Foto: abc.net.au

Koran Sulindo – Warga muslim Kota Punchbowl, Sydney, New South Wales, Australia, pada Lebaran 2018 mendatang akan memiliki sebuah masjid yang keren. Pembangunan masjid ini sendiri sudah direncanakan sejak 23 tahun lalu dan sempat diwarnai keberatan dari dewan kota dan gugatan di pengadilan tinggi.

Pendanaan pembangunan masjid ini dikumpulkan oleh organisasi nirlaba Misi Islam Australia (AIM), lewat hibah, donasi, dan pinjaman tanpa bunga. “Pembangunan masjid ini dimulai pada 1994 ketika kami menyewa sebuah aula untuk solat di Matthews Street Nomor 29,” kata Wakil Presiden AIM yang juga manajer proyek pembangunan masjid itu, Zachariah Matthews, sebagaimana dikutip abc.net.au.

Dua tahun kemudian, AIM membeli tiga properti, yang kemudian dijadikan sebidang tanah. Properti itu sendiri sebelumnya dimiliki oleh kelompok muslim lain, yang telah mengajukan permohonan agar tempat itu dijadikan tempat solat bagi publik. Masalahnya, menurut Dr. Matthews, kelompok itu menghadapi keberatan dari dewan kota setempat dan akhirnya mendorong mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Canberra.

“Perlu waktu 17 tahun sebelum akhirnya permohonan pembangunan masjid ini disetujui,” ungkap Matthews.

Dr. Matthews. Foto: abc.net.au

Setelah mendapat persetujuan dari keputusan pengadilan tinggi, AIM pun mencari seseorang untuk merancang masjid impian mereka (dan dalam rencana awal mereka, bahkan termasuk juga sebuah sekolah dasar Islam). Juga pendanaan untuk membiayai pembangunan masjid tersebut. “Kami bertanya ke sana-kemari. Seorang penasihat menyarankan kami agar menemui arsitek Angelo Candalepas,” ujar Matthews.

Angelo Candalepas sendiri berasal dari keluarga yang beragama Kristen Ortodoks Yunani. Namun, dia bersedia memenuhi permintaan AIM, setelah berdoa kepada Tuhan selama beberapa hari agar diberi petunjuk.

Bahkan, karena tidak yakin dirinya yang ditawari merancang masjid itu, Candalepas meminta nasihat dari salah seorang pendeta Kristen Ortodok Yunani dari salah satu paroki yang sebelumnya juga meminta dia merancang rumah ibadah. “Pendeta itu berkata, ‘Kita semua adalah anak-anak Tuhan dan Anda harus melakukan setiap proyek ini dan ini harus menjadi proyek paling penting dalam hidup Anda,'” tuturnya.

Candalepas mengaku, dirinya memang terkejut waktu ditawarkan untuk merancang masjid tersebut. “Saya tak tahu mesti berkata apa. Apa yang Anda katakan ketika seseorang meminta Anda untuk melakukan apa yang bisa menjadi salah satu bangunan paling penting [untuk komunitas mereka], terutama ketika aspirasi mereka begitu tinggi?” ujarnya.

Angelo Candalepas. Foto: abc.net.au

Candalepas kemudian mulai mendesain bangunan masjid itu. Namun, dalam proses itu, ia harus mengubah rancangannya. Pasalnya, Dewan Kota Canterbury mengeluarkan ketentuan yang berpotensi melipatgandakan anggaran pembangunan masjid itu. “Contoh pengkhianatan terburuknya adalah persyaratan yang ditetapkan oleh otoritas dewan kota, yakni keharusan membangun fasilitas parkir mobil untuk setiap dua orang,” tutur Candalepas.

Keterbatasan ruang yang ada membuat Candalepas kemudian merancang tempat parkir multilevel, yang berada di bagian bawah masjid. “Ketika mereka sedang melakukan survei geotek, mereka terbentur dengan isu permukaan air tanah. Itu artinya, jika dewan kota berkeras memaksa kami membangun area parkir tiga lantai, kami harus membangun tangki air di lantai tiga agar bisa dijadikan lokasi parkir dan itu berpotensi melipatgandakan biaya pembangunan tempat parkir mobil,” ungkap Matthews.

Setelah berdiskusi, dewan kota akhirnya mengurangi persyaratannya, dengan membolehkan dibangun hanya dua lantai lahan parkir, dengan kapasitas 109 ruang parkir. Toh, lahan parkir bawah tanah tersebut tetap saja menyedot dana AUS$ 7 juta atau Rp 74 miliar. Inilah yang kemudian membuat AIM terpaksa menunda gagasan untuk membangun sebuah sekolah dasar di lokasi itu.

Pembangunannya pun dimulai pada Oktober 2015. Tadinya, masjid ini dapat dibuka untuk umum pada Bulan Romadon tahun ini, yang telah dimulai pada 16 Mei 2018 lalu di sana. Namun, ada kendala lain yang membuat rencana itu tak bisa diwujudkan tepat waktu, yakni salah satu seniman kaligrafi asal Turki ditunda persetujuan visanya, sementara permohonan visa gurunya ditolak.

Kedua penulis kaligrafi itu akan menulis 99 nama Allah pada 99 kubah mini di langit-langit masjid. Keduanya diharapkan dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut selama dua sampai tiga pekan.

“Saya kira semua orang berpikir, jika Anda seorang muslim, Anda adalah seorang teroris. Saya tidak seharusnya mengatakan itu. Saya pikir itu sangat ekstrem,” ujar Candalepas.

Matthews menjelaskan, seorang seniman kaligrafi ketiga—yang dapat menggantikan seniman kaligrafi utama yang dilarang memasuki Australia—telah menerima dokumen imigrasinya pada pekan lalu.

Bila kaligrafi selesai, karpet—yang terbuat dari campuran wol Turki dan Selandia Baru—dapat dipasang dan panggilan untuk mendirikan solat atau azan akhirnya dapat terdengar berkumandang dari Jalan Matthews, Punchbowl, Sydney, Australia. Allahu akbar…, Allahu akbar! [RAF]