Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman agama dan kepercayaan. Setiap pemeluk agama memiliki hari-hari besar yang sarat makna spiritual dan nilai-nilai luhur. Dalam Islam, umat memperingati Isra Miraj sebagai momen perjalanan agung Nabi Muhammad SAW; dalam agama Hindu, Hari Raya Nyepi menjadi waktu hening untuk refleksi dan penyucian diri. Begitu pula dalam tradisi Kristiani, terdapat rangkaian peringatan suci, salah satunya adalah Jumat Agung, peringatan hari wafatnya Yesus Kristus yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Paskah.
Tahun ini, Jumat Agung jatuh pada Jumat, 18 April 2025. Mari menyelami makna mendalam dari hari penuh perenungan ini, yang bukan hanya menjadi pengingat akan penderitaan, tetapi juga tentang cinta kasih, pengorbanan, dan harapan yang tak pernah padam.
Setiap tahunnya, umat Kristiani di seluruh dunia memperingati Hari Wafat Yesus Kristus, yang lebih dikenal dengan sebutan Jumat Agung. Di tahun 2025, peringatan sakral ini jatuh pada hari Jumat, 18 April dua hari sebelum Hari Raya Paskah. Meski merupakan hari berkabung atas wafatnya Yesus Kristus, Jumat Agung menyimpan makna spiritual yang mendalam, menjadikannya salah satu peristiwa paling penting dalam kalender liturgi Gereja.
Asal-Usul Jumat Agung
Jumat Agung merujuk pada hari ketika Yesus Kristus disalibkan dan wafat di Bukit Golgota, Yerusalem, lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Peristiwa ini merupakan bagian dari kisah sengsara Yesus, yang diyakini sebagai Anak Allah dan Juru Selamat umat manusia dalam iman Kristiani.
Yesus ditangkap oleh otoritas Romawi setelah dikhianati oleh murid-Nya sendiri, Yudas Iskariot. Ia kemudian diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan cara penyaliban, salah satu bentuk eksekusi paling menyakitkan pada masa itu. Namun, dalam pandangan iman Kristen, kematian Yesus bukan sekadar akhir hidup seorang tokoh rohani, melainkan bentuk pengorbanan agung demi menebus dosa umat manusia.
Meskipun Jumat Agung adalah hari penuh duka, penderitaan, dan keheningan, hari ini justru disebut “Agung” karena nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Bagi umat Kristiani, penyaliban Yesus menjadi lambang kasih ilahi, pengampunan, dan pengorbanan yang tak terhingga. Ini adalah momen kontemplatif yang mengajak setiap pribadi untuk merenungi arti kerendahan hati, kesabaran, dan cinta yang tulus tanpa pamrih.
Dalam penderitaan-Nya, Yesus menunjukkan jalan menuju pengampunan dan keselamatan. Itulah sebabnya, Jumat Agung bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan juga refleksi spiritual yang mendalam bagi umat Kristen di seluruh dunia.
Jumat Agung diperingati dengan berbagai bentuk ibadah khusus yang berlangsung dalam suasana khidmat dan hening. Di banyak gereja, misa Jumat Agung menjadi momen sakral yang mengajak umat untuk merenung dan berdoa dalam keheningan. Tidak ada sukacita, nyanyian gembira, atau perayaan meriah seperti pada hari raya lainnya.
Beberapa gereja mengadakan drama penyaliban atau prosesi jalan salib, dikenal pula dengan sebutan Via Dolorosa sebagai bentuk permenungan terhadap penderitaan Yesus. Umat juga kerap menjalani puasa dan pantang sebagai simbol solidaritas dengan penderitaan Kristus.
Peringatan ini tidak hanya menjadi ekspresi duka, tetapi juga penghayatan akan pengorbanan dan pengampunan. Dalam keheningan Jumat Agung, umat diajak untuk memperbarui komitmen hidup dalam kasih dan kesetiaan kepada nilai-nilai kebaikan, meskipun harus melalui jalan derita.
Jumat Agung mengajarkan bahwa dari derita dan kematian, dapat tumbuh harapan dan kehidupan baru. Dalam iman Kristiani, kematian Yesus bukanlah titik akhir, melainkan gerbang menuju kebangkitan. Oleh sebab itu, setelah Jumat Agung selalu ada Minggu Paskah, hari penuh sukacita yang menandai kemenangan hidup atas kematian.
Peringatan ini menjadi pengingat abadi bahwa cinta yang tulus tidak akan pernah sia-sia. Dari pengorbanan Kristus, umat diajak untuk menghidupi nilai kasih, pengampunan, dan harapan yang menyala, bahkan dalam gelapnya penderitaan. [UN]



