Koran Sulindo – Malam itu, 4 Juli 1927, tujuh pemuda berkumpul di sebuah rumah sederhana, di Regentsweg 8, Bandung. Mereka itu adalah Soekarno, Iskaq Tjokroadisurjo, Anwari, Soenario, Sartono, Samsi Sastrowidagdo, dan Boediardjo Martoatmojo. Usia mereka semua belum lagi 30 tahun. Seorang lagi adalah dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, tokoh pergerakan kebangsaan yang lebih senior.
Tentang latar belakang pertemuan itu, Soekarno pernah mengisahkannya dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Waktu telah tiba bagiku untuk mendirikan partai sendiri…Pada 4 Juli 1927, dengan dukungan enam kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan PNI. Rakyat sudah siap, Bung Karno sudah siap. Sekarang tidak ada yang menahan kami, kecuali Belanda“.
Tanggal 4 Juli yang bertepatan dengan hari deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat itu sengaja dipilih Soekarno karena ia mengagumi revolusi Amerika. Sempat terjadi perdebatan, apakah mereka akan mendirikan partai atau perserikatan. Soekarno da kawan-kawan menginginkan membentuk partai politik. Tapi, dr.Tjipto tidak setuju berdirinya partai, karena pasti akan dihantam pemerintah kolonial, apalagi baru setahun sebelumnya Partai Komunis Indonesia yang memberontak dibabat habis-habisan dan para kadernya dibuang ke Tanah Merah, Boven Digul, Papua. Goncangan yang ditimbulkan pemberontakan PKI tersebut sangat besar bagi gerakan kebangsaan masa itu.
Setelah perdebatan yang seru, rapat itu akhirnya sepakat wadah yang didirikan belum berupa partai tapi perserikatan, diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia. Baru setahun kemudian, dalam kongres pertama di Surabaya pada 28-30 Mei 1928, diputuskan menjadi partai politik: Partai Nasional Indonesia (PNI). Selain keputusan penting itu, PNI memutuskan menerbitkan surat kabar bernama Persatuan Indonesia. Kongres itu juga memutuskan Soekarno menjadi ketua dan Iskaq Tjokroadisoerjo menjadi sekretaris. Acara yang diselenggarakan di gedung Stadstuin-Theater Acara yang diselenggarakan di gedung Stadstuin-Theater dihadiri lebih dari 3.000 orang.itu dihadiri lebih dari 3.000 orang.
PNI adalah anak kandung pergerakan nasional, yang hadir ditengah kekosongan gerakan radikal masa itu. Asas PNI adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang didasarkan pada Marhaenisme. Program PNI disusun sederhana. Dalam anggaran dasarnya dicantumkan tujuan perserikatan, yaitu: mengusahakan kemerdekaan Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu perserikatan akan bekerjasama dengan semua organisasi di Indonesia yang mengejar tujuan yang sama. PNI memilih non-kooperasi dan hidup dengan swadaya sebagai prinsip perjuangannya.
Meester in de Rechten
Dari tujuh pendiri PNI, empat diantaranya bergelar meester in de rechten atau sarjana hukum. Sedangkan Soekarno dan Anwari berlatar belakang insinyur, serta Samsi adalah seorang dokter. Sarjana hukum pendiri PNI yang kemudian aktif terus-meneruis dalam pergerakan kebangsaan dan setelah kemerdekaan adalah: Sartono, Sunario, dan Iskaq Tjokrohadisurjo.
Sartono (kelahiran Slogohimo, Wonogiri, 5 Agustus 1900), lulusan Universitas Leiden yang terkenal itu. Sejak kuliah di Belanda hingga lulus di tahun 1926, ia aktif dalam Perhimpunan Indonesia, bahkan pernah menjabat sebagai sekretaris organisasi mahasiswa pergerakan di negeri Belanda itu.
Saat masih menjadi mahasiswa ilmu hukum di Belanda itu pula, ia ikut andil dalam Manifesto 1925 yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia. Manifesto tentang persatuan Indonesia dalam keberagaman itu menjadi dasar penyelenggaraan Kongres Pemuda Pertama 1926.
Sekembali ke Indonesia, Sartono langsung menceburkan diri dalam kancah pergerakan nasional. Selain tercatat sebagai salah seorang pendiri PNI, ia ditunjuk sebagai Wakil Ketua Pengurus Harian PNI. Sartono juga aktif pada Persatuan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dengan menjadi Sekretaris Majelis Pertimbangan (1928-1930).
Sartono juga terlibat dalam Kongres Pemuda Kedua 1928, yang menelurkan Sumpah Pemuda. Ketika Bung Karno diajukan ke Landraad Bandung, tahun 1930, Sartono merupakan salah seorang advokat/pembela utamanya.Hubungan Sartono dengan Bung Karno memang selalu dekat. Hubungan politik mereka berdua pun sering sekali bersinggungan.
Bisa dikatakan, Sartono lah orang yang menciptakan dwi-tunggal historis Soekarno-Hatta. Ia yang mempertemukan Bung Hatta, yang baru tiba dari pembuangan di Banda Neira, dengan Soekarno yang berada di Bengkulu. Sartono pula memperkenalkan ide-ide Hatta tentang Manifesto 1925 kepada Bung Karno.
Sebaliknya, sebelumnya Hatta mengenal Bung Karno hanya melalui tulisan-tulisan di surat kabar. Sartono memahami pandangan dan gagasan Soekarno dan Hatta sejalan, dan menganggap kedua tokoh pergerakan itu cocok dipertautkan.
Di kalangan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Sartono pernah memicu kontroversi. Ia memprakasai pembubarkan PNI, lewat Kongres Luar Biasa yang digelar 25 April 1931. Pembubaran itu menyusul vonis yang dijatuhkan kepada Bung Karno dan kawan-kawan di Landraad Bandung.
Sartono berpendapat bahwa dengan ketetapan hukum terhadap keempat pimpinan partai, maka PNI bisa dianggap sebagai partai illegal. Untuk melanjutkan pergerakan sebaiknya dibentuk partai baru. Dan memang hanya beberapa hari kemudian, 29 April 1931, Sartono memprakarsai pendirian Partai Indonesia (Partindo).
Beberapa tokoh PNI yang tidak setuju dengan pembubaran partai kemudian membentuk Golongan Merdeka. Belakangan, Golongan Merdeka bersama Sutan Sjahrir mendirikan PNI-Baru. Mohammad Hatta, setelah pulang ke tanah air, bergabung dengan PNI-Baru.
Bung Karno sendiri, saat bebas dari penjara, Desember 1931, memutuskan bergabung dengan Partindo, yang lebih sejalan dengan gagasan-gagasan pergerakannya, terutama dalam hal aksi-massa. Bergabungnya Bung Karno segera menghidupkan Partindo. Pada Juli 1933, Partindo menyatakan telah mempunyai 20.000 anggota.
Sartono juga berkegiatan pada Gerakan Koperasi Karet di Leuwilliang, Jawa Barat (1934-1940), sebuah gerakan yang berhasil mendirikan 18 Koperasi Karet dan 12 Pabrik Karet. Sewaktu Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) berdiri pada tahun 1937-1942, Sartono menjadi Ketua Muda Pengurus Besar. Pada tahun 1941, Mr. Sartono menjadi ketua pengurus harian Majelis Rakyat Indonesia.
Menjelang proklamasi kemerdekaan RI, ia tercatat sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Setelah Indonesia merdeka, Mr. Sartono kemudian menjadi menteri negara pada kabinet pertama Republik Indonesia (1945). Ia juga terlibat dalam proses diplomasi selama perang kemerdekaan berkecamuk.
Setelah pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia, semasa Republik Indonesia Serikat (RIS), karir Sartono kemudian mapan menjadi seorang politisi yang bergerak di legislatif. Secara berturut-turut, Sartono dipilih sebagai Ketua DPR-RIS, DPRS-RI, dan DPR-RI (1950-1959). Karena itu, ia dijuluki “Bapak Parlemen Indonesia”.
Meski begitu, ia juga sempat menduduki sejumlah jabatan eksekutif. Yang tertinggi adalah saat ia menjabat Pejabat Presiden RI, di tahun, sekitar Januari sampai Februari 1958. Selaman menjadi Penjabat Presiden RI, Sartono menandatangani sejumah lembaran negara. Salah satunya adalah Undang-undang No. 8 tahun 1958 tentang penetapan Undang-undang Darurat No. 9 tahun 1954 (mengenai perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara).
Ia juga pernah ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPA, Maret 1962. Di tahun yang sama ia tercatat sebagai anggota Panitia Negara untuk Peninjauan kembali Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum MPR/DPR/DPRD Tingkat I dan Tingkat II.
Yang juga meester in de rechten lulusan Universitas Leiden adalah Iskaq Tjokrohadisoerjo (lahir di Jombang, 1896). Sewaktu masih menuntut ilmu di Universitas Leiden Belanda tidak pernah terlihat ikut kegiatan Perhimpunan Indonesia. Ia lulus kuliah tepat waktu.
Namun setelah mendapatkan gelar Master in de Rechten dan pulang ke tanah air, jiwa nasionalisme Iskaq seolah tiba-tiba meledak. Iskaq membuka kantor advokat di Bandung, padahal pemerintah kolonial menempatkannya di Batavia. Tiga orang teman sejak di negeri Belanda bergabung dalam firma hukum Iskak itu yaitu Sartono, Wiryono Kusumo, dan Ali Sastroamidjojo.
Jalan Iskaq melawan pemerintahan Belanda sudah diputuskan.
Konggres kedua PNI diadakan setahun berikutnya di Jalan Kenari 15 Jakarta. Soekarno masih didapuk menjadi ketua, Iskaq tetap sekertaris, tapi bendahara kini dijabat Sartono. Hasil Konggres ini yang paling jelas adalah menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Sebelum menutup acara Soekarno menyeru hadirin percaya diri sendiri dan terus bekerja menuju Indonesia Merdeka. “Kita bersumpah dihadapanmu,” kata Soekarno.
Sebelum PNI berdiri, orang-orangnya mencoba menghimpun seluruh gerakan di tanah jajahan. Organisasi yang bernama Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) itu didirikan pada 17 Desember 1927, hanya 5 bulan setelah berdirinya PNI.
Ketua PPPKI terpilih adalah Iskaq, dengan sekertaris Anwari. Aksi pertama PPPKI adalah rapat umum pada 25 Maret 1928. Rapat yang diikuti PNI, PSII, Budi Utomo, Kaum Betawi, dan Serikat Sumatera itu adalah sambutan kegembiraan atas dibebaskan 4 aktivis PI di Belanda. PPPKI menghimpun dana saweran dari para anggotanya untuk para aktivis yang berjuang di negeri penjajah itu.
Konggres pertama PPPKI di Surabaya memutuskan Bank Bumiputera diubah menjadi Bank Nasional Indonesia dan meluncurkan aksi massa bersama serentak di 4 kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Mataram pada 1 September 1929. Konggres kedua yang dijadwalkan pada Desember 1929 gagal karena penjajah melakukan penangkapan besar-besaran anggota PNI, termasuk Soekarno dan Iskaq.
Ini adalah penangkapan besar-besaran untuk kedua kalinya selama Pergerakan Nasional. Pemerintah kolonial menangkapi tokoh-tokoh PNI dengan alasan akan mengadakan pemberontakan. Perintah itu keluar dari Pokrol Jenderal pada 24 Desember 1929.
Jumlah penggeledahan sebanyak 789 yakni 400 di Jawa, 50 di Sumatera, 28 di Sulawesi dan beberapa di Kalimantan. Penangkapan dilakukan pada 37 tempat, yakni 27 di Jawa, 8 di Sumatera, 1 di Sulawesi dan 1 lagi di Kalimantan. Sebanyak 180 pimpinan PNI ditahan.
Sekelompok polisi bersenjata lengkap memasuki rumah Iskaq pagi-pagi subuh. Mereka membawa Iskaq, sedang rumahnya diporak-porandakan oleh polisi-polisi itu untuk mencari dokumen-dokumen yang menyangkut PNI. Polisi tak memberi kabar di mana Iskaq ditahan.
Saat yang sama, Soekarno juga ditangkap. Kelak dalam pengadilan karena penangkapan sewenang-wenang ini lahirlah pledoi Soekarno yang bersejarah, Indonesia Menggugat”.
Sementara Iskaq tidak lama berada di tahanan kepolisian Kosambi. Ia segera dipindahkan ke bui Banceuy. Berminggu-minggu lamanya diperiksa. Banceuy adalah bui tingkat rendahan. Terletak ditengah-tengah kota, di situ dipisahkan tahanan kelas bawah dengan tahanan politik yang termasuk tahanan elit. Kalau tahanan kelas bawah tidur di lantai, maka tahanan politik tidur di felbet besi beralas tikar. Makanannya hanya sambal dengan nasi beras tingkat rendahan.
Beberapa waktu kemudian, ternyata Iskaq tidak diadili melainkan dibebaskan. Mula-mula dengan pengawalan polisi tetapi kemudian dibebaskan sama sekali. Iskaq dilarang untuk tinggal di Bandung (verbanning). Sedangkan Sukarno, Maskun, Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata diajukan ke pengadilan yang ditangani Landraad Bandung. Kemudian diketahui, untuk mengadili Iskaq yang advokat itu, harus ada izin dari pengadilan tinggi di Jakarta.
Adapun Iskaq, selain terus aktif berjuang di pergerakan, juga tetap menjalankan profesi advokatnya dengan ulet. Tak heran Iskaq adalah sebenar-benar bendahara, ia juga membantu ekonomi teman-teman seperjuangan seperti Soekarno yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk partai sehingga tak mempunyai waktu mencari uang.
Karena tak boleh lagi bermukim di Bandung pasca pengadilan Soekarno dkk, Iskaq pindah ke Sulawesi pada 1930. Ia membuka kantor advokat di Manado. Di sana Iskaq mendapat berita Sartono dan kawan-kawannya telah membubarkan PNI, dan sebagai gantinya ialah mendirikan partai baru bernama Partai Indonesia, disingkat Partindo. Sebagai seorang senior dan tokoh Pergerakan Nasional, Iskaq dipilih oleh teman-temannya menjadi Ketua Partindo di Manado.
Yang lebih junior adalah Soenario (lahir di Madiun, Jawa Timur, 28 Agustus 1902). Setelah lulus dari Rechtschool Batavia pada 1923, Sunario melanjutkan ke Universitas Leiden di Belanda. Di situ ia tidak diwajibkan mengikuti ujian kandidaat dan langsung dapat mengikuti kuliah-kuliah doktoral. Hanya dalam dua tahun ia meraih gelar Meester in de Rechten (Mr). Selama di Leiden, Sunario juga aktif menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia.
Sunario kembali ke Indonesia pada 1926, lalu tinggal di Bandung dan bekerja sebagai advokat di kantor Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr. Sartono. Ia kemudian aktif di Algemene Studieklub, dan ikut mendirikan PNI.
Sunario juga aktif saat digelar Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928/ Sejak dua hari sebelum pertunjukan malam itu, Kongres Pemuda II sempat hendak dibubarkan pemerintah kolonial Belanda. Acara berjalan dengan pengawasan ekstra ketat oleh anggota-anggota Politieke Inlichtingen Dienst (PID), korps intelijen Belanda.
Mr. Dr. Kievit de Jong, Regeringsgemachtigde (Kuasa Pemerintah) sudah di tengah arena dengan pasukan PID-nya dan menolak ketika lagu ‘Indonesia Raya’ akan diulang untuk kedua kalinya. Sebelumnya melodi lagu tersebut dimainkan oleh Wage Rudolf Supratman menggunakan biola dan peserta kongres bersama-sama menyanyikan liriknya.
Untuk menghadapi Kievit, majulah Sunario. Saat itu di sisi lain ruangan kongres, duduklah Dina yang mewakili Jong Minahasa. Gadis itu duduk bersebelahan dengan Arnold dan melontarkan keraguannya terhadap Sunario. Dina berkata, “Apa dia bisa tuh melawan PID? Rasanya dia terlalu muda.”
Mr. Kievit dan Mr. Sunario lulusan dari perguruan tinggi yang sama, Universitas Leiden. Terjadilah perdebatan di antara keduanya. Sebagai sesama ahli hukum, keduanya berrgumentasi sangat kencang. Tetapi Kievit harus menanggung malu ketika Sunario mengatakan apa yang diinginkan oleh pemuda Indonesia itu merupakan sesuatu yang sah dan diajarkan oleh Belanda kepada murid-muridnya sendiri. Salah satunya, Sunario mengutip, terdapat lagu yang maknanya mengatakan sudah merupakan tugas seorang anak laki-laki untuk memperjuangkan kemerdekaan negerinya tercinta dan memberikan segala daya upaya untuk negaranya tersebut.
Kongres pun akhirnya boleh dilanjutkan.
Setelah penangkapan Bung Karno dan tiga kawan lainnya, para tokoh PNI lain tidak diperbolehkan tinggal di Bandung. Maka, sejak 1929-1940 Sunario memperkenalkan dan menyebarkan cita-cita persatuan di luar Pulau Jawa.
Mula-mula ia pergi Medan dan membuka praktek sebagai advokad. Di kota ini, ia ikut membantu mendirikan sekolah dasar Taman Siswa. Lalu ia tinggal di Ujung Pandang, bersama Mr. Iskaq, ia juga memprakarsai berdirinya perguruan “Taman Siswa” dan “Perguruan Rakyat”.
Pada 1940 ia kembali ke Pulau Jawa. Awalnya di Salatiga dan terpilih menjadi Komisaris Parindra untuk Jawa Tengah. Selanjutnya di Jogjakarta, ia diangkat menjadi pemimpin redaksi “Sedyo Tomo”.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Mr. Sunario terpilih menjadi anggota KNIP dan juga menjadi anggota Badan Pekerja hingga 3 Desember 1945. Dalam periode perang kemerdekaan revolusi fisik, ketika ibukota dipindahkan ke Jogjakarta pada 1946-1950, Sunario mengorganisir dan mendidik pemuda-pemuda dari laskar-laskar Ambon dan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
Pada saat berbarengan, Mr. Budiarto dan Dr. Suharto, Sunario ikut mendirikan Universitas (swasta) Gajah Mada yang kemudian dinegerikan. Beliau juga menjadi Dekan pertama Fakultas Hukum di situ.
Selain sebagai pendidik dan ahli hukum, Sunario dikenal luas sebagai seorang diplomat ulung. Pengalaman diplomasinya bermula saat ia ditunjuk menjadi Sekretaris bagian politik Delegasi Indonesia sewaktu menghadapi Belanda dalam periode Kaliurang dan Renville.
Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar ditandatangani pada akhir 1949 dan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Sunario diangkat menjadi Ketua Seksi Luar Negeri DPR Sementara. Selama masa jabatannya yang tiga tahun, ia selalu membela hak-hak demokrasi parlementer, politik luar negeri yang bebas-aktif, dan non-blok.
Lalu Sunario diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, pada 1 Agustus 1953. Sejak 1954, ia memimpin delegasi Indonesia di Konferensi “Colombo Plan” di Ottawa, Kanada. Di tahun yang sama setelah membawa kasus dengan Belanda mengenai Irian Barat ke PBB, Sunario menandatangani perjanjian dengan negeri Belanda– yang waktu itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri Mr. Luns, untuk membubarkan Uni Indonesia-Belanda.
Pada 18-24 April 1955, sewaktu masih Menlu, ia aktif dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Bertindak sebagai Ketua Delegasi, konferensi ini menghasilkan “Dasasila Bandung”. Konferensi ini juga menjadi cikal bakal munculnya Gerakan Non-Blok, saat Sunario sudah menjadi Duta Besar di Inggris. [Satyadarma/DS]
(Tulisan ini pernah dimuat pada Juli 2018)