Sulindonmedia – The Panama Papers mengguncang dunia, termasuk Indonesia. Pasalnya, di dalamnya ada beberapa nama pengusaha besar Indonesia dan nama-nama orang Indonesia lain, termasuk nama firma hukum yang dikelola adik kandung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, yakni Fifi Lety Indra & Partners.
Diduga, nama-nama tersebut memiliki aset dalam jumlah cukup besar di “negara suaka pajak” (tax haven). Karena itu, pemerintah pun semakin terdorong untuk menarik penerimaan dari wajib pajak yang “menyembunyikan” harta di luar negeri itu. “Ini sebagai pintu masuk agar mereka mau membawa uangnya ke Indonesia. Kami fokus ke program pengampunan pajak. Setelah itu baru penegakan hukum,” ujar Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, Selasa kemarin (5/4/20160).
Memang, dalam dunia perpajakan, punya perusahaan offshore dengan tujuan meminimalkan pajak tidak selalu identik dengan kegiatan melanggar hukum. Itu bisa saja sebagai upaya meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan celah (loophole) dan rendahnya tarif perpajakan yang ditawarkan suatu negara. Istilahnya tax avoidanceatau upaya menghindari beban pajak yang berat.
Kendati begitu, dilihat dari banyaknya nama orang dan perusahaan Indonesia yang tercantum dalam The Panama Papers, dana milik orang Indonesia yang ngendon di luar negeri tentulah sangat banyak. Sangat mungkin, besaran dana itu dapat mendongkrak nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Apalagi, menurut data Tax Justice Network pada tahun 2010, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara di dunia yang memiliki aset keuangan terbesar di negara tax haven. Indonesia menempati posisi kesembilan dan merupakan satu-satunya negara dari Asia Tenggara di daftar 10 teras. Jumlah aset dari Indonesia tercatat sebesar US$ 331 miliar atau setara Rp 4,400 triliun, dengan asumsi kurs Rp 13.300 per US$ 1.
Dari data tahun 2010 itu saja bisa dilihat besarannya hampir sama dengan 37% PDB Indonesia pada tahun 2015, yang sebesar US$ 888 miliar. Karena itu, kalau saja dana tersebut berada di dalam negeri, PDB atau nilai semua barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia bisa mencapai $ 1.219 miliar atau mendekati nilai PDB empat negara ASEAN terbesar, yakni Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia yang totalnya sebesar US$ 1.333 miliar.
Data itu juga yang membuat pemerintah Jokowi-JK lewat Kementerian Keuangan berencana memberi pengampunan pajak atau tax amnesty, yang rancangan undang-undangnya sedang digodok DPR. Memang, pemerintah tak dapat memaksa aset keuangan tersebut masuk seluruhnya ke Indonesia. Namun, dengan tax amnesty, pemerintah dapat mendorong wajib pajak Indonesia untuk bisa mendeklarasikan harta kekayaannya yang selama ini ditaruh di luar negeri.
Karena, seperti diungkapkan ahli pajak Yustinus Prastowo dalam sebuah kesempatan, dengan adanya tax amnesty, wajib pajak yang selama ini menyembunyikan harta di luar negeri bisa melaporkan harta kekayaannya tanpa perlu membayar sanksi administrasi perpajakan. Disebutkan juga dalam rancangan undang-undang pengampunan nasional, jika wajib pajak melaporkan hartanya di luar negeri itu, mereka hanya perlu membayar uang tebusan minimal 2% dari nilai harta yang dilaporkan.
Dengan demikian, kalau seluruh aset keuangan yang tersimpan di negara suaka pajak saja itu dilaporkan ke pemerintah, potensi penerimaan negara dari wajib pajak yang melaporkan hartanya tersebut bisa mencapai Rp 88 triliun. Angka yang “terbilang lumayan” menambah target penerimaan pajak yang mencapai Rp 1.360 triliun—target yang oleh banyak pihak dinilai sangat tidak masuk akal.
Namun, berbeda dengan Kementerian Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia punya rencana lain dalam merespons nama-nama orang dan badan usaha Indonesia yang tercantum di The Panama Papers. Polisi akan menyelidiki nama-nama itu, dengan terlebih dulu melakukan klasifikasi secara selektif. “Kami selektif prioritas, mana yang sudah punya alat bukti kuat. Kami harus klasifikasikan. Kami melihat prioritas pejabat dan pengusaha tersebut,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan di Cirebon, Jawa barat, Rabu (6/4/2016).
Pertimbangan prioritas kerja polisi adalah popularitas. Nama orang atau perusahaan yang terindikasi kasus korupsi dan menyedot perhatian masyarakat akan dijadikan prioritas. “Penggelapan pajak bisa jadi karena korupsi. Tapi, korupsi bukan hanya pejabat. Kami juga melihat mana yang paling menyorot perhatian,” ujar Anton lagi.
Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tidak mau ketinggalan. “KPK sedang mempelajari nama-nama yang ada di dokumen itu,” kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif di Jakarta, Rabu ini juga.
Seperti diketahui, The Panama Papers adalah hasil kerja investigatif para wartawan lintas negara yang tergabung dalam The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Mereka menelisik 11,5 juta data dokumen dari Mossack Fonseca, sebuah firma hukum asal Panama.
Setidaknya ada kurang-lebih 2.000 nama orang dan badan usaha Indonesia tercantum dalam The Panama Papers. Mossack Fonseca membantu nama-nama yang ada dalam dokumen itu mendirikan perusahaan di yuridiksi bebas pajak di luar negeri (offshore).
Selain biro hukum adik kandung Ahok, di The Panama Papers antara lain juga ada nama Chairul Tanjung, Gita Wirjawan, Sandiaga Uno, Djan Faridz, Erwin Aksa, Anthony Salim, Anindya Nirwan Bakrie, Asia Consulting and Investment Limited, AAJ Batavia, dan Agung Podomoro Group. [CHA/ARS/PUR]