai Rusia.
Berdasarkan beberapa peristiwa ini kita bisa memahami mengapa kini Saudi mengalihkan investasinya ke Asia terutama ke Tiongkok, Jepang, Malaysia dan Indonesia. Selain ingin berinvestasi, Saudi juga nampaknya ingin mencari pendanaan karena sedang mengalami kesulitan keuangan di dalam negeri.
Itu sebabnya, Saudi baru-baru ini menjalin kerja sama dengan Japan’s SoftBank Group dan berencana berinvestasi hingga US$ 45 miliar di bidang teknologi sebagai upaya tambahan untuk diversifikasi industri Saudi. Pilihan Saudi mengalihkan investasi dari Barat ke Asia nampaknya agak masuk akal. Terlebih Tiongkok, Jepang dan India mampu menyerap lebih dari 39 persen minyak Saudi pada 2014. Sementara AS pada tahun yang sama hanya mampu menyerap sekitar 19 persen. Total impor minyak negara-negara Asia dari Saudi mencapai 51 persen pada 2015.
Kerja sama Saudi dengan Tiongkok pun bukan perkara baru. Tiongkok melalui China Railway Construction Corporation telah bekerja sama dengan pemerintah Saudi membangun infrastruktur kereta api untuk menghubungkan Mekah dan Madinah untuk mengatasi kemacetan musim haji. Kerja sama ini disepakati sejak 2009 dan diselesaikan pada 2013. Meski perusahaan telekomunikasi Tiongkok Huawei telah masuk lebih dulu sebelum kerja sama pembangunan infrastruktur kereta api ini.
Saudi juga membutuhkan pendanaan untuk memulihkan kondisi keuangan negaranya yang disebut menuju kebangkrutan. Seperti yang dilaporkan RT.com, Dana Moneter Internasional (IMF) pada 2015 memprediksi dalam lima tahun ke depan Saudi akan mengalami kebangkrutan. Pasalnya, Saudi menhgalami defisit anggaran yang mencapai 21,6 persen pada 2015 dan 19,4 persen pada 2016.
Karena itu, IMF mendesak Saudi untuk menyesuaikan penerimaan dan anggaran belanjanya. Lembaga keuangan internasional ini menyebutkan ada dua faktor utama yang menyebabkan Saudi mengalami defisit anggaran. Pertama karena konflik regional yang tidak kunjung usai dan merosotnya harga minyak mentah dunia.
Konflik atau perang telah menciptakan pengungsi dalam jumlah yang besar. Dan terus bertambah bahkan sejak periode awal 1990-an. Saudi disebut perlu mencapai kesinambungan fiskal dalam jangka menengah mengingat akan ada 10 juta orang yang mencari pekerjaan pada 2020.
Defisit anggaran yang dihadapi Saudi merupakan kali pertama sejak 2009. Menurunnya harga minyak dunia sangat berpengaruh kepada Saudi. Pasalnya, penerimaan negara 80 persen berasal dari penjualan minyak. Akibatnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan memotong belanja, menunda proyek dan menjual surat utang.
Berdasarkan fakta tersebut, tur Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz ke Asia termasuk Indonesia sesungguhnya membawa misi untuk menyelamatkan perekonomian negaranya. Nampaknya, turnya ke Indonesia tidak akan membawa banyak manfaat yang berarti bagi perekonomian kita. Dan sangat mungkin Raja Salman hanya menebar ilusi kesejahteraan bagi negara-negara yang dikunjunginya. [KRG]