Koran Sulindo – Hari libur di Kanada segera datang dan ini berarti harga bensin akan naik di SPBU-SPBU. Pada liburan di Kanada kali ini tidak akan ada kenaikan yang tinggi, meskipun harga bahan bakar minyak (BBM) ini lebih tinggi dari tahun lalu.
Hal ini juga terjadi di Indonesia. Harga bensin non-subsidi di SPBU-SPBU sempat naik turun beberapa waktu belakangan.
Naik turunnya harga BBM dalam beberapa bulan terakhir memunculkan pertanyaan tentang produksi, distribusi, kalkulasi harga dan eksplorasi minyak. Semuanya melibatkan isu ekonomi yang rumit. Namun dalam hal produksi dan perdagangan minyak hal-hal tersebut kebanyakan dipengaruhi alasan politis atau ditentukan secara politis.
Regulasi dan perpajakan industri perminyakan adalah bagian dari kebijakan politik. Regulasi tentang hilir hingga hulu masalah perminyakan, sebagaimana arus ekonomi di suatu negara, dilihat oleh pemerintah sebagai sebuah fungsi politis.
Keseluruhan masalah ini bukan hanya masalah ekonomi dari minyak, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa ini adalah masalah politik ekonomi dari minyak.
Permintaan dan Persediaan Berpengaruh Sedikit pada Harga
Secara umum, harga minyak bumi, tidak seperti harga kentang atau komoditas lainnya, tidak ditentukan berdasarkan persediaan dan permintaan dari minyak tersebut secara fisik. Setiap barel minyak yang ada sekarang secara fisik dijual sembilan hingga dua belas kali lipat pada pasar berjangka.
Spekulan memainkan peran penting dengan menaikkan atau menurunkan harga secara berlebihan. Penjualan kosong atau short selling, yaitu strategi penjualan yang mengantisipasi harga jatuh, akan menguntungkan spekulan ketika harga minyak jatuh. Hal tersebut dapat mendorong banyak penjualan yang menyebabkan harga turun secara drastis di bawah nilai fundamentalnya. Fenomena ini terjadi juga ketika harga minyak mulai naik. Pembelian di awal (forward buying) bisa mendorong harga menjadi lebih tinggi dibandingkan harga stabilnya.
Permintaan minyak dikenal sebagai sesuatu yang inelastis. Kuantitas minyak tidak berpengaruh dengan perubahan harga; harga minyak yang rendah tidak menyebabkan bertambahnya permintaan.
Namun sedikit saja perubahan persediaan minyak akan hampir secara pasti berdampak besar pada perubahan harga hingga setiap berkurangnya persediaan minyak 200.000 barel akan menyebabkan kenaikan harga sebesar US$10 per barel per hari.
Minyak Menggerakkan Ekonomi Global
Minyak merupakan bahan bakar transportasi yang paling umum, dan adalah salah satu bahan baku yang sangat diperlukan bagi perkembangan peradaban masyarakat industri saat ini.
Saat ini minyak adalah komponen tunggal terbesar yang diperjualbelikan secara internasional. Minyak juga merupakan sumber utama energi komersial dunia. Industri bergantung pada minyak. Ia juga nadi dari transportasi. Minyak bahkan seringkali pula menyebabkan peperangan.
Akibatnya, minyak memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keseimbangan antara isu ekonomi, politik, dan militer di dunia saat ini.
Minyak adalah sesuatu yang serba guna dan digunakan di berbagai bidang. Namun, konsumsi dan produksi minyak terpusat pada beberapa pihak saja.
Dari sisi permintaan, terdapat industri-industri berskala besar di Barat, terutama di wilayah-wilayah yang paling dinamis di Eropa Barat serta akhir-akhir ini di Cina dan India sebagai negara konsumen minyak bumi terbesar. Kapasitas energi domestik mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhannya, sehingga mengharuskan mereka mengimpor minyak.
Di sisi lain, yaitu sisi persediaan, minyak berasal dari sekelompok kecil negara-negara berkembang, terutama negara-negara di Timur Tengah yang memproduksi dan mengekspor hampir seluruh produksinya ke Eropa Barat, Jepang, Cina, dan Amerika Serikat.
Tujuh Perusahaan di Bawah Dua Bendera
Produksi, eksplorasi dan khususnya penyulingan dan distribusi didominasi, bahkan di negara-negara yang mengekspor minyak, oleh tujuh perusahaan multinasional raksasa yang terintegrasi di dua negara (lima diantaranya berbendera Amerika dan dua lainnya dari Eropa).
Dengan berlimpahnya minyak bumi di Timur Tengah, maka selain murah, minyak juga dipasok secara tidak stabil dengan margin fluktuasi yang lebar karena dipengaruhi ketidakstabilan politik dan, sering pula situasi krisis, yang melibatkan ancaman atau gangguan dalam pemasokan minyak.
Daftar dari krisis ini panjang namun familiar: nasionalisasi minyak di Iran pada 1951, krisis Suez pada 1956, perang Arab-Israel tahun 1967, perang Oktober tahun 1973, revolusi Iran pada 1979, perang Iran-Irak pada 1980-88, Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 dan yang terbaru, invasi Amerika Serikat di Irak.
Minyak bumi adalah inventaris yang penyimpanannya tidak memerlukan biaya. Ia juga terbatas serta tidak terbarukan. Butuh ribuan tahun untuk mengembalikan setiap penurunan dalam pasokannya. Biaya produksinya pun beragam di berbagai negara.
Biaya marginal (biaya untuk memproduksi satu barel minyak) paling rendah berada di Arab Saudi dengan harga US$8,98 per barel; dan paling tinggi di Inggris dengan $44,33. Di Kanada biaya marginalnya $26,24.
Arab Saudi memiliki biaya produksi minyak terendah di seluruh dunia karena disebabkan oleh tiga keuntungan; berlimpahnya ladang minyak yang dekat dengan permukaan dan laut, kepemilikan publik, serta tidak adanya pajak terhadap produksinya.
Karena hal di atas maka Arab Saudi hampir pasti dapat menghasilkan uang dalam situasi pasar minyak seperti apapun. Kondisi ini merupakan mimpi Amerika Serikat dan beberapa negara lain yang saling bersaing.
Biaya produksi yang murah juga terdapat di Iran dan Iraq ($10), namun lebih tinggi dari $19 di Rusia dan $23,33 di AS. Tidak ada perkiraan biaya produksi minyak secara umum. Perkiraan paling mutakhir menyebutkan biaya produksi per barel melebihi $60 di Amerika Serikat.
Terjerembabnya Harga Minyak
Pada tahun 2013, harga minyak (Western Texas Intermediate (WTI)), salah satu tolak ukur harga minyak) melampaui $133 per barel, namun turun drastis hingga di bawah $20 pada tahun 2016.. Jika harga tersebut dapat bertahan untuk waktu yang lama maka hanya sedikit negara-negara produsen minyak yang akan mampu memproduksi minyak.
Beberapa pihak percaya bahwa Arab Saudi sedang meningkatkan produksi untuk mengalahkan produsen yang beroperasi di negara dengan produksi berbiaya tinggi, terutama industri fracking dari Amerika.
Beberapa pihak lain merasa Arab Saudi tak akan berani membiarkan harga jatuh hingga tingkat seperti itu tanpa persetujuan dari AS yang mencoba menahan laju peruntungan ekonomi lawan geopolitiknya, seperti Rusia, Venezuela, dan Iran, yang pendapatan dari minyaknya menyumbang cukup besar terhadap PDB dan keseluruhan ekspor mereka.
Kenaikan harga minyak belakangan ini hingga lebih dari $70 per barel dari $20 per barel dalam satu tahun menggambarkan kebutuhan mendesak dari negara-negara penghasil minyak untuk memperoleh harga yang bisa menyeimbangkan anggaran mereka.
Bahkan Arab Saudi tetap membutuhkan harga lebih dari $100 per barel untuk menyeimbangkan anggaran mereka; begitu pula dengan Rusia. Tampaknya ada kontrak tak tertulis dan perjanjian diam-diam antara Rusia, Arab Saudi, dan AS, dengan alasannya masing-masing, untuk mendorong harga minyak bumi ke level saat ini.
Harga yang akan bertahan akan berkisar di antara $60, harga biaya produksi minyak serpih (shale oil) di Amerika Serikat, dan $100, harga titik impas, yang akan menyeimbangkan kebutuhan fiskal Rusia dan Arab Saudi.
Mengingat AS sekarang memiliki kapasitas berlebih untuk memproduksi minyak di dalam negeri, maka harga minyak akan cenderung lebih dekat dengan target harga Amerika yaitu di atas $60 per barel.
AS memang saat ini menjadi produsen yang menggoyang pasar minyak disebabkan produksi minyak Amerika yang tumbuh secara dramatis dalam dekade terakhir. Sebelumnya Arab Saudi yang memegang peran tersebut.
Selain itu juga, jika Irak bukannya memproduksi dan mengekspor minyak tapi kentang, seperti yang telah disinggung di atas, mungkin tidak akan terjadi perang, baik Perang Teluk Pertama ataupun yang Kedua.
Dan bagaimana dengan harga bensin yang tertera di SPBU? Hal tersebut seluruhnya bergantung pada politik. [Atif Kubursi, Professor Emeritus of Economics, McMaster University, Canada]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.