Ilustrasi/Dari berbagai sumber

Koran Sulindo – Kinerja Komisi Kejaksaan (Komjak) mendapat sorotan dari masyarakat sipil. Keberadaannya dinilai tidak berkontribusi kepada masyarakat. Padahal, Komjak sempat memberi harapan dan membetot perhatian publik karena bersuara keras dalam skandal Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan buronan kasus hak tagih Bank Bali Joko Tjandra.

Pada Oktober 2020, misalnya, Ketua Komjak Barita Simanjuntak acap berbicara di berbagai media massa karena Kejaksaan Agung menolak Komjak memeriksa Pinangki. Penolakan tersebut datang dari atasan Pinangki seperti Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan yang dijabat Bambang Sugeng Rukmono. Pinangki diketahui merupakan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.

Menurut Barita, penolakan serupa juga datang dari Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Ada dua kali Komjak mengundang Pinangki untuk dimintai keterangan. Dan dua kali pula Jamwas dan Jambin menolaknya dengan alasan bahwa Pinangki sudah diperiksa dan mencopotnya dari jabatannya karena dinilai melanggar etik.

Di samping itu, Komjak juga sempat kesulitan untuk mendapatkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Pinangki dari Kejaksaan Agung. Karena itu, Komjak lalu melapor ke Presiden Joko Widodo sambil memantau proses hukum terhadap Pinangki. Keseriusan Komjak waktu itu menelusuri dugaan pelanggaran etika jaksa dalam skandal Pinangki ini juga tampak dari undangan yang dilayangkan kepada mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Jan S. Maringka.

Dalam sebuah wawancara setelah mengikuti gelar perkara dugaan suap pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA) yang melibatkan Pinangki, Barita mengatakan, pihaknya sudah meminta keterangan dari Jan S. Maringka sesuai dengan tugas dan kewenangan Komjak. Keterangan yang dimintakan dari Jan Maringka terkait dengan penugasan jaksa agung untuk menangkap Joko Tjandra. Di samping Jan Maringka, Komjak juga sudah menjadwalkan pemeriksaan ke berbagai pihak termasuk Jambin, Anang Supriatna (Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan) dan lain sebagainya.

Akan tetapi, pemeriksaan atau meminta keterangan dari berbagai pihak itu tidak kunjung tiba. Belakangan, suara Komjak atas skandal Pinangki ini pun kian redup. Melempem. Bahkan  nyaris tidak terdengar lagi suara keras yang mendesak Kejaksaan Agung untuk menuntaskan skandal tersebut. Semua seolah-olah kembali normal.

Menurut mantan Mantan Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen, Komjak sebenarnya punya tugas pokok mengawasi kinerja dan perilaku jaksa dan pegawai Kejaksaan termasuk jaksa agung. Pengawasan terhadap jaksa dan pegawai Kejaksaan itu dilakukan di tempat dinas atau di luar dinas.

Seperti yang diucapkan Halius, tugas Komjak telah diatur dalam Peraturan Presiden tentang Komjak tahun 2011. Pada Pasal 3 huruf a, b dan c disebutkan Komjak mempunya tugas sebagai berikut: melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kode etik; melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan; dan melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, tata kerja, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan.

Karena itu, kata Halius, berkenaan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku jaksa, Komjak bisa melakukannya apabila perkaranya belum masuk ke dalam proses hukum. Bahkan, Komjak bisa memberikan rekomendasi berupa pemecatan apabila ditemukan dugaan pelanggaran berat atas kinerja dan perilaku jaksa.

Masih terkait dengan skandal Jaksa Pinangki, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga pernah melaporkan jaksa penyidik yang menangani perkara itu ke Komjak. Menanggapi laporan itu, Barita Simanjuntak berjanji akan mendalaminya terutama dugaan pelanggaran kodeetik yang dilakukan jaksa penyidik dalam perkara Jaksa Pinangki. Meski begitu, Komjak masih menunggu putusan pengadilan berkaitan dengan materi laporan ICW. Setelah pengadilan memutus Pinangki bersalah, publik belum mendengar lagi tindak lanjut dari Komjak atas laporan ICW itu.

Ketika ditanyakan kepada peneliti ICW Kurnia Ramadhana soal laporan tersebut, ia enggan berkomentar. “Untuk saat ini kami belum bisa berkomentar,” kata Kurnia saat dihubungi.

Mundur
Sementara itu, pemerhati hukum Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar mengatakan, masyarakat tidak merasakan kontribusi dari keberadaan Komjak. Bahkan laporan yang disampaikan kepada Komjak justru bukan membuat terang, kasusnya malah menjadi tambah gelap.

“Itu pengalaman kita. Lalu, lama pula (prosesnya),” kata Haris saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Karena itu, kata Haris, Komjak perlu berbenah agar bisa berguna bagi masyarakat. Ia juga sempat menyoroti posisi baru yang diperoleh Barita Simanjuntak di luar menjadi Ketua Komjak. Barita kini mengisi salah satu komisaris di PT Danareksa (Persero).

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung sedang menangani kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pembiayaan dari Danareksa kepada PT Aditya Tirta Renata (PT ATR) pada 2014-2015. Kejagung menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Danareksa Sekuritas (2010-2015), Marciano Hersondrie Herman; Direktur PT ATR, Zakie Mubarok Yos; serta dua orang dari kalangan swasta, Rennier Abdul Rahman Latief serta Erizal bin Sanidjar Ludin sebagai tersangka.

Sedangkan tersangka untuk kasus pemberian fasilitas pembiayaan PT Danareksa Sekuritas kepada PT Evio Sekuritas, yakni mantan Direktur Retail Capital Market PT Danareksa Sekuritas, Sujadi; mantan Direktur PT Evio Securitas, Teguh Ramadhani; serta Marciano Hersondrie Herman dan Rennier Abdul Rahman Latief.

Kejagug kemudian menetapkan pemilik modal pada PT Evio Sekuritas dan Komisaris di PT Aditya Tirta Renata, Rennier Abdul Rahman Latief, sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang terkait pemberian fasilitas pembiayaan dari PT Danareksa Sekuritas kepada PT Evio Sekuritas tahun 2014-2015. Perkara ini pun sudah dilimpahkan ke pengadilan dan segera akan disidang.

“Mutlak tidak boleh (jadi komisaris). Bisa dipermasalahkan secara hukum, harus mengundurkan diri,” kata Haris.

Seperti Haris, Ketua Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) Bandot DM juga sempat menyorot posisi Baritasebagai komisaris di Danareksa itu. Bandot menyebut, ketua Komjak yang berwenang mengawasi penegak hukum (jaksa) pada saat yang sama sebagai komisaris di BUMN harus tunduk pada hukum korporasi.

Bandot merujuk pendapatnya itu kepada Pasal 2 Perpres Komjak yang menyebutkan Komjak merupakan lembaga non-struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri; Komjak berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Karena itu, kata Bandot, penunjukan ini terbilang tidak lazim dan cenderung abusive (merusak). Apalagi baru kali ini ketua Komisioner dijadikan sebagai komisaris di BUMN. Larangan menjadi komisaris BUMN, kata Bandot, juga diatur di Perpres tentang Komjak. Dalam Pasal 35 disebutkan komisioner Komjak perwakilan masyarakat dilarang rangkap jabatan. Kendati untuk komisioner perwakilan masyarakat, semangat pasal itu otomatis berlaku untuk ketua sebagai representasi lembaga meski menjadi utusan pemerintah.

Menanggapi Haris Azhar dari Lokataru, Barita Simajuntak memastikan semua laporan masyarakat ditindaklanjuti. Bahkan Barita mengaku sebagai orang yang menangani laporan itu dan selalu mengecek surat dari Lokataru.

“Kecuali belum ada respons dari Kejaksaan tentu belum bisa kami jawab,” kata Barita.

Menurut Barita, apabila belum ada respons dari Kejaksaan ada mekanisme tunggu dan susul. Dan ini berjalan selama ini. “Teman-teman dari Lokataru sering kok diskusi datang ke kantor kami langsung dan mereka tidak ada komplain,” kata Barita.

Kembali kepada skandal Pinangki dan Joko Tjandra itu. Mengingat ada pengawasan melekat terhadap para jaksa baik internal maupun eksternal, akankah Komjak masih mau meneruskan pemeriksaan terhadap jaksa yang dinilai melanggar etika itu? Sebagaimana tertuang pada Pasal 6 angka 1 Perpres tentang Komjak, seluruh jaksa dan pegawa Kejaksaan wajib memberikan keterangan dan/atau data yang diminta Komisi Kejaksaan dalam rangka melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atau mengambil alih pemeriksaan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, sebenarnya tidak ada alasan bagi Kejaksaan untuk menolak permintaan Komjak. Karena itu, publik tetap menunggu langkah lanjutan Komjak menuntaskan dugaan pelanggaran etika jaksa dalam skandal Pinangki dan Joko Tjandra ini. Juga pertanggungjawaban jaksa dalam perkara kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung. [Kristian Ginting]