Koran Sulindo – Sekutu telah menyerahkan kembali Indonesia bagian timur kepada NICA sebelum Proklamasi Kemerdekaan 1945. Jepang kapitulasi dan Indonesia menyatakan tidak ingin kembali dijajah Belanda. Tapi, Inggris kirim tentara yang diboncengi NICA. Tujuannya memang untuk membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya. Terbukti dalam surat perintah Laksamana Madya Mountbatten, Panglima Tertinggi Asia Tenggara, kepada Tentara Kerajaan, 22 Agustus 1945.
Di situ tertulis, “In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will reestablish civilians rule and return the colony to the Dutch administration….” selanjutnya, “As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
Sama sekali tak mengherankan kolaborasi Inggris dengan Belanda. Sama-sama berwatak kolonial dan imperialis. Namun, rakyat Indonesia bersedia mengorbankan segala-galanya untuk membela kemerdekaannya. Terjadilah pertempuran di Surabaya, Semarang, Medan, Ambarawa, Batavia, Manado, Bali, Palembang dan lautan api di Bandung.
Konflik diakhiri dengan perundingan Linggarjati, Maret 1947, yang telah menciutkan wilayah RI, dan memaksanya untuk menerima persemakmuran di bawah naungan Ratu Belanda. Hanya Jawa, Sumatra, dan Madura yang diakui Belanda sebagai wilayah RI.
Linggarjati digunakan Belanda hanya untuk tarik napas sejenak. Di Juli 1947, agresi militer pertama dilancarkan untuk terus mencekik Republik. Diakhiri dengan perjanjian Renville yang lebih menciutkan lagi wilayah RI, hanya Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra. Belanda menguasai daerah dan pulau-pulau Nusantara lainnya. Negara-negara boneka Belanda didirikan, antara lain negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatra Timur dan Negara Jawa Timur. Belanda melakukan blokade ekonomi terhadap daerah di bawah kekuasaan RI.
Belanda tetap tidak puas, karena tujuan menghancurkan dan menghilangkan RI dari muka bumi belum berhasil. Maka dilancarkan agresi militer kedua, Desember 1948. Yogyakarta diserang, presiden dan wakil presiden ditangkap. Hasilnya, perundingan Roem-Royen yang merupakan pendahuluan dari Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949, yang menjanjikan penyelesaian masalah Papua dalam setahun. Tapi, Belanda terus mengulur-ulur penyelesaian soal kedaulatan atas Papua.
Konferensi Malino
Sementara di bagian barat, Belanda mencoba melenyapkan Indonesia melalui agresi militer dan blokade ekonomi, di bagian timur, Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, mengkonsolidasi kekuasaannya melalui pembentukan negara boneka dan daerah otonomi yang pro-Belanda. Itulah tujuan Konferensi Malino, diteruskan dengan Konferensi Pangkal Pinang, Oktober 1946 dan akhirnya konferensi Denpasar, Desember 1946. Belanda memerlukan pribumi yang merupakan kepanjangan tangannya untuk menjaga kepentingan politik dan ekonominya.
Gerry van Klinken, antropolog dan Indonesianis dari Belanda mengakui bahwa konsep federal Van Mook merupakan kebijakan devide et impera.
Di Konferensi Malino, Franz Kaisiepo mewakili Papua. Di situlah dia mengusulkan agar nama Papua diganti dengan Irian. Ada sumber yang mengatakan, kata “Irian” berasal dari Biak dan berarti berjemur atau terpapar sinar matahari. Tapi ada lagi yang mengatakan Irian berarti “sinar yang menghalau kabut”. Dalam bahasa Merauke, kata “Iri” berarti “ditempatkan atau diangkat tinggi”, sementara kata “an” artinya bangsa. Jadi, kalau dikombinasi arti dalam dua bahasa itu, Irian berarti “bangsa yang diangkat tinggi bagaikan sinar yang menghalau kabut”. Sedangkan kata Papua cenderung merendahkan orang Papua. Arti kata Papua bermacam-macam. Bisa berarti hitam, keriting, bodoh atau budak.
Jan van Eechoud, Residen Belanda di Papua, dan Van Mook, tidak senang, Kaisiepo mengutarakan pikirannya sendiri, tanpa “kuasa” dari Tuan Belanda. Di Konferensi itu juga, Kaisiepo melihat Papua dipisahkan dari kepulauan Indonesia Timur. Permintaan Kaisiepo supaya Papua tetap bersama dengan Maluku, ditolak Van Mook.
Tiga tokoh Papua ketika itu, Marthin Indey, Corinus Crey dan Nicolas Jouwe, adalah anggota Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang didirikan di Hollandia, November 1946 dan dipimpin Dr. Gerungan, seorang dokter wanita asal Manado. Van Mook menolak permintaan KIM untuk hadir di Konferensi Denpasar.
KIM menentang keras rencana Belanda yang ingin memberi status khusus kepada Papua. Pada 12 Desember 1946, Marthin Indey, Corinus Crey dan Nicolaas Jouwe mengirim telegram kepada Van Mook di Denpasar yang berisi permintaan agar Papua tidak dipisahkan dari Indonesia. Marthin Indey menentang pembentukan Negara Indonesia Timur karena Papua tidak dimasukkan.
Salah satu argumentasi pembenaran hak menentukan nasib sendiri yang sering digunakan pendukung separatisme adalah Papua ada di bawah kekuasaan Belanda setelah Indonesia merdeka. Dari situ ditarik kesimpulan yang salah bahwa Papua tidak pernah menjadi bagian dari Indonesia.
Masalahnya adalah Belanda dan pendukung separatisme menolak mengakui bahwa Papua sudah menjadi bagian dari Indonesia sejak proklamasi 17 agustus 1945, sesuai dengan Uti Possidetis Juris. Belandalah yang berusaha mengubah status Papua sebagai bagian dari Hindia Belanda menjadi koloni langsung Belanda melalui Konferensi Malino dan Denpasar. Dan itu mendapat tentangan bukan saja dari tokoh-tokoh Papua ketika itu, tapi juga dari para pemimpin negara-negara boneka pro-Belanda! Jadi manuver licik Belanda yang memisahkan Papua dari Indonesia dibenarkan oleh para pendukung separatisme.
Van Klinken menegaskan, Belanda sebetulnya sadar akan prinsip Uti Possidetis Juris, yang membenarkan tuntutan wilayah Indonesia sejak 1945 dari Sabang hingga Merauke. Tapi kepentingan kolonialnya telah mendorongnya untuk mempertahankan Papua di bawah kekuasaannya.
Menurut Van Klinken, Belanda selepas Perang Dunia II dilanda badai politik dalam negeri yang membuatnya semakin konservatif. Dia mengakui pendirian Belanda dalam hal Papua semakin bergeser ke arah yang sulit dibenarkan dalam hukum internasional dan mengeluarkan Papua dari RI merupakan sebuah kesalahan serius.
Pertama, Van Eechoud menganggap budaya Papua sangat primitif dan beragam. Maka Belanda harus lebih dulu dan lebih lama mendidik orang Papua. Kalau tidak, orang-orang non-Papua akan membanjiri dan menenggelamkan budaya Papua. Pertanyaannya, selama tiga abad lebih, pernahkah Belanda memikirkan pendidikan ratusan suku bangsa di Hindia Belanda?
Van Klinken menyatakan kondisi pedalaman Kalimantan tidak banyak berbeda dengan Papua. Flores, Bali, Dayak, Aceh, dan lain-lain, juga masih bergumul dengan persoalan serupa; kaum pendatang akan selalu membanjiri budaya lokal.
Kedua, ketergantungan perkembangan industri Belanda pada bahan baku negeri tropis telah membuat Papua sebagai sumber terakhir setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Oleh karena itu, dicarilah berbagai alasan untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Padahal, seperti kata Van Klinken, kekayaan alam berupa emas dan minyak bumi jelas bukan milik Belanda lagi.
Ketiga, menjadikan Papua sebagai koloni Belanda untuk tempat tinggal orang-orang Indo-Belanda dan orang-orang KNIL yang merasa posisi politik dan sosialnya terancam di Jawa dan pulau-pulau Indonesia di mana gerakan membela kemerdekaan menggelora. Dorongan dan desakan ini datang dari berbagai macam organisasi orang-orang Indo-Belanda, antara lain Groter Nederland Actie (GNA = Aksi Belanda yang Lebih Besar), Nederlandsh-Indisch Bond van Ex-Gemobiliserden en Geinterneerden (NIBEG = Persatuan Mantan Orang-Orang yang Dimoblisasi dan Ditawan Hindia Belanda) yang dikuasai oleh orang-orang Belanda ‘totok’.
Lalu, di 18 Januari 1948, di Batavia diselenggarakan rapat yang dikunjungi lebih banyak lagi organisasi orang-orang Indo-Belanda, antara lain Nederlands-Indische Pensioenbond (Ikatan Pensiun Hindia Belanda), Nederlandse Nieuw-Guinea Vrouwenbond (Ikatan Wanita Papua Belanda), Vaderlandse Club (Klub Tanah Air), di samping GNA dan NIBEG.
Dari negeri Belanda juga datang dukungan untuk menjadikan Papua sebagai ‘Tanah Asal’. Misalnya, Stichting Nieuw Nederland (Yayasan Belanda Baru), Stichting Nederland Overzee (Yayasan Belanda di Seberang Lautan), Studie-kring Nieuw-Guinea (Lingkar Studi Papua) dan Comite Openlegging Nieuw-Guinea door Polietike delinquenten (Komite Pembukaan Papua oleh Penjahat-Penjahat Politik).
Yang menarik perhatian adalah Kapten Berg dari GNA menyatakan bahwa Papua juga harus terbuka untuk emigrasi dari Belanda dan negeri Eropa lainnya di mana terdapat arus besar pelarian yang mencari tempat tinggal yang baik.
Pertemuan itu menghasilkan sebuah catatan yang menilai bahwa Papua harus diberi sebuah status ketatanegaraan khusus di dalam Kerajaan Belanda, lepas dari Indonesia. Van Mook berjanji akan membicarakan kemungkinan kolonisasi dan pembukaan wilayah Papua dengan menteri yang bersangkutan.
Dengan latar belakang itu, di Konferensi Denpasar, Direktur Urusan Dalam Negeri di Batavia, W. Hoven, menegaskan bahwa Negara Indonesia Timur akan meliputi wilayah mantan Timur Besar, ‘terkecuali bahwa akan diputuskan lebih lanjut mengenai pembagian wilayah yang sekarang residensi Papua’….Papua tidak dimasukkan ke dalam Indonesia Timur, karena pengaturan posisi ketatanegaraannya merupakan ‘satu masalah sendiri, yang sudah dibahas tersendiri’.
Lima peserta langsung menentang, di antaranya Sultan Tidore, Zainal Abidin Alting dan Anak Agung Gde Agung yang mengingatkan bahwa di Malino, Franz Kaisiepo justru mendesak untuk ‘berjalan bersama’ dengan Maluku Selatan, artinya dengan Indonesia Timur. Terjadi perdebatan. Pada pokoknya, ide Belanda untuk memisahkan Papua dari Indonesia mendapat tentangan, bahkan dari mereka yang pro-Belanda dan anti-Republik. Van Mook hanya bisa berkata ‘bukan maksud pemerintah untuk mengunci Papua di luar Indonesia, tetapi justru untuk meneliti secara seksama bagaimana ia dapat disesuaikan kedalamnya’.
Benih Kebangsaan di Papua
Pada 12 November 1926 meletus pemberontakan nasional pertama yang dipimpin PKI, melawan penjajahan kolonial Belanda. Penumpasan kejam terhadap pemberontakan itu mengakibatkan ditangkapnya tidak kurang dari 13 ribu orang. Di antara yang tertangkap, kira-kira 4.500 dijatuhi hukuman penjara. Mereka yang dijatuhi hukuman gantung, antara lain, di Jawa Barat, Egom, Dirdja dan Bakri (Penjara Ciamis, 9 September 1927), Haji Hasan dari Cimaremeh (Penjara Garut), Haji Sukri dan 5 orang kawannya (Penjara Pandeglang, 1927); Kartawirja dan Aman (Penjara Padalarang), dan Ojod dari Nagrek. Di Sumatera Barat, Manggulung, Moh. Jusuf Sampano Kajo, Baharudin Gelar Bain (Penjara Sawahlunto, Maret 1927). Semuanya 16 kawan. Lebih dari 1.300 orang dibuang ke kamp konsentrasi Belanda, Boven Digul di Pulau Papua.
Marthen Indey lahir di kampung Doromena, di kaki pegunungan Cycloop, Kabupaten Jayapura, Irian Barat, Maret 1912. Kedatangan Johannes Bremer ke Doromena, seorang misionaris Ambon, yang mengangkatnya sebagai anak angkat, telah memungkinkan Marthen pergi ke Ambon untuk sekolah di Volkschool (Sekolah Rakyat) selama tiga tahun. Setelah selesai SR, Marthen sering berlayar ke luar kota Ambon.
Kesenangannya berlayar telah membawanya untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pelaut Pribumi di Makasar dan Surabaya sampai 1932. Dari tahun 1934 sampai 1935, Marthen belajar di Sekolah Polisi Sukabumi. Pada tahun 1941, penguasa kolonial mengirimnya ke Tanah Merah dengan tugas mengawasi para perintis kemerdekaan yang sejak tahun 1927 ditahan di situ.
Dalam menjalankan tugasnya, Marthen bebas keluar masuk kamp dan tak terhindarkan kontak dengan para tahanan politik. Beberapa sumber menyebut Sugoro Atmoprasodjo, Sukoharjo dan Hamid Siregar yang sering kontak dan mengobrol dengan Marthen. Perlahan-lahan tumbuh perasaan simpati kepada perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda.
Marthen menyaksikan keberanian para perintis kemerdekaan yang mempertaruhkan jiwanya untuk mengusir penguasa kolonial Belanda. Ia mulai sadar akan ketidak adilan yang dilahirkan oleh penjajahan dan menolak perlakuan keras Belanda terhadap para tahanan politik itu.
Simpati Marthen kepada para tahanan politik dan perjuangan kemerdekaannya telah menanamkan benih ketidaksenangan dan penolakan terhadap kekuasaan penjajah Belanda. Hal itu telah mendorongnya untuk merencanakan penangkapan terhadap beberapa pejabat kekuasaan Belanda yang mengontrol kamp konsentrasi demi membebaskan para tahanan politik di Tanah Merah. Namun, rencana digagalkan oleh pengkhianatan salah satu dari 31 agen polisi bawahannya sendiri. [Tatiana Lukman]