Masa Lalu Jepang dan Rektor Ekspatriat

Ilustrasi/medscape.com

Koran Sulindo – Perang Dunia II bergejolak sejak tahun 1939. Tercatat dalam sejarah, inilah perang yang terluas dan melibatkan banyak sekali negara di dunia, yang kemudian membentuk dua aliansi militer yang bertentangan: Sekutu dan Poros. Ada lebih dari 100 juta orang di berbagai pasukan militer yang terlibat dalam perang ini.

Ketika itu, Kekaisaran Jepang berusaha mendominasi Asia Timur. Lalu, pada Desember 1941, Jepang bergabung dengan Blok Poros, menyerang Amerika Serikat dan teritori Eropa di Samudra Pasifik. Jepang dengan cepat menguasai sebagian besar Pasifik Barat.

Namun, kemudian, sejarah mengukir jalannya sendiri. Pada 6 Agustus 1945 pukul 08.15 pagi waktu Jepang, Kota Hiroshima di Jepang dijatuhi bom atom oleh Tentara Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat. Akibat bom pemusnah massal ini, 70 ribu orang Jepang tewas seketika di kota nomor tujuh terbesar di Jepang tersebut, yang kala itu berpenduduk 350 ribu jiwa. Menyusul kemudian ribuan orang lagi meninggal dunia setelah menjalani penderitaan yang mengerikan akibat terkena debu radio-aktif atau radiasi bom atom. Total korban tewas akibat bom atom di kota itu adalah 129.558 orang.

Tak hanya itu, tiga hari kemudian, 9 Agustus 1945, giliran Kota Nagasaki yang dijadikan sasaran bom atom berikutnya. Nagasaki juga hancur lebur dan mereka yang tewas akibat ledakan bom kedua ini sebanyak 75 ribu orang. Pada saat bersamaan, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo)—yang sebenarnya melanggar Pakta Netralitas Soviet-Jepang.

Melihat negerinya luluh-lantak, juga koloninya, Kaisar Jepang Hirohito langsung memerintahkan Balatentara Dai Nippon untuk menghentikan perang. Jepang secara resmi mengaku kalah dari pasukan Sekutu pada 15 Agustus 1945. Pengumumannya dilakukan oleh Kaisar Hirohito langsung lewat radio. Dalam kesempatan itu, Hirohito juga membacakan perintah kekaisaran tentang kapitulasi.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi diadakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat, USS Missouri. Dokumen kapitulasi Jepang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang dan secara resmi mengakhiri Perang Dunia II.

Ada yang menarik dalam kapitulasi tersebut. Jepang mengisyaratkan Sekutu dapat mengambil apa pun dari Jepang, bahkan bisa dikatakan Sekutu boleh memperlakukan seperti apa pun terhadap bangsa Jepang. Hanya ada satu hal yang Jepang inginkan dari sang pemenang perang: pemerintah Jepang tetap menguasai penuh bidang pendidikan tanpa ada campur tangan pihak asing.

Bangsa Jepang memang sangat menyadari pentingnya pendidikan bagi bangsanya. Pada abad ke-19, pada masa Restorasi Meiji, misalnya, Kekaisaran Jepang banyak mengirim kaum mudanya untuk menuntut ilmu ke negara-negara Eropa Barat dan Amerika. Kaisar Hirohito memang dikenal gandrung terhadap ilmu pengetahuan yang telah membuat negara-negara Barat mengalami kemajuan.

Setelah itu, warga dunia pun menyaksikan perubahan drastis Jepang. Bukan hanya menjadi negara modern, Jepang juga kemudian dikenal sebagai negara yang berambisi besar menandingi negara-negara industri Barat, termasuk melakukan ekspansi wilayah. Program Kaisar Hirohito sukses membawa Jepang sebagai negara maju dan memiliki militer yang kuat.

Sayangnya, ya, itu: Jepang menjadi agresif melakukan invasi, sampai akhirnya negaranya diluluhlantakkan pasukan Sekutu. Apalagi, sebelum bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, pasukan Sekutu juga nyaris setiap hari melakukan carpet bombing di hampir semua kota, terutama di Tokyo, ibu kota Jepang.

Namun, semangat belajar yang tinggi yang telah dibangun semasa Restorasi Meiji membuat Jepang dengan cepat bangkit dari keterpurukannya. Jepang pun kembali dikenal sebagi negara maju, yang kuat dalam bidang teknologi, otomotif, dan perekonomian.

Yang mengagumkan, adat istiadat dan budaya lokal mereka tetap hidup dan diberi ruang yang luas. Dengan demikian, bangsa Jepang dikenal juga sebagai bangsa yang berkarakter kuat, masih memegang nilai-nilai yang dari leluhur mereka yang diberikan  secara turun-menurun. Media utama untuk itu adalah sekolah. Itu sebabnya, ketika kalah perang dari Sekutu, mereka tak ingin pihak asing ikut campur secara penuh pada dunia pendidikan bangsanya.

Kisah bangsa Jepang tersebut teringat kembali oleh saya ketika saya mendengar selentingan bahwa pemerintah Indonesia akan mengizinkan orang asing menjadi rektor di perguruan tinggi negeri. Mudah-mudahan selentingan tersebut tidak benar. Karena, kalau itu terjadi, generasi penerus kita akan semakin sulit menemukan kepribadiannya sebagai orang Indonesia, apalagi di tengah serbuan informasi dan budaya asing seiring kemajuan teknologi informatika yang sangat pesat. Cara pandang, sikap, dan keputusan-keputusan rektor ekspatriat itu tentulah akan berpengaruh pada program-program yang akan dijalankan di kampus yang ia pimpin.

Pada gilirannya, semua itu akan berpengaruh pada para peserta didiknya, termasuk pembentukan karakternya. Kelak, pengaruh tersebut akan melekat pula di bangsa ini, ketika para mahasiswa itu telah menjadi pengambil keputusan atau menjadi pemimpin di negara ini.

Padahal, ketika suatu bangsa tak punya atau tak kuat kepribadiannya yang digali dari nilai-nilai budayanya sendiri, sebagian kedaulatannya akan hilang. Dalam tataran praksis, bangsa tanpa kepribadiannya sendiri hanya akan menjadi obyek dari bangsa lain. Itu sebabnya, Bung Karno sejak dulu telah mencanangkan konsep Trisakti untuk bangsa ini: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tidakkah konsep itu begitu luar biasa? [Emir Moeis]