Melacak Jejak Senjata Kimia di Douma

Koran Sulindo – Sebagai medan pertempuran, Douma benar-benar lantak oleh kedua belah. Di permukaan, dengan bangunan menjelma reruntuhan di bawahnya tanah dibelah ratusan terowongan saling silang menjadi jalur-jalur pertahanan.

Di Douma, benteng terakhir yang dipertahankan Jaish al Islam di pinggiran Damaskus perang menunjukkan wajahnya yang paling hakiki yakni kehancuran.

Selain penderitaan warga sipil dan kehancuran fisik akibat hujan bom kedua belah pihak, senjata kimia menjadi isu paling genting yang untuk mencapai kemenangan. Berapapun ‘biaya’ yang bahkan harus dibayar.

Mereka yang mempertahankan Douma menuding tentara pemerintah menggunakan senjata kimia sekaligus menargetkan penduduk sipil yang tak berdaya. Tuduhan yang ditolak secara kategoris Damaskus dan balik menuding ‘serangan kimia’ adalah bendera palsu untuk memancing keterlibatan Barat.

Ide itu sebagian besar berhasil karena AS, Inggris dan Prancis bahkan merasa tak perlu menunggu pembuktian untuk menghukum pemerintah Suriah. Serang dulu urusan belakangan. Ini tipikal.

Sejarah bercerita bagaimana Saddam Hussein jatuh dan digantung atas tuduhan palsu senjata pemusnah massal sekaligus membiarkan Irak terbelah perang saudara berdarah. Contoh serupa juga terjadi di Libya dan tengah di usahakan di Republik Rakyat Demokratik Korea.

Jaish al Islam yang menguasai Douma adalah gabungan dari puluhan kelompok di sekitar Damaskus dengan faksi yang paling dominan adalah Liwa al-Islam dan Jabhat al-Nusra yang merupakan kepanjangan Al-Qaeda di Suriah.

Selain menerapkan syariah ketat di wilayah-wilayah yang diduduki, Jaish al Islam menjadi salah satu kelompok paling efektif dalam pertempuran melawan tentara Suriah. Pendonor utama kelompok ini adalah Arab Saudi.

Jurnalis veteran asal Inggris, Robert Fisk dalam kunjungannya ke Douma menyebut terlepas dari kontroversi tentang serangan senjata kimia itu video-video yang ‘dianggap’ penggambaran korban serangan terbukti asli.

Di Douma, Fisk menemui seorang relawan tulus bernama Dr Assim Rahaibani yang memilih tetap tinggal untuk merawat para korban setelah Jaish al-Islam memilih pergi. Pengakuan Rahaibani itu mengejutkan Robert Fisk.

“Mereka para pasien, tidak terpapar gas tetapi karena kekuarang oksigen akibat tinggal di terowongan dan ruang bawah tanah yang dipenuhi sampah, pada malam angin dan penembakan besar yang memicu badai debu,” kata Rahaibani kepada Fisk.

“Saya bersama keluarga di ruang bawah tanah rumah saya, tiga ratus meter dari sini pada malam hari tetapi semua dokter tahu apa yang terjadi. Ada banyak ledakan bom dan pesawat di atas Douma pada malam hari,” kata Rahaibani kepada Fisk mengingat peristiwa tanggal 7 April itu.

“Tetapi pada malam itu ada angin dan awan debu yang sangat besar masuk ke ruang bawah tanah termasuk gudang di mana orang tinggal. Orang-orang yang tiba di sini menderita hipoksia, atau kehabisan oksigen.”

Di tengah kekalutan itu Rahaibani menjadi saksi ketika seseorang di depan pintu yang dari seragamnya diidentifikasi sebagai White Helmet berteriak keras. “Gas!..Gas!!” Begitulah kepanikan dimulai dan orang-orang mulai menyiram air.

“Ya, video yang difilmkan di sini, itu asli, tetapi apa yang Anda lihat adalah orang yang terkena hipoksia , bukan keracunan gas,” kata  Rahaibani.

Jelas pengakuan Rahaibani berbeda dengan klaim Jaish al-Islam. Di sisi lain, Prancis menggelar serangan rudal pekan lalu mengaku telah memiliki ‘bukti’ penggunaan senjata kimia. Klaim serupa juga diteriakkan media-media AS yang mengatakan tes darah dan urin menunjukkan jejak kimia.

Paduan suara itu makin nyaring ketika WHO juga ikut-ikutan mengklaim bahwa mitranya di lapangan telah mengobati 500 pasien “menunjukkan tanda dan gejala yang konsisten dengan paparan bahan kimia beracun.”

Di Douma, orang-orang yang diajak bicara menampik dan mengaku tidak pernah percaya cerita-cerita tentang senjata kimia. Umumnya, ketika serangan makin gencar orang-orang umumnya mengungsi atau turun menuju terowongan bawah tanah yang luas. Terowongan itu sendiri, kata Fisk yang menyempatkan masuk juga berisi roket buatan Rusia milik Jaish al-Islam.

Orang-orang Douma umumnya senang melihat orang asing karena setidaknya itu menandai bahwa pengepungan selama tiga tahun terakhir telah usai. Fisk menyebut kebanyakan dari mereka menawarkan senyum yang tulus.

Kisah serupa seperti penuturan Rahaibani itu diulang lebih dari 20 orang yang ditemui Fisk. Mereka bahkan tak menunjukkan minat atas cerita yang memicu serangan rudal negara-negara Barat itu. Beberap bahkan sama sekali tak paham hubungannya. Mereka bahkan hanya mengangkat bahu ketika Fisk bertanya tentang 43 orang tewas akibat senjata kimia di Douma itu.

Bagi publik dan negara-negara Barat, White Helmets adalah icon legendaris di Barat yang menjadi pelapor serangan senjata kimia. Ia selalu hadir dalam setiap pertempuran dan tentu saja berada di sisi militan.

White Helmet adalah sebuah organisasi pertahanan sipil yang beroperasi di wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok militan di Suriah. Lembaga ini menerima uang dari berbagai negara barat termasuk AS dan Inggris.

Kelompok inilah yang selalu menghasilkan gambar atau rekaman video yang diklaim yang menunjukkan kekejaman pemerintah Suriah. Di antara cuplikan -cuplikan termasuk tuduhan ‘serangan senjata kimia’ di Douma yang memicu respon AS, Inggris dan Prancis.

Berkali-kali kelompok ini menerima pujian secara luas dari media Barat, termasuk ketika mereka memenangkan Academy Award untuk sebuah film dokumenter tentang Suriah.

Pada berbagai kesempatan, relawan White Helmets tertangkap basah melakukan hal-hal meragukan seperti membantu eksekusi publik oleh militan atau melakukan operasi penyelamatan palsu.

Banyak kritik menyebut, operasi penyelamatan yang dikerjakan White Helmet hanyalah samaran dari tujuan mereka yang sebenarnya yakni memproduksi foto dan rekaman yang menguntungkan musuh Damaskus.

Bukti-bukti iniilah yang sering digunakan sebagai pembenaran bagi intervensi Barat untuk mendongkel Presiden Bashar al-Assad.(TGU)