Koran Sulindo – Masyarakat Indonesia saat ini mungkin berada dalam tahap yang skeptis. Mudah curiga terhadap siapa saja termasuk lembaga negara dan lembaga masyarakat independen yang disebut sebagai LSM.
Itu sebabnya, tidak perlu heran, tingkat kepercayaan masyarakat sangat rendah terhadap lembaga negara seperti DPR dan Kepolisian RI, misalnya. Survei Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparency International pada pekan lalu menggambarkan persepsi masyarakat itu.
Survei GCB di Indonesia meliputi 1.000 responden berusia 18 tahun hingga 55 tahun dan tersebar di 31 provinsi. Metode yang digunakan melalui wawancara langsung maupun lewat telepon periode 26 April hingga 27 Juni 2016. Hasilnya: sebagian masyarakat menganggap DPR sebagai lembaga yang paling korup. Maka, wajar ketika tingkat kepercayaan masyarakat rendah terhadap DPR.
Akan tetapi, masyarakat juga tidak terlalu percaya kepada LSM kendati kerap bersuara mengatasnamakan “rakyat”. Survei Edelman Trust Barometer pada 2014 menunjukkan fakta itu. Di tahun itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LSM masih mencapai 73 persen. Hanya berselang setahun, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LSM tinggal 64 persen.
Pengamat LSM Rustam Ibrahim mengatakan, tingkat kepercayaan publik justru lebih tinggi kepada lembaga negara, swasta, media massa ketimbang LSM. Fakta ini menunjukkan, meski survei GCB oleh Transparency International menyebutkan lembaga negara sebagai lembaga korup, tidak serta merta membuat masyarakat percaya pada LSM.
Kepercayaan publik terhadap lembaga bisnis justru mencapai 78 persen. Selanjutnya diikuti media massa di angka 68 persen, dan pemerintah 65 persen. Rustam menuturkan, rendahnya kepercayaan publik itu disebabkan beberapa hal seperti dianggap sebagai antek asing, tidak transparan dan laporan tahunan yang kurang terpublikasi.
Melawan LSM-isasi
Survei ini tentu saja mengingatkan kita pada penulis tersohor dari India Arundhati Roy. Dalam tulisannya berjudul The NGO-ization of Resistance, Arundhati mengingatkan “bahaya” LSM karena seolah-olah mengisi ketidakhadiran negara dalam menyelesaikan persoalan sosial masyarakat. Padahal, peran LSM secara nyata meredam kesadaran politik rakyat lewat bantuan. LSM karena itu mengubah jiwa masyarakat, kata Arundhati.
Penulis Walking with Comrade ini menggambarkan bagaimana peran LSM di India terutama pada periode 1980-an hingga 1990-an. Ia tentu saja tidak mengabaikan ada LSM yang bekerja dan berkorban untuk masyarakat. Akan tetapi, fenomena LSM menjadi penting untuk dianalisis dalam konteks politik yang lebih luas.
Arundhati menyebutkan, sebagian besar pembiayaan LSM di India berasal dari donatur atau lembaga pembangunan. Pada gilirannya, kata Arundhati, pembiayaan itu akan bersumber dari pemerintah Barat seperti Bank Dunia, PBB dan beberapa perusahaan multinasional. Lembaga yang membiayai LSM itu mungkin saja berbeda-beda, tapi mereka disatukan dalam garis politik yang sama: memastikan proyek neoliberal berjalan dengan baik.
Menurut Arundhati, melalui LSM jiwa masyarakat kemudian berubah menjadi korban yang bergantung dan menumpulkan kesadaran politiknya. LSM berperan menjadi penengah atau semacam fasilitator. Arundhati meyakini dalam jangka panjang LSM akan mengabdi kepada donatur mereka, tidak kepada masyarakat. Ia karena itu khawatir wabah LSM justru lebih mengerikan ketimbang neoliberalisme.
Perlawanan politik sama sekali tidak menawarkan jalan pintas seperti yang ditempuh LSM itu. Dengan demikian, kata Arundhati, politik LSM ini mengubah radikalisme masyarakat menjadi santun atau ia sebut sebagai depolitisasi. Dan ini tentu saja mengganggu gerakan tradisional masyarakat yang telah mandiri.
Seperti di India, LSM di Indonesia tentu saja ada yang bekerja dan berani berkorban demi rakyat. Namun, mengingat hasil survei tersebut, LSM di Indonesia perlu mengkoreksi dan mengevaluasi dirinya agar bersungguh-sungguh mengabdi untuk rakyat, bukan pada donatur. [KRG]