Koran Sulindo – Alasan ketiga mengapa beberapa negara Asia, Afrika dan Amerika Latin menerima pinjaman dengan syarat-syarat berat itu karena Tiongkok merupakan satu-satunya peminjam sekaligus dengan paket pembangunan proyek. Mitos pembangunan megaproyek infrastruktur dan pertambangan sebagai jalan kemajuan negeri terbelakang masih kental dianut para elite penguasa kapitalisme birokat di berbagai negeri. Pinjaman Tiongkok dianggap lebih menguntungkan karena tidak disertai program penyesuaian struktural atau ikatan politik lain yang dijadikan syarat pinjaman IMF atau Bank Dunia.
Kaum kapitalis Tiongkok tidak saja tak peduli masalah hak asasi manusia (HAM) negeri penerima pinjaman. Mereka juga tak peduli masalah lingkungan, kondisi kerja, upah dan kehidupan buruh lokal. Kalau Tiongkok betul-betul sebuah negara sosialis dan menjunjung nilai-nilai moral sosialis, tentu kesejahteraan buruh lokalnya akan diperhatikan. Namun ini tak terjadi, karena korporasi Tiongkok tak berbeda dengan korporasi kapitalis Barat dalam hal mencari keuntungan sebesar mungkin.
Kaum revisionis pendukung Tiongkok imperialis ingin menyembunyikan watak hakiki modal dan berusaha menjajakan pepesan kosong seolah-olah modal Tiongkok lebih baik daripada modal kaum kapitalis AS atau Jepang atau negeri industri Eropa lainnya. Padahal modal tak kenal bangsa dan warna kulit. Kaum kapitalis kulit hitam di Afrika Selatan tak ragu-ragu menggunakan modalnya untuk merampas nilai lebih yang dihasilkan kaum buruh berkulit hitam juga.
Semakin besarnya investasi dan gelombang serbuan TKA Tiongkok ke berbagai negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin membuktikan Tiongkoklah yang perlu bantuan.
Dalam sidang pembukaan tahunan Kongres Rakyat Nasional, akhir Mei 2020, Perdana Menteri (PM) Li Keqiang mengungkapkan masalah yang dihadapi Tiongkok sekarang, yaitu konsumsi internal, investasi dan ekspor menurun dan pengangguran meningkat tinggi. Pengangguran yang sebelum Covid-19 sudah meningkat karena penutupan banyak pabrik sebagai akibat melambatnya ekonomi dunia sejak krisis ekonomi dan finansial 2008, sekarang lebih meningkat lagi dan merupakan masalah yang paling dikhawatirkan para penguasa rezim. Tidak disebutnya target PDB dapat diartikan sebagai jalan untuk menyembunyikan kegagalan.
Bahaya dan dampak investasi modal yang disertai arus pekerja dan pebisnis Tiongkok di berbagai negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin tak kurang serius dan tak kurang jahatnya.
Pertama, dampak lingkungan. Di bagian pertama, sudah disinggung pembangunan waduk Mytsone di Myanmar akan menghilangkan sejumlah jenis ikan yang bermigrasi dan menghilangkan sisa hutan lebat penyimpan aneka ragam hayati yang kaya. Di Sudan selatan, korporasi minyak nasional Tiongkok yang merupakan investor terbesar di ladang-ladang minyak, telah menimbulkan pencemaran tak terkendali yang mengakibatkan anak-anak lahir dengan membawa cacat, peracunan di peternakan, pencemaran sungai-sungai dan kerusakan tanah subur.
Tak terkecuali negeri-negeri Amerika Latin. Ekspor dari Amerika Latin ke Tiongkok terpusat di sektor pertanian dan sumber tambang seperti minyak dan gas. Laporan penelitian di 8 negeri Amerika Latin, mengungkapkan penggunaan air untuk ekspor ke Tiongkok dua kali lipat besarnya dibanding dengan ekspor global lainnya. Menurut studi di 2012, 80% deforestasi yang terjadi di Argentina, Paraguay, Bolivia dan Brasil berkaitan erat dengan ekspor di bidang pertanian.
Beberapa peneliti Brasil mengemukakan bahwa investasi Tiongkok merupakan motor penting penggundulan hutan Amazon. Hutan menjadi terbuka bagi serangan manusia dan itu mempengaruhi gerak fauna buas. Pembangunan jalan besar, kanal dan jalan kereta api yang dibiayai modal Tiongkok ditujukan untuk transportasi hasil tambang dan pertanian ke pelabuhan. Permintaan kacang kedelai Tiongkok mengakibatkan hilangnya vegetasi savana Cerrado di Mato Grosso. Cerrado merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam di Brasil.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pertambangan, apalagi pertambangan terbuka, menimbulkan pencemaran lingkungan, penyakit dan dislokasi sosial. Di samping itu, korporasi Tiongkok sering terlibat dalam rasisme terhadap buruh lokal, kondisi kerja buruk, tak adanya jaminan keselamatan kerja.
Kedua, TKA Tiongkok merebut lapangan pekerjaan buruh lokal. Tulisan Akol Nyok Akol Dok dan Bradley A. Thayer pada Juli 2019 berjudul China Is Not In Africa For Charity, But To Control Its Resources mengungkapkan “Tiongkok di Afrika bukan untuk menyebarkan Maoisme, melainkan untuk mengontrol rakyat, sumber alam dan potensinya”. Di bawah pimpinan Mao, dukungan Tiongkok kepada gerakan pembebasan Afrika adalah untuk menyebarkan Maoisme dan melawan pengaruh Soviet dan AS. Sekarang Tiongkok sendiri sudah menjadi kekuatan imperialis. Korporasi Tiongkok membawa sopir, buruh pembangunan dan staf pendukungnya sendiri, berarti menghilangkan kesempatan pekerjaan bagi buruh lokal.
Menurut penelitian Adisu pada 2010, buruh Afrika tidak mendapat keuntungan dari investasi Tiongkok. Di Zambia, protes-protes besar di pertambangan batu bara dan tembaga telah memaksa Presiden Michael Sata minta kepada Tiongkok untuk memperbaiki kondisi kerja dan membatasi jumlah TKA yang masuk.
Presiden Tanzania, yang baru-baru ini membatalkan pinjaman Tiongkok sebesar US$ 10 miliar bertanya, mengapa Tiongkok harus membawa insinyur, sopir, operator eskavator, operator pabrik sendiri. Padahal Tanzania punya insinyur dan buruh yang dapat memenuhi tugas-tugas tersebut, dan ribuan yang menganggur. Ia menegaskan prinsip mandiri dalam ekonomi, kewajiban pemerintah memberdayakan rakyat dan melindungi buruhnya dari persaingan yang tak setara. Ia menambahkan bahwa ini bukan karena ia menentang investor. Yang ia inginkan adalah kerja sama yang tidak menghancurkan kapasitas lokal.
Penggunaan mesin, truk, perlengkapan teknik dan dapur, rokok, sampai minyak goreng, tenaga kerja, semuanya dari Tiongkok, telah melahirkan daerah kantong eksklusif. Orang-orang Tiongkok bahkan punya lahan sayur-mayur untuk mereka sendiri. Koloni-koloni seperti itu sudah tersebar luas di berbagai negeri.
Tiongkok melalui pejabat resminya, para komprador dan antek-antek lokalnya, berusaha membela diri. Pada 3 Juni 2020, detik.com memberitakan pernyataan Wang Liping, counselor Kedubes Tiongkok di Indonesia. Ia mengungkapkan gaji buruh Indonesia sekitar 10% dari gaji TKA. Ia bicara tentang pekerja terampil yang “terpaksa” didatangkan karena daerah sekitar proyek tak mampu menyediakan buruh terampil.
Pertanyaannya adalah apakah betul semua TKA Tiongkok merupakan buruh terampil. Saya lihat banyak video yang berkaitan dengan mereka, baik yang masuk secara legal maupun ilegal. “Tampang” dan “gerak-gerik” buruh-buruh itu sama sekali tidak mengesankan “buruh terampil”. Dan kesan ini dikonfirmasi oleh banyak kesaksian yang membuktikan mayoritas TKA adalah buruh kasar. Kesaksian lain, seperti mantan buruh di pertambangan Morowali (ILC, 1 Mei 2018) yang cerita tentang kesulitan penduduk mendapat pekerjaan di situ, penyembunyian TKA ketika ada sidak, PHK terhadap buruh lokal ketika TKA selesai mempelajari tugas yang harus dikerjakan, jumlah TKA yang jauh lebih besar dari yang diakui secara resmi, telah membuktikan adanya kongkalikong berbagai pihak yang sangat berkepentingan untuk menyembunyikan fakta penyerbuan buruh kasar Tiongkok yang merebut pekerjaan buruh Indonesia.
Wang Liping mengakui TKA kerja di pertambangan, listrik, manufaktur, taman industri, pertanian, ekonomi digital, asuransi dan keuangan. Betapa luas bidang yang dimasuki TKA Tiongkok! Wang tidak bicara tentang kejahatan cyber yang juga dimasuki TKA Tiongkok. Jakarta, Surabaya dan Bali dijadikan sarang operasinya.
Di Afrika, bidang kejahatan juga ditekuni TKA Tiongkok. Kesenangan orang kaya Tiongkok untuk memiliki atau makan organ tertentu dari binatang langka membuat perburuan dan penyelundupannya menjadi bisnis yang menguntungkan. Pada Februari 2019, pentolan penyelundup gading yang dijuluki “Ivory Queen” di Tanzania dijatuhi hukuman 15 tahun.
Ketiga, pinjaman yang mengharuskan penggunaan input Tiongkok akan membangun ketergantungan negeri penerima pinjaman kepada teknologi Tiongkok. Dan ini sesuai dengan ambisi imperialis Tiongkok untuk mencapai dominasi dan hegemoni global dalam teknologi dan ilmu.
Saya jadi ingat pengalaman negatif Kuba yang masuk dalam Council for Economic Assistance (COMECON) pimpinan Uni Soviet yang telah membuat Kuba tergantung, termasuk dalam teknologi. Begitu Soviet dan kubu “sosialis” bubar, ekonomi Kuba tergoncang, mesin-mesin pabrik gula dan industri lainnya mengalami kesulitan untuk mendapatkan suku cadang. Tiongkok sosialis Mao tidak pernah mau jadi anggota COMECON.
Koloni Tiongkok di Laos
Boten adalah sebuah kota kecil di Laos utara yang berbatasan dengan Tiongkok. Walau ia termasuk wilayah Laos, namun mayoritas penduduknya berbahasa tionghoa. Mengapa? Ternyata, sebagai bagian dari zona ekonomi khusus, Laos menyewakan Boten, kira-kira 1.640 hektare kepada sebuah korporasi pembangunan Tiongkok selama 99 tahun.
Ketika zona khusus ekonomi itu dibangun, kaum tani dipindahkan ke tempat lain. Mereka kehilangan tanah garapannya. Sekitar 70% dari mereka akhirnya bekerja sebagai pelayan, tukang sapu, penjaga atau buruh di berbagai proyek pembangunan Tiongkok.
Pada 2003, sebuah kasino resort dibangun dan dikenal dengan nama Golden City. Hotel dan perumahan muncul bagai jamur di musim hujan. Para pebisnis Tiongkok yang tak berdaya menghadapi persaingan keras dan tajam di negerinya sendiri, berbondong-bondong membuka usaha untuk mengumpulkan kembali modal. Orang Tiongkok mendapat ruang dan kesempatan untuk memulai mata pencaharian yang tak mereka dapatkan di tanah airnya sendiri. Turis Tiongkok berduyun-duyun datang. Boten menjadi koloni Tiongkok. Nama jalan dalam bahasa tionghoa. Hukum yang berlaku juga hukum Tiongkok. Jumlah penduduk meningkat terutama karena aliran penduduk Tiongkok. Tak heranlah kalau bahasa ibu “penduduk” Boten adalah bahasa tionghoa.
Perjudian dilarang di Tiongkok, tapi diizinkan di Boten. Sumber kejahatan, prostitusi dan kebobrokan moral lainnya dialihkan ke negeri tetangga. Orang-orang kaya membanjiri Golden City untuk mengadu nasib dan berfoya-foya. Tak ayal lagi, candu, pelacuran, pembunuhan, penculikan dan jaringan kejahatan berkembang pesat. Begitu gawatnya, sehingga pada 2011, pemerintah Tiongkok terpaksa menutup kasino. Boten menjadi kota hantu.
Pada 2016, Boten dihidupkan kembali oleh berbagai megaproyek, yang terpenting adalah kereta api cepat dari Kunming lewat Boten dan sampai Vientiane. Kembali pebisnis Tiongkok menjalankan toko-toko, restoran, hotel, berbagai jasa pelayanan, kabaret dengan penari transeksual dari Thailand menghibur ribuan turis. Mereka gembira dan bahagia, tapi bagaimana penduduk desa Laos?
Sungguh sedih melihat mereka tersingkir di negerinya sendiri. Semua pekerjaan adalah mulia, tapi menyakitkan melihat tukang sapu, buruh, pelayan Laos dinilai oleh bos Tiongkoknya sebagai orang yang lambat kerjanya, harus diajari bagaimana seharusnya bekerja. Ditertawakan karena tidak bisa bahasa Mandarin. Bayangkan, di negeri sendiri, tapi harus belajar bahasa Mandarin untuk dapat pekerjaan di perusahaan Tiongkok. Di mana kedaulatan rakyat Laos?
Afrika
Adakah koloni Tiongkok di Afrika, di mana penduduk lokalnya menerima perlakuan rasis dan diskriminasi, ekonomi lokalnya melesu dan terancam bangkrut karena tidak bisa bersaing dengan pedagang Tiongkok yang menjual produk murah yang tak menemukan pasar di negerinya sendiri?
Sebuah restoran tionghoa di Nairobi, Kenya, melarang penduduk lokal masuk bar setelah jam 19:00 PM. Di Lusaka, Zambia, suami, orang lokal, tidak diizinkan masuk sebuah restoran tionghoa; istrinya boleh, karena dia orang Tiongkok.
Program “Witness” di Aljazeera, September 2010, menunjukkan ratusan ribu orang Tiongkok masuk Afrika, antara lain Dakar, Senegal, membangun segala macam bisnis. Satu orang datang dulu, kemudian istri, orang tua, mertua, dan beranak pinak di negeri orang. Toko-toko tionghoa mendominasi jalan-jalan; pasar sayur-mayur tak terlindungi dari jamahan pedagang tionghoa. Klub-klub eksklusif merebak. Mereka mengakui mencari uang di Dakar lebih mudah daripada di tanah airnya sendiri.
Asosiasi Pedagang Senegal berusaha membendung gelombang pebisnis Tiongkok. Tanpa bantuan dan perlindungan pemerintah, mereka tak berdaya.
Tak terbantahkan, sumber malapetaka ada di pemerintah yang menjual martabat bangsa dan kedaulatan rakyat guna menjilat pantat penjajah kolonial baru, Tiongkok imperialis! [Tatiana Lukman]