Presiden Iran Masoud Pezeshkian (Foto: Morteza Fakhri Nezhad/IRIB/WANA via Reuters)
Presiden Iran Masoud Pezeshkian (Foto: Morteza Fakhri Nezhad/IRIB/WANA via Reuters)

Pada Selasa (30/7), Masoud Pezeshkian dilantik sebagai presiden kesembilan Iran dalam sebuah seremoni yang berlangsung di parlemen Iran. Upacara ini dihadiri oleh para pejabat tinggi asing dan disiarkan langsung oleh televisi pemerintah.

Dalam sumpahnya, Pezeshkian berjanji untuk menjaga agama resmi, sistem Republik Islam, serta konstitusi negara.

“Saya sebagai presiden, di hadapan Al-Qur’an dan rakyat Iran, bersumpah kepada Tuhan yang Maha Kuasa untuk menjadi pelindung agama resmi dan sistem Republik Islam serta konstitusi negara,” kata Pezeshkian, seperti yang dilaporkan oleh Al Arabiya dan AFP pada Rabu (31/7/2024).

Pezeshkian diharapkan akan mengumumkan kabinet pemerintahannya dalam waktu dua minggu. Dukungan resmi dari Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang merupakan pembuat keputusan utama di Iran, telah diberikan pada Minggu (28/7), menandai awal masa jabatan Pezeshkian sebagai presiden.

Pada usia 69 tahun, Pezeshkian memenangkan pemilihan presiden putaran kedua pada tanggal 5 Juli, mengalahkan mantan negosiator nuklir Saeed Jalili. Pemilihan ini diadakan lebih cepat untuk memilih pengganti Presiden Ebrahim Raisi, yang meninggal dalam kecelakaan helikopter pada bulan Mei.

Sebagai seorang ahli bedah jantung dan anggota parlemen untuk kota Tabriz sejak 2008, Pezeshkian sebelumnya menjabat sebagai menteri kesehatan.

Di Iran, kekuasaan tertinggi atas semua masalah negara, termasuk kebijakan luar negeri dan program nuklir, dipegang oleh pemimpin tertinggi, bukan presiden. Ayatollah Khamenei, 85 tahun, telah menjabat sebagai pemimpin tertinggi Iran sejak 1989.

Didukung oleh kubu politik reformis Iran, Pezeshkian berjanji selama kampanyenya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 dengan Amerika Serikat dan kekuatan dunia lainnya.

Kesepakatan ini bertujuan untuk memberlakukan pembatasan pada aktivitas nuklir Iran dengan imbalan keringanan sanksi, namun gagal pada 2018 setelah Washington menarik diri dari perjanjian tersebut.

Dalam sebuah artikel baru-baru ini, Pezeshkian menyerukan “hubungan yang konstruktif” dengan negara-negara Eropa, meskipun ia menuduh mereka gagal memenuhi komitmen untuk mengurangi dampak sanksi-sanksi AS.

Komitmennya untuk memperbaiki hubungan internasional dan memperkuat ekonomi domestik menjadi fokus utama pemerintahan barunya. [UN]