Koran Sulindo – Maraknya kejahatan seksual di negeri ini membuat banyak pihak yang masih memiliki akal sehat marah, terutama setelah munculnya kejahatan seksual yang dilakukan sekelompok lelaki terhadap seorang siswi SMP di Rejanglebong, Bengkulu, Yuyun (14 tahun). Remaja putri itu dibunuh dan mayatnya dibuang ke jurang setelah diperkosa oleh para lelaki bejat.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, pun tak kalah marahnya melihat kenyataan tersebut. Itu sebabnya, ia berharap perempuan Indonesia dapat menjadi lebih kuat, tidak “lembek”, sehingga bisa membela diri jika akan dijadikan korban kekerasan seksual. “Saya suka gemas jika lihat wanita yang lembek. Bukan berarti tidak dandan atau kelaki-kelakian, bukan seperti itu, tapi yang bisa membela dirinya,” kata Megawati ketika memberikan orasi budaya dalam acara bertajuk “Indonesia Melawan Kekerasan Seksual” di Jakarta, 12 Mei 2016 lalu.
Minimal, lanjut Megawati, perempuan memiliki semprotan merica untuk jaga diri. “Kita harus lebih peduli dan ajari anak-anak untuk waspada, sehingga peristiwa seperti Yuyun tidak terjadi lagi,” ujar Megawati.
Presiden Ke-5 Republik Indonesia itu pun bercerita, ketika membaca berita soal kejahatan seksual di Bengkulu itu, dirinya langsung mengumpulkan cucu-cucunya. Megawati berpesan kepada cucu-cucunya agar lebih waspada terhadap lingkungan sekitar. “Kalau minum botol, jangan diterima kalau sudah dibuka. Ini remeh-temeh, tapi merupakan upaya perlindungan diri,” tuturnya.
Megawati juga mengungkapkan simpatinya terhadap anak-anak korban kekerasan seksual dan keluarganya. “Saya bisa rasakan seperti apa jika buah hatinya diperlakukan tidak benar. Nah, untuk itu, semua yang ada urusannya dengan masalah anak-anak, dengan masalah perempuan, seharusnya dari proses hukumnya dipisahkan dan harus ada yang namanya konseling,” katanya.Megawati juga dengan tegas mendukung agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan sebagai undang-undang.
Dalam acara itu, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerahkan naskah akademis dan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada Megawati, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly sebagai wakil pemerintah, dan perwakilan parlemen. “Sejak 2014, Komnas Perempuan menyusun naskah akademis dan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum dan perlindungan bagi korban,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan Budi Wahyuni dalam acara itu.
Sebelumnya, Kaukus Perempuan Parlemen Fraksi PDI Perjuangan juga telah mengeluarkan pernyataan yang mendesak DPR segera meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Prioritas Teratas di Prolegnas 2016. “Prihatin atas tragedi pemerkosaan berkelompok yang membawa kematian pelajar putri Bengkulu, Yuyun, seluruh anggota legislatif perempuan Fraksi PDI Perjuangan mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk menjadi RUU prioritas teratas di prolegnas di masa sidang mendatang. Hal ini didorong pada kebutuhan atas situasi darurat terhadap naiknya frekuensi dan makin parahnya bentuk kejahatan seksual yang menimpa anak-anak, remaja, dan perempuan Indonesia,” demikian antara lain pernyataan mereka.
Mereka juga bersepakat untuk mengorganisasi dan memobilisasi tanda tangan seluruh perempuan anggota legislatif lintas fraksi untuk bersama-sama memasukkan usulan ke pemimpin dan Ketua Badan Legislatif DPR begitu sidang dibuka setelah masa reses pada pertengahan Mei 2016. Di saat yang sama, usulan juga diteruskan ke presiden, dengan harapan akan mendapat dukungan atas inisiatif para legislator tersebut. Kaukus Perempuan Parlemen Fraksi PDI Perjuangan berharap inisiatif itu dapat segera diwujudkan, sehingga ada langkah konkret atas berbagai pernyataan keprihatinan yang tidak juga menemukan jalan keluar atas penanganan kejahatan seksual dalam beberapa tahun terakhir ini.
Komnas Perempuan sejak 2013 juga telah memberi peringatan keras terkait meningkatknya kasus pemerkosaan kolektif (gang rape) yang terjadi di Tanah Air. Untuk tahun 2016 saja, dari data Catatan Hukum Komnas Perempuan, dari kasus kekerasan yang terjadi, kekerasan seksual di ranah personal menempati peringkat dua, yaitu dalam bentuk pemerkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% (166 kasus).
Di ranah publik, dari 5.002 kasus, jenis kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%). Pelaku kekerasan seksual lintas usia, termasuk anak-anak menjadi pelaku.
Komnas Perempuan menilai, kasus Yuyun di Bengkulu merepresentasikan isu besar tentang kejahatan seksual yang masih minim diberi perhatian negara. Kejahatan seksual juga mengkhawatirkan semua pihak karena siapa pun berpotensi menjadi korban dan pelaku.
Kasus Yuyun, menurut Komnas Perempuan, harus dilihat sebagai kasus sistemis dan menunjukkan sejumlah hal. Pertama, wilayah pelosok, terpencil (termasuk wilayah kepulauan), semakin merentankan perempuan. Karena, minimnya pemantauan serta akses perlindungan dan keadilan bagi korban. Kasus Yuyun sudah terjadi sejak 3 April 2016, ditemukan 3 hari kemudian, dan menyentak kita semua setelah sebulan berjalan.
Kedua, terduga pelaku kasus Yuyun, dari 14 pelaku, 7 di antaranya anak-anak. Informasi awal, para pelaku tumbuh dari latar sosial masyarakat miskin, putus sekolah, bekerja menjadi kuli kebun karet dan kopi, banyak waktu luang yang memicu minum tuak, serta minim pendidikan dan informasi tentang seksualitas. Artinya korban dan pelaku semakin rentan karena kondisi kemiskinan dan pemiskinan.
Ketiga, kekerasan seksual bukan hanya menghancurkan korban dan keluarganya, tapi juga menghancurkan masa depan pelaku dan keluarganya, tak terkecuali masyarakat dan kita semua yang sudah kehilangan rasa aman, baik di publik maupun domestik. Data Komnas Perempuan, dalam kurun 10 tahun terdapat 93 ribu kasus kekerasan seksual, 70% pelakunya adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat. [PUR]