Memahami Amuk dan Akar Kemarahan Sosial

Orang melakukan amok di abad ke-19

Koran Sulindo – Dalam perjalanannya menjelajahi Nusantara sepanjang 1854 hingga 1862, sarapan pagi Alfred Russel Wallace di Lombok dikejutkan oleh pekik amok penduduk desa. Meski terdengar sederhana, kata itu cukup membuat nyali bule penjelajah itu menciut.

Di tempat itu kata amok hanya berarti satu hal, ada orang sedang mengamuk yang bisa saja berakhir dengan hilangnya kehidupan.

Perintah segera diberikan kepada orang-orang untuk menutup dan mengunci rapat gerbang pagar.

Namun setelah sekian lama sunyi, Wallace diiring tuan rumahnya beranjak pergi keluar. Sepi.

Rupanya amok itu hanya kesalahpahaman belaka. Orang yang berteriak-teriak itu adalah budak yang melarikan diri dan bersumpah melakukan amok karena sang tuan ingin menjualnya.

Melanjutkan ceritanya dalam Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam, Wallace menulis beberapa waktu sebelumnya seorang laki-laki terbunuh di meja judi karena setelah kalah dan tidak mampu membayar setengah dolar, ia mengatakan akan melakukan amok. Ia juga menyebut di daerah yang sama individu lain yang melakukan amok dengan membunuh atau melukai 17 orang akhirnya dapat dihentikan.

Ia juga menulis, di masa-masa sebelumnya amok tak semata-mata dilakukan oleh individu. Namun dilakukan sepasukan tentara yang dengan bulat hati melakukan meng-amok dengan menyerang lawan habis-habisan. Bertempur dengan model ini jelas membuat mereka menjadi sangat tangguh bagi lawan yang tak memiliki semangat setinggi mereka.

Orang-orang semacam ini dipandang sebagai seorang pahlawan atau setengah dewa yang mengorbankan diri untuk negerinya.

Wallace menyayangkan, kepatriotan model itu kini dikenal dengan istilah sederhana, hanya amok.

Menurut catatannya, Makasar adalah tempat di kawasan timur yang paling banyak terjadi amok. Dalam sebulan, rata-rata terjadi satu atau dua kali amok dengan lima sampai duapuluh orang terbunuh karena peristiwa itu.

Seolah menyederhanakan masalah, Wallace membandingkan fenomena itu dengan gaya bangsa Romawi menggunakan pedang untuk bunuh diri atau orang Jepang menusuk perutnya sebagai bentuk harikiri. Di Celebes, cara tersendiri untuk melakukan bunuh diri yaitu dengan Amok.

Dengan serampangan, Wallace menganggap amok sebagai pilihan lari dari kesulitan yang dihadapi masyarakat.

Di masa-masa awal kolonialisme, orang-orang Eropa menyebut dalam kasus khas meng-amok seorang individu yang biasanya tak menunjukkan tanda kemarahan atau kecenderungan kekerasan sebelumnya tiba-tiba meraih senjata seperti belati atau parang.  Dan, dalam ‘kegilaannya’ yang tiba-tiba itu berusaha membunuh atau melukai siapa pun yang ditemuinya di daerah padat atau keramaian.

Akhir dari kengerian ini biasanya dituntaskan dengan terbunuhnya si penyerang baik oleh tindakan bunuh diri atau dihentikan orang-orang  yang berada di tempat itu. Umumnya, jika pelaku tak terbunuh ia biasanya kehilangan kesadaran dan setelah ‘siuman’ mengaku tak mengingat apapun.

Cerita Wallace tentang amok bukanlah semata milik orang-orang di Lombok atau Celebes saja. Fenomena ini telah lama mengakar dalam sejarah Asia Tenggara khususnya di Nusantara. Di masa kejayaan raja-raja di Nusantara, amok lekat dengan sikap membela kemuliaan raja melalui jalan pengorbanan.

Di Bali, amuk untuk berkorban demi kehormatan raja dan tanah airnya disimbolisasikan rakyat dengan mengenakan pakaian putih sebagai kerelaan mengorbankan dirinya untuk raja. Kisah tersebut bahkan masih bisa ditemui hingga awal abad ke-20 dalam kisah Perang Puputan di Klungkung, tahun 1908.

Mempertahankan tanah airnya dari kolonialisme, rakyat Bali tak perduli pria, wanita, hingga anak-anak dengan persenjataan tradisional bahkan tak sedikit bertangan kosong maju menghadapi moncong senjata serdadu kolonial.

Tentu saja sebagai taktik bertempur, amok adalah kesia-siaan dan biasanya berakhir tragis. Namun keyakinan mati dengan jalan terhormat adalah sikap satria karena membela raja adalah tugas mulia. Kisah serupa di Bali juga terjadi dalam Perang Aceh yang membuat Belanda pening.

Ketidakadilan

Jauh sebelum Wallace menulis cerita tentang amok itu, Tom Pires yang berkelana ke Jawa pada tahun 1515 menyebut “orang mengamuk adalah satria bagi mereka, orang yang bersedia mati, dan melaksanakan keputusan tersebut.”

Dalam jurnalnya, penjelajah Inggris Kapten James Cook yang menyaksikan amok pada tahun 1770 menulis tentang orang-orang yang berperilaku tidak waras, dan dengan kekerasan dan tanpa alasan “membunuh dan melecehkan penduduk desa dan hewan secara serampangan.”

Di Jawa, yang orang-orangnya digambarkan oleh Thomas Standford Raffles sebagai masyarakat yang dermawan dan ramah jika tidak ditindas dan diganggu ternyata juga menyimpan potensi serupa. Khusus di mana keadilan tidak berjalan, biasanya kemarahaan disimpan mirip kepundan yang menunggu waktu untuk meledak.

Raffles menyebut amok terjadi manakala masyarakat atau individu berhadapan dengan ketidakadilan yang laten dan terus menerus. Dalam ketidakadilan, pikiran-pikiran rasional menemui jalan buntu apalagi jika ketidakadilan justru bersumber dari penguasa.

Dalam khazanah bahasa, tersebutlah kata yang lebih asli yakni; Amuk. Dalam kamus bahasa Kawi karangan Poerwadarminta tahun 1939, Amuk berarti nempuh ngawut tanpa peduli apa-apa. Sementara pada kamus University of Cambride. Amok dimaknai sebagai: to be out of control and act in a wild or dangerous manner atau kondisi benar-benar di luar kontrol, liar, dan berbahaya.

Di antara penyebab orang-orang Jawa melakukan tindakan amuk menurut Raffles adalah dendam berkepanjangan. Kondisi ketidakadilan itu seringkali memicu tindakan barbar tanpa nalar.

Selain amuk, masa lalu Jawa kental dipengaruhi tradisi Hindu sudah mengenal istilah triwikrama yaitu kondisi ketika Wisnu berubah bentuk menjadi Brahala atau raksasa besar yang tak terkalahkan. Meski ditugaskan memelihara alam raya sebagai pelindung, Wisnu juga menyimpan sisi yang lain.

Sesaat sebelum perang besar Baratayuda, Wisnu yang menitis di tubuh Kresna bertindak sebagai duta Pandawa ke Astina untuk mencegah perang. Namun ketika Kurawa justru menghinanya, Kresna murka dan triwikrama meluluhlantakkan keraton.

Kemurkaan serupa juga dialami Puntadewa ketika melihat orang tuanya dan adik-adiknya dengan semena-mena dimasukkan neraka oleh para dewa. Ia yang menganggap perlakuan itu tidak adil mengobrak-abrik kayangan dan membuat para dewa kocar-kacir.

Bagi Kresna dan Puntadewa, triwikrama terjadi ketika martabat mereka disalahi. Bagaimana bisa membayangkan pribadi sehalus dan sesabar Kresna atau Puntadewa dalam sekejap mata menjadi Brahala kejam dan berbahaya.

Soal martabat juga yang membuat Kertanegara tak berpikir panjang ketika membuat cap di wajah Meng Qi utusan Kubilai Khan dengan besi panas. Padahal ‘hukuman’ cap umumnya hanya diperuntukkan bagi para maling.

Kertanegara juga memotong telinga sang utusan itu dengan pedang serta mengusirnya secara kasar ketika dengan pongahnya sang utusan itu berdiri sejajar dengannya. Kejam memang, tapi sebenarnya ini adalah harga diri seorang Raja yang diinjak karena mesti tunduk dan menjadi jongos kuasa Mongol yang asing.

Di kalangan rakyat selain soal martabat dan kehormatan, amuk biasanya terkait persoalan sehari-hari dan dikenal dengan istilah sampyuh atau tiji tibeh atau mati siji mati kabeh atau mati satu mati semua.

Laurens van der Post, tentara Sekutu berkebangsaan Afrika Selatan yang sempat masuk kamp interniran di Sukabumi dan Bandung ketika Jepang berkuasa menggambarkan potensi meledaknya masyarakat. Meski mengakui masyarakat Jawa dan Sumatra sebagai orang-orang paling sopan yang pernah ditemui karena kalem, dan lemah lembut tak urung hal-hal mencemaskan acap terjadi.

“Mereka yang selama hidupnya mematuhi tata krama, yang selalu melaksanakan tugas yang diperintahkan dengan sempurna, tiba-tiba merasa tidak mau melaksanakannya lagi. Dalam semalam mereka memberontak terhadap kebaikan dan tanggung jawabnya,” tulis van der Post tahun 1955 di Majalah Encounter volume 5. Ia menyebut istilah mata gelap untuk menggambarkan amuk.

Bagaimanapun, meski telah mengakar lama, di Jawa citra amuk hakikatnya telah bergeser dari makna semula dari sikap kesatria menjadi tindakan acak individu yang brutal.

Pudarnya kekuasaan raja-raja berikut monarkinya di abad ke-19 menjadi kekuasaan politik Hindia Belanda, mengubah watak amuk karena tak ada lagi kepentingan membela patron. Amuk beroperasi pada kasus-kasus sosial atau pembelaan harga diri individu atau massal.[TGU]