Ilustrasi

Koran Sulindo – Tentara reaksioner, elite sayap kanan dan perusahaan transnasional terus mengancam kehidupan suku bangsa minoritas atau umum dikenal sebagai masyarakat adat. Meski di bawah ancaman, perjuangan masyarakat adat di seluruh dunia pada tahun ini terus berlanjut terutama perjuangan untuk menentukan nasib sendiri.

Itu sebabnya gerakan organisasi dan gerakan rakyat seperti organisasi masyarakat adat menjadi penting untuk terus diberdayakan secara berkelanjutan. Karena itu sangat penting dalam hal mengubah pembangunan yang tidak lagi bergantung kepada elite atau perusahaan tetapi oleh rakyat.

Dalam situs resminya, Ibon International mencatat berbagai perjuangan masyarakat adat yang melawan perusahaan transnasional, elite sayap kanan dan tentara reaksioner. Di Kanada, misalnya, Bangsa Wet’suwet’en telah menegaskan hak mereka atas wilayah adat yang telah didiami selama beberapa dekade. Akan tetapi, mereka kini terancam dengan adanya kepentingan perusahaan di wilayah adat mereka. Beberapa kepentingan perusahaan yang mereka lawan antara lain proyek pipa gas sepanjang 670 kilometer yang dibangun perusahaan patungan di bawah TransCanada.

Proyek pipa gas senilai US$ 4,8 miliar ini merupakan bagian dari proyek gas senilai US$ 40 miliar. Proyek gas alam dengan orientasi ekspor. Proyek ini mendapat dukungan dari pemerintah sayap kanan Kanada. Juga didukung berbagai perusahaan transnasional seperti PetroChina, Petronas, Mitsubishi Corporation, Korean Gas Corporation dan lain-lain. Keberadaan proyek ini memicu risiko pencemaran lingkungan, menggusur masyarakat adat dari wilayah adat, memotong akses mereka atas tanah, air dan sumber daya lainnya sebagai dasar penghidupan mereka.

Mendapat perlawanan demikian, perusahaan pun tak tinggal diam. Mereka menggugat masyarakat adat ke pengadilan. Putusan pengadilan mengabulkan permohonan perusahaan. Berbekal putusan pengadilan, aparat kepolisian Kanada segera bergerak ke komunitas adat. Secara brutal mereka membongkar kamp masyarakat adat dan menangkap setidaknya 12 orang. Merespons tindakan brutal aparat tersebut, masyarakat adat Wet’suwet’en menggalang solidaritas internasional dan mengkampanyekan penolakan mereka atas proyek pipa gas tersebut ke Kanada, Eropa dan Amerika Serikat.

Nasib masyarakat adat di Brasil juga terancam setelah Jair Bolsonaro resmi menjadi presiden. Sosok ultra-nasionalis ini di tahun pertamanya memimpin Brasil mengeluarkan sebuah dekrit pada Januari 2019 yang memutuskan bekerja sama lebih erat dengan pemerintah Amerika Serikat (AS). Lalu, mengalihkan kewenangan lembaga urusan masyarakat adat FUNAI soal tanah ke Kementerian Pertanian. Tujuannya adalah membatasi pengakuan tanah adat oleh masyarakat adat.

Padahal, secara konstitusi, FUNAI mendapat amanat untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat adat dan perlindungan atas tanah adat mereka. Pengalihan kewenangan kepada Kementerian Pertanian terjadi ketika lembaga tersebut kini dipegang oleh Tereza Cristina Dias, bekas pemimpin kelompok lobi agribisnis di Kongres Brasil. Karena itu, masyarakat adat terancam akan ekspansi bisnis ditambah lagi ketika Bolsonaro sempat menuduh aktivis agraria sebagai “teroris”. Ia memang menikmati dukungan besar dari kelompok sektor agribisnis dan kelompok lobi pertanian besar.

Setelah keputusan tersebut, masyarakat adat setidaknya di 22 negara bagian lantas memprotes Bolsonaro dan menegaskan akan hak mereka atas tanah adat serta masa depan mereka. Kelompok masyarakat adat ini juga mengecam kebijakan negara yang ikut berperan dalam hal ambrolnya bendungan baru-baru ini di Brasil bagian tenggara. [KRG]