Mata Air Air Mata Kendeng

Pabrik semen PT Semen Indonesia yang direncanakan diresmikan April 2017/mediaharapan.com

Koran Sulindo – Di antara bentangan bukit-bukit karst terjal sejajar dengan Sungai Serayu Selatan, berdiri aneh dibanding alam sekitarnya, bangunan beton milik PT Semen Indonesia. Pabrik, yang disebut-sebut 99 persen sudah rampung itu rencananya diresmikan Presiden Joko Widodo pada April nanti. Tapi ditunda. Konon karena menunggu hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbit. Konon karena jalan yang menghubungkan pabrik itu dengan peradaban belum rampung.

Semesta mendukung bumi kerontang itu, mengizinkan bukit karst putih itu ditembusi air hujan, menjadi mata air bawah tanah yang muncul ke atas bumi di beberapa tempat di Pati, Grobogan, Rembang, menjadi air minum, mandi cuci kakus, hingga mengairi ribuan hektare lahan sawah di kawasan utara Jawa Tengah itu.

Irigasi selebar 1 meter yang membelah jalan di perbatasan Desa Pesucen dan Tegaldowo, misalnya, tak pernah kering sepanjang tahun, kemarau apalagi musim penghujan.

Entah bagaimana nasibnya pengairan yang bersumber dari mata air pegunungan Kendeng itu jika kelak karst itu ditambang PT Semen Indonesia.

Gunretno, pemimpin rakyat, yang bergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, tentu saja masih bersemangat juang tinggi. Perjuangan yang sudah dimulainya sejak sosok-sosok rakus atas nama pembangunan mulai datang ke tanah air mereka pada 2006 silam.

“Kami sampai mengecor kaki ini, menyakiti ini, untuk keseimbangan Jawa. Kami berharap Pak Jokowi, pemerintah, janganlah mempermainkan petani,” kata Gunretno, suatu sore pertengahan Maret lalu, di Istana Negara Jakarta, setelah diterima berdialog dengan Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki, seperti dikutip Antaranews.

Hampir tengah malam setelah pertemuan petani dengan pemerintah itu, Patmi (48), salah seorang Kartini Kendeng yang mengecor kakinya dengan semen di seberang istana sejak 10 hari sebelumnya, meninggal dunia terkena serangan jantung. Air mata Kendeng jatuh.

Ilustrasi/Twitter

Perjuangan para petani itu pada tahun-tahun awal sebenarnya membuahkan hasil. Mereka memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung pada 2009. Kemenangan tersebut diikuti dengan ditetapkannya kawasan karst pegunungan Kendeng menjadi kawasan lindung oleh pemerintah.

Proses 3 tahun yang mencapekkan itu ternyata bukan tanda berhenti. Mereka masih harus berpanjang-panjang lagi menempuh jalan perlawanan.

Gunretno, Patmi, dan para pejuang lainnya itu adalah masyarakat adat yang tinggal di sepanjang kawasan Pegunungan Kendeng, membentang dari Blora dan Pati di Jawa Tengah hingga Bojonegoro di Jawa Timur.

Mereka pengikut ajaran Samin Surosentiko (bernama asli Raden Kohar), seorang tokoh dari Blora yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890. Cara Samin melawan unik, menolak membayar pajak dan mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda.

Gerakan Saminisme ini, oleh antropolog Amrih Widodo, disebut sebagai fenomena sosial yang tertua di Asia Tenggara dan menjadi bagian dari gerakan petani. Karena itu perlawanan dan penolakan yang dilakukan Sedulur Sikep, istilah mereka, terhadap korporasi semen hari-hari ini memiliki akar sejarah yang panjang dalam konteks gerakan perlawanan petani di Indonesia.

Perjuangan mereka sekarang adalah pertaruhan soal sumber air yang mengaliri ribuan desa hingga pertaruhan soal potensi rusaknya kualitas tanah dan udara.

Pada 2012 PT Semen Gresik yang berganti nama menjadi PT Semen Indonesia memperoleh izin di Tegaldowo, Rembang, yang langsung dikebut pembangunan pabriknya mulai 2014.

Petani melawan lagi, mulai dengan menuntut penghentian rencana pembangunan pabrik semen itu, hingga hari ini.

Akar masalah konflik ini dalam konteks terkini, adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menerbitkan SK izin operasi pabrik semen. Padahal Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan bahwa izin tersebut harus menunggu KHLS diterbitkan terlebih dahulu.

Mata Air

Petani yang lahir besar di tanah itu tahu, ada sumber air raksasa yang mengalir dari bawah bumi mereka. Paling tidak ada 145 mata air besar mengalir sepanjang tahun: jernih,tidak berbau, alami, dan tidak tercemar.

Sebutlah beberapa, Sumber Sentul, Misik, Sukolilo, Pati; Sumber Geneng, Sukolilo, Pati; Sumber Agung, Ngaringan, Grobogan; Sendang Pengilon, Goa Trawang, Blora.

Menurut catatan JMPPK, tambang-tambang raksasa di kawasan karst Pegunungan Kendeng itu diincar para pemain besar semen. Di Pati seluas 2025 hektar akan di tanbang PT Sahabat Mulia Sakti (SMS). Di Blora 2150 hektar PT Blora Alam Raya, di Grobogan 2507 hektar ditambang lempung 743 hektar oleh PT Vanda Virma Lestri, dan PT Semen Grobogan 200 hektar di daerah Tanggungharjo. Selain itu seluas 900 hektar di Kabupaten Rembang oleh PT Semen Indonesia.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pemprov Jateng, Teguh Dwi Paryono pada 6 Oktober 2014 mengatakan ada payung hukum dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan.  Sedangkan tata ruang merupakan kebijakan dari atas.

Kesalahan tata ruang di tingkat provinsi, seperti kawasan karts yang menyimpan ratusan mata air di Pegunungan Kendeng itu, yang sesuai undang-undang adalah kawasan lindung namun kini digunakan sebagai pertambangan dan pabrik semen, adalah kewenangan Pemprov  Jateng.

Ekosistem Kendeng

Kajian Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) serta didukung Acintyacunyata Speleological Club (ASC) dan Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) UPN “Veteran” Yogyakarta Oktober 2013, menunjukkan di kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara ada jejak kars dalam bentuk ponor, gua, dan mata air.

Dr. Eko Teguh Paripurno pengajar teknik geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta mengatakan fenomena karst  dibagian karst Kendeng secara morfologi eksokars, indokars serta sistem sungai bawah tanah telah terbentuk.

Jika pabrik semen benar-benar dibangun dan mengambil bahannya dari sana, ekosistem di sana otomatis rusak.

Kerusakan ini memicu risiko bencana ekologis banjir dan kekeringan bagi kawasan tersebut.Terdapat 33 mata air di wilayah Grobogan, 79 mata air di wilayah Sukolilo Pati dengan debit relatif konstan. Dan menjadi sumber air bagi 8.000 kepala keluarga dan lebih dari 4.000 hektar sawah di Sukolilo.

“Pertambangan oleh PT SMS akan berdampak pada rusaknya tata air karst dan ancaman risiko bencana ekologi baik itu kekeringan maupun banjir bandang,” kata Eko Teguh.

Sementara itu penelitian ASC Yogyakarta pada 2014,  penambangan di Pegunungan Kendeng Utara akan mengganggu ekosistem karst, terutama satwa endemiknya yakni kelelawar.

Fungsi kelelawar pada ekosistem bawah tanah (gua) yakni membuang kotoran di dalam gua, yang menjadi sumber makanan untuk binatang lain.  Juga terdapat ular yang hidup di gua-gua di kawasan karst, membantu mengendalikan populasi tikus.

“Kelelawar yang memiliki rata-rata berat tubuh sekitar 17 gram dan mampu memakan serangga seberat seperempat dari berat tubuhnya setiap malam, berperan penting dalam mengendalikan populasi serangga sehingga tidak terjadi ledakan populasi, yang berarti menjadi hama,” kata Sigit Wiantoro, peneliti Kelelawar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Kawasan karst Kendeng hanya diperbolehkan untuk konservasi dan iptek. Kawasan ini adalah kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung nasional,” kata Teguh.

Menurut aturan Kementerian ESDM, penggunaan kawasan karst mulai dari perencanaan dan pembuatan AMDAL, harus melibatkan dan memberitahu masyarakat.

Buruh Pabrik

Gunretno tak pernah dilibatkan atau diberitahu korporasi soal pabrik semen itu. Ia kini hanya bisa membayangkan menukar mata pencahariannya dengan menjadi buruh pabrik. Walau kemungkinan besar tak semua warga Kendeng akan terserap sebagai buruh. Perusahaan hanya butuh ratusan orang saja.

Ilustrasi: Poster/boemimahardhika.com

Jumlah penduduk Kecamatan Gunem, tempat pabrik itu berdiri, berdasarkan data pemilih pada 2014 adalah 14.698 jiwa. Mereka menggantungkan hidup sebagian besar pada sektor pertanian. Sesuai data BPS, di Rembang distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha dari 2010 sampai dengan tahun 2012, secara umum didominasi oleh sektor pertanian dengan angka kontribusi hingga 43,91 persen.

Tak bisa menjadi petani lagi karena mata air untuk irigasi dirusak; tak bisa menjadi buruh pabrik karena kebutuhan perusahaan terbatas; Guretno dan para petani Kendeng kini hanya siap-siap berjuang sampai titik darah penghabisan, hingga air mata terakhir. [DAS]