Koran Sulindo – Di antara mahasiswa Irian Barat yang terlibat dalam separatisme, ada yang berpendapat perlunya pelurusan sejarah, berkaitan dengan pulau di mana sampai sekarang masih terus terjadi pelanggaran berat HAM. Sebuah keinginan yang sangat masuk akal, apalagi di bawah sebuah rezim yang terbukti telah memutar balik dan menyembunyikan fakta sejarah yang tidak menguntungkan dan tidak sesuai dengan kepentingannya.
Sementara orang mengajukan Perjanjian New York 1962, atau operasi Trikora 1961 atau Pepera 1969 sebagai titik tolak dan fakta untuk membuktikan “pencaplokan” dan “penjajahan kolonial” Indonesia terhadap Irian Barat. Fakta-fakta ini hanya sebagian saja dari kejadian sejarah yang masih harus diungkap latar belakang dan hubungannya dengan sikap serta kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Masalah batas-batas wilayah Republik Indonesia timbul ketika dan karena pemerintah kolonial Belanda menolak mengakui kemerdekaan 17 Agustus 1945. Usaha gigih Belanda untuk kembali menjajah, tercermin dalam politik pecah belah dan adu dombanya, bahkan dua kali agresi militer, tahun 1947 dan 1948. Bagian ini hampir tidak pernah disinggung oleh para pendukung separatisme.
Jepang Berkuasa
Pada 1937, dalam menghadapi bahaya fasisme, atas inisiatif Amir Syarifudin, tokoh-tokoh komunis dan nasionalis lainnya seperti, Sartono, A.K. Gani, Wikana dan lain sebagainya mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerindo merupakan partai nasionalis pertama yang menerima anggota dari kalangan kaum peranakan Tionghoa. Keputusan itu diambil dalam Kongres II di Palembang pada 1939.
Pada tahun yang sama, Gerindo mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah federasi dari berbagai partai politik yang ada ketika itu, dengan nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Di dalamnya terdapat Gerindo, Parindra, Partai Sarekat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Partai Arab Indonesia, Pasundan dan Persatuan Minahasa.
Perubahan musuh pokok telah mengubah taktik perjuangan. Gerindo dan GAPI mengajak Belanda untuk bekerja sama menghadapi bahaya agresi Jepang. Tapi, Belanda menolak.
Salah satu sumber alam yang selalu dicari untuk dikuasai oleh kaum imperialis adalah minyak. Persaingan dan rebutan sumber alam itu merupakan salah satu penyebab perang antar-imperialis. Salah satu sumber alam yang dicari Jepang di Hindia Belanda juga minyak. Tidak heran kalau pulau pertama yang disasar ada-lah Tarakan, di Kalimantan Timur, di mana Belanda sudah menemukan minyak pada akhir abad ke-19.
Sejak itu Belanda melakukan pengeboran minyak mentah dari perut buminya. Jepang berhasil menduduki Tarakan tanggal 12 Januari 1942. Balikpapan merupakan sumber minyak kedua yang jatuh ke tangan Jepang, 24 Januari 1942.
Setelah pertahanan dan perlawanan Belanda di Pontianak, Samarinda dan Banjarmasin ditundukkan, Jepang mengarahkan serangannya ke Sumatera dan14 Februari 1945, Jepang menduduki Palembang, di mana juga terdapat sumber minyak.
Di samping terus meluaskan kekuasaannya ke daerah Sumatera lainnya, sasaran serangan Jepang berikutnya adalah Pulau Jawa, pusat pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Jepang mendaratkan balatentaranya hampir sekaligus di Banten, Eretan (sebelah barat Cirebon) dan Kragan di Jawa Tengah. Usaha Belanda untuk merebut kembali Subang tak berhasil. Setelah pertempuran singkat, bandar udara Kalijati jatuh ke tangan Jepang. Lalu, pada 5 Maret 1942, Jepang menduduki Batavia. Setelah Bogor dan Lembang tak dapat dipertahankan, Panglima Tertinggi Tentara Hindia Belanda, Letjen Hein ter Poorten, di bawah ancaman Bandung akan dibom, terpaksa menyerah tanpa syarat. Dengan begitu, tanggal 8 Maret 1942, berakhirlah pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda. Dimulailah kekuasaan fasisme Jepang di bumi Nusantara.
Sementara itu di Hindia Belanda bagian timur, Jepang mendaratkan tentaranya di Fakfak tanggal 1 April 1942. Dari situ, serangan ditujukan ke Ternate, Sorong dan Manokwari. Tentara Belanda dipukul mundur dan tanggal 19 April 1942, Jepang berhasil merebut Hollandia (sekarang Jayapura). Secara garis besar dan pada pokoknya, Hindia Belanda dari Sabang sampai Merauke jatuh ke tangan Jepang. Jepang tidak membatasi atau mengecualikan Irian Barat dalam penaklukannya terhadap Belanda.
Di Eropa, 10 Mei 1940, tentara Nazi Jerman menyerbu Belanda. Dalam waktu tiga hari Belanda tekuk lutut. Pemerintah Kerajaan serta Ratunya melarikan diri ke Inggris.
Dengan jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang, dan pemerintah Belanda sendiri dipaksa mengungsi, meninggalkan negerinya sendiri, hilanglah sudah “hak sejarah” Belanda atas jajahannya yang terbesar dan terkaya: Hindia Belanda. Ini juga kenyataan yang harus diingat dalam menganalisa kejadian-kejadian sejarah berikutnya. “Hak sejarah” Belanda atas Nusantara telah dihancurkan oleh fasisme Jepang dan Jerman Nazi.
Selama Jepang menduduki Irian Barat, rakyat melakukan perlawanan dengan senjata yang sederhana seperti parang dan panah. Misalnya, perlawanan terbuka terjadi bulan Oktober 1942, di pantai Manswan, Biak Selatan, dengan korban sangat besar di pihak rakyat. Mereka yang selamat meneruskan perlawanan dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengganggu kegiatan Jepang.
Silas Papare, salah seorang tokoh Irian Barat, pembela kemerdekaan Indonesia, memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap Jepang. Sumbangan besarnya telah dihargai melalui pemberian Bintang Perunggu dari Ratu Wilhelmina, 5 April 1945. Penghargaan juga diberikan oleh Biro Intelijen Tentara Sekutu, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal G.A. Willongby, 31 Oktober 1945, berkat jasa-jasanya dalam membantu Sekutu melawan Jepang.
Sebelum proklamasi diumumkan, tentara Sekutu telah membebaskan Irian Barat. NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) membonceng Sekutu untuk menguasai kembali jajahannya. Di bawah kondisi negerinya yang hancur, Belanda tidak punya kekuatan militer sendiri untuk mengusir Jepang. AS dan Australialah yang membantu Belanda berkuasa kembali di kepulauan Nusantara bagian Timur, yaitu Irian Barat, kepulauan Maluku, Sunda kecil dan Sulawesi.
Kembalinya kekuasaan Belanda di Irian Barat tidak mendapat tantangan serius dari rakyat, karena memang tidak ada kekuatan rakyat yang terorganisasi secara memadai.
Jelang Kemerdekaan
Soal wilayah yang didiskusikan di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 10 hingga 11 Juli 1945, sudah dibahas dalam “Rasisme dan Separatisme di Papua” (Koran Sulindo, 8 Oktober 2019). Karena terdapat perbedaan pendapat, dalam kaitannya dengan Papua, antara Mohammad Yamin dan Mohammad Hatta, maka dilakukan pemungutan suara. Hatta yang ingin menggantikan Papua dengan Malaya dan Borneo Utara hanya mendapat 6 suara. Artinya mayoritas setuju bahwa wilayah Indonesia meliputi Papua.
Akhirnya, diputuskan bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah bekas Hindia Belanda termasuk Papua. Ini sesuai dengan hukum internasional yang mengakui prinsip Uti Possidetis Juris. Anehnya, Martin Sitompul, dalam “Debat Pendiri Bangsa Soal Papua”, menganggap konsep Hatta-lah yang paling rasional. Apakah menggantikan Papua dengan Malaya dan Borneo Utara, rasional? Di mana rasionalnya? Konsep itu justru bertentangan dengan hukum internasional. Borneo Utara dan Malaya bukan jajahan Belanda.
Pendukung separatisme dan media propagandanya sering mengangkat Hatta dengan konsep Indonesia tanpa Papua, seolah-olah itu suara mayoritas dan seolah-olah masalah wilayah masih belum selesai pendiskusiannya. Padahal Hatta pun ikut dalam proklamasi kemerdekaan dan menjadi wakil presiden Republik Indonesia. Artinya dia pun akhirnya menerima suara mayoritas. Mengapa kaum separatis terus menggugat dan menguar-uarkan sesuatu yang sebetulnya sudah bukan masalah lagi? Seperti Benny Wenda yang ngotot mengatakan Papua tidak pernah menjadi bagian dari Indonesia (Aljazeera, 4 September 2019). Ini salah satu pandangan yang harus diluruskan, karena tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever, menganggap forum BPUPKI bukan wadah yang representatif, karena tidak ada wakil dari Papua. Apakah tiap suku bangsa yang hidup di kepulauan Nusantara ini punya wakil di BPUPKI ? Apakah suku bangsa Dayak, orang Toraja atau orang Sasak ingin memisahkan diri dari Indonesia, karena merasa tidak turut serta dalam diskusi itu. Seandainya, ketika itu sudah ada kesadaran politik yang rata di semua suku bangsa Nusantara, dan ada penolakan terhadap partisipasi wakil suku bangsa tertentu, barulah kita dapat memprotes BPUPKI sebagai badan yang diskriminatif.
Adalah satu fakta bahwa jumlah wakil yang berasal dari Jawa merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Ini menjadi dasar untuk menuduh seolah-olah kemerdekaan Indonesia diperjuangkan hanya oleh orang Jawa untuk kepentingan sukunya sendiri dengan mengorbankan kepentingan suku-suku bangsa lain.
Tapi, anggota BPUPKI yang berasal dari Maluku pun, oleh akademisi, Hendry Reinard Apituley SH, tidak dianggap sebagai wakil dari Maluku. Ia menganggapnya sebagai orang Indonesia terkemuka di Pulau Jawa. Begitu juga orang-orang Maluku yang ditemui Bung Karno dalam rangka kemerdekaan, antara lain, Piet de Queljoe dan Dolf Jans dari Jakarta, Dr. Latumeten dari Lawang, Dr. Augustien, Piet Matulessy dan Mias Supusepa dari Bandung, Tjaka Riupassa dari Semarang, M. Ruhupatty dari Magelang, Dr. Thom Pattiradjawane, Librek Nanlohy dan Dr. S. Latupeirissa dari Malang, Dr. Siwabessy dan Sasabone dari Surabaya.
Oleh karena itu, Apituley tetap menganggap Maluku tidak diwakili dalam BPUPKI. Kalau kita ikuti logikanya, yang dianggap wakil dari Maluku adalah orang yang menentang Sukarno dan anti-orang Jawa. Sedangkan mereka yang sadar dan turut serta dalam pembangunan bangsa Indonesia, tidak dianggap orang Maluku. Dengan begitu, kehadiran Poreu Ohee, kepala kampung di Sentani, yang diutus Sultan Tidore untuk bergabung dengan Jong Ambon dalam Kongres Pemuda Kedua, 1928, tidak akan diakui sebagai wakil Papua oleh para pendukung separatisme. Karena dia setuju dengan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.
Para perintis dan pembela kemerdekaan RI ketika itu, sadar bahwa keberpihakannya kepada RI sama sekali tidak berarti mereka mengkhianati suku bangsanya. Dr. Van der Plas menganggap semua orang Ambon pro-Belanda. Maka dicobanya meyakinkan Dr. Siwabessy supaya bekerja sama dengan Belanda. Usaha saudara kandungnya sendiri, seorang perwira KNIL, juga gagal meyakinkan Siwabessy untuk turut membentuk Negara Maluku, boneka Belanda.
Belanda menjadikan Jawa sebagai pusat kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan Hindia Belanda. Bersama dengan rakyat kepulauan Maluku sebagai penghasil utama rempah-rempah, rakyat Jawa merupakan sasaran pertama pengisapan dan penindasan Belanda. Jangan lupa perkebunan tebu, kopi dan sistem tanam paksa di Jawa.
Masuknya modal dan unsur-unsur kapitalisme yang mendobrak tanpa menghancurkan seluruh struktur feodalisme di Jawa, melahirkan kebutuhan akan tenaga pribumi yang terdidik. Sarana pendidikan yang terpusat di Jawa melahirkan kaum intelektual pribumi. Putera-putera suku bangsa lain, yang keadaan ekonomi keluarganya memungkinkan, berdatangan ke Jawa untuk menuntut ilmu. Mereka inilah yang kemudian memulai gerakan kemerdekaan dengan membentuk berbagai macam organisasi. Dengan demikian, dimulailah proses nation building, yang tidak diakui oleh para pendukung separatisme. Apakah munculnya banyak tokoh kemerdekaan di Jawa dibanding dengan pulau-pulau lain merupakan kemauan dan kesalahan orang Jawa? Tempat kegiatan politik putera-putera suku bangsa lain pun terutama di Jawa, itu bukan keinginan subjektif mereka, tapi terdapat kondisi material yang melahirkan kenyataan itu.
Hendry Apituley, dalam “Kita ‘Orang Maluku’ Pernah Juga Disebut Anjing” menyatakan “Bangsa Indonesia muncul dari ketiadaan! (entah dari mana?) mungkin dari antah berantah secara tiba-tiba dan dengan secara tidak terduga dapat berkuasa atas seluruh golongan etnis/bangsa/suku dalam wilayah Hindia-Belanda.” Inilah seorang intelektual yang buta sejarah. Karena itu, menolak mengakui perjuangan para perintis kemerdekaan dalam membangun bangsa Indonesia atau nation building. Ia menutup dirinya rapat-rapat dalam tempurung suku bangsanya sendiri, maka tidak bisa menerima orang Maluku yang pro-Indonesia sebagai wakil dari Maluku.
Dalam pengorganisasian dan administrasi Belanda, Papua dimasukkan ke dalam residensi Maluku dengan pusatnya di Ambon. Ini menunjukkan, ketika itu Belanda menganak-tirikan Papua. Papua tidak dianggap penting. Belanda “kaget” dan ingat akan kekayaan serta posisi strategis Papua ketika diproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. [Tatiana Lukman]