Koran Sulindo – ”PADA tanggal empat Juli 1927, dengan dukungan enam orang kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan PNI, Partai Nasional Indonesia,” ungkap Soekarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Bung Karno juga kemudian yang dipilih untuk menjadi ketua partai politik tersebut.
PNI memang bukan partai politik pertama di Indonesia. Juga bukan partai politik pertama yang menggunakan nama “Indonesia”.
Namun, tak dapat dinafikan, PNI memiliki pengaruh yang luas, bahkan sampai sekarang. Pada masa-masa awal pendiriannya, PNI dan Bung Karno menjadi sangat terkenal. “Pada setiap cangkir kopi tubruk, di setiap sudut di mana orang berkumpul nama Bung Karno menjadi buah mulut orang. Kebencian umum terhadap Belanda dan kepopuleran Bung Karno memperoleh tempat yang berdampingan dalam setiap buah tutur,” ungkap Bung Karno.
Cabang-cabang PNI pun dengan cepat berdiri di berbagai daerah: Surabaya, Batavia, dan Yogyakarta, selain di Bandung yang menjadi tempat didirikannya. Dalam rentang waktu kurang dari tiga tahun setelah didirikan, akhir 1929, PNI sudah beranggotakan 10.000 orang.
Dijelaskan Bung Karno, setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk membangun partai politik, yakni pembangunan kekuatan, kursus politik, dan aksi. Dengan begitu, partai politik akan menjadi kekuatan progresif yang berbasis massa.
Untuk membangun kekuatan, partai harus merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Itu sebabnya, pada masa penjajahan Belanda, Bung Karno dan PNI berada di garis depan dalam melawan penjajahan sekaligus berjuang dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
Propaganda politik dilakukan lewat rapat-rapat akbar dan lewat tulisan-tulisan yang dipublikasi di media massa. Yang juga kerap disuarakan dalam kesempatanseperti itu juga adalah pentingnya kebebasan berserikat dan berkumpul—yang pada masa penjajahan itu kerap dihalang-halangi.
Sementara itu, agar senantiasa dekat dengan rakyat, PNI ikut terjun dalam berbagai kegiatan sosial, antara lain dengan berperan aktif dalam pendirian sekolah, rumah sakit, pendirian koperasi untuk melawan praktik rentenir atau riba, membuat gerakan pemberantasan buta huruf, dan sebagainya.
Agar rakyat dapat menjelma menjadi massa aksi, menurut Bung Karno, massa perlu diajak untuk mengikuti kursus-kursus politik. Praktik revolusioner tak akan pernah ada tanpa teori revolusioner.
Yang dimaksud massa aksi oleh Bung Karno adalam massa yang terhimpun secara terorganisasi dan berpendirian radikal, bertujuan mengganti susunan masyarakat lama dengan membangun susunan masyarakat yang baru. Itu sebabnya, massa aksi harus berjuang terus-menerus dalam melawan kekuatan-kekuatan yang menghalangi perubahan dalam susunan masyarakat. Tanpa kompromi. Dan menolak reformisme.
Organisasi massa aksi, ungkap Bung Karno, harus dapat mengubah massa yang tidak sadar (onbewust) menjadi massa yang sadar (bewust). Karena itu, sekali lagi, organisasi massa aksi harus punya teori perjuangan sebagai panduan untuk memimpin aksi.
Organisasi itu juga punya tanggung jawab untuk mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa”. Organisasi massa harus dapat mengubah kesadaran spontan menjadi kesadaran politik-radikal.
Yang dimaksud dengan politik radikal itu bukan berarti mengabaikan perjuangan sosial ekonomi. Justru, kaum revolusioner harus terlibat dalam perjuangan sosial-ekonomi, yang kemudian diarahkan menjadi perjuangan politik.
Kalau organisasi atau partai politik tidak seperti itu, menurut Bung Karno, yang ada bukanlah massa aksi, tapi massale actie, semacam gerombolan atau social behoudend. Organisasi seperti itu bisa saja anggotanya sangat banyak, tapi tidak radikal dan revolusioner. [PUR]