Ma’ruf Amin: Pak Jokowi, Apa Saya Harus Ganti Kostum?

Ilustrasi: Calon Wakil Presiden nomor urut 01, KH Ma'ruf Amin, saat kuliah Umum di Rajaratnam School of Internasional Studies Nanyang Technological University (RSiS NTU), Singapura, Rabu (17/10/2010)/Tim Media KH Ma'ruf Amin

Koran Sulindo – Calon Wakil Presiden RI nomor urut 01, KH Ma’ruf Amin, membuat hadirin tertawa sebelum memberikan kuliah umum di Singapura, hari ini.

“Kebetulan waktu saya dipilih Pak Jokowi sebagai calon wakil presiden, saya  tanya beliau, Pak Jokowi, apa saya harus ganti kostum? Beliau mengatakan, Pak Kiai tetap saja tampil sebagai ulama. Karena itu, di manapun sepanjang tidak dilarang, saya akan memakai sarung, walaupun saya juga punya celana,” kata Ma’ruf, di Singapura, Rabu (17/10/2018), melalui rilis media.

Seri Kuliah Umum Pemimpin Indonesia (Public Lecture Indonesian Leaders Series) diselenggarakan RSiS-NTU (S. Rajaratnam School of Internasional Studies – Nanyang Technological University), itu dihadiri sekitar 150 undangan dan berlangsung selama 90 menit. Acara dibuka dan dipandu oleh Prof. Dr.  Tan Sie Ceng, Head of Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS), RSiS.

Sebelumnya, Ma’ruf membuka kuliah umum dengan mengatakan mungkin ini pertama kali ada pemakalah di tempat seperti itu yang memakai sarung.

“Saya kebetulan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan juga Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Jadi, sarung ini pakaian ulama Indonesia,” kata Profesor bidang Hukum Ekonomi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Jawa Timur tersebut.

Alumni Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur ini kemudian membaca pidato kuliah umumnya. Sesekali, ia menyelipkan penjelasan tambahan ketika mengutip ayat Al Qur’an, Hadits, dan pernyataan dalam bahasa Arab diselingi dengan guyonan khas kiai Nahdlatul Ulama (NU).

Terlihat hadir antara lain mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono. Peserta bukan hanya dari kalangan akademisi dan peneliti, tapi juga dari pimpinan beberapa bank, pelaku bisnis, Kamar Dagang Singapura, dan pimpinan beberapa perusahaan multinasional.

Terlihat juga diplomat dari KBRI dan diplomat dari Kedutaan Belanda di Singapura. Sejumlah jurnalis Singapura dan koresponden media di luar Singapura, termasuk The Economist.

Setelah pidato selesai, banyak peserta mengacungkan tangan untuk merespons, mulai soal strategi menghadapi radikalisme, perbandingan dengan teori ashabiyah Ibnu Khaldun, kesetaraan gender dalam perspektif Islam Wasathiyah, sampai soal strategi Kiai Ma’ruf dalam Pilres untuk menghadapi pemilih milenial, mengingat usia Kiai Ma’ruf.

“Kalian kaum muda harus siap menjadi apa saja dan di mana saja yang bermanfaat. Kalau dibuang ke laut, jadilah pulau. Kalau dibuang ke darat, jadilah gunung. Selalu memiliki peran menonjol dan bermanfaat pada lingkungan sekitar,” kata Ma’ruf.

Ma’ruf bercerita ada yang bertanya pada dirinya, “Kiai kan sudah tua, kenapa masih maju sebagai cawapres?”. Ia menjawab, “Siapa yang bilang saya masih muda? Semua tahu saya sudah tua, Pak Jokowi juga tahu, tapi beliau nyaman,” katanya.

Ia teringat kisah waktu masih sekolah di madrasah tingkat dasar. Ada orang tua ditanya, mengapa Bapak sudah tua masih menanam pohon?” Orang tua itu menjawab, ia menanam pohon bukan untuk dirinya, tapi buat generasi sesudahnya.

“Saya juga mau maju menjadi cawapres bukan untuk saya, tapi saya berbuat untuk generasi setelah saya, termasuk generasi milenial,” kata Ma’ruf.

Makalah Ma’ruf dalam acara itu berjudul “Rekonsolidasi Wasathiyah Islam: Promosi Islam “Jalan Ketiga” dan Arus Baru Ekonomi Berkeadilan”, sebagai modifikasi dari judul permintaan RSiS-NTU yang bertema “The Emergency od Wasathiyah Islam: Promoting “Middle-Way” Islam and Sosio-Economic Equality in Indonesia”. Makalah itu menggambarkan Islam moderat adalah paham yang sudah lama dianut mayoritas muslim Indonesia.

Hal itu perlu diperteguh kembali karena tengah menghadapi ancaman ekstremitas kiri dan kanan yang dapat berimbas pada ancaman konsensus nasional dalam bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Peneguhan kembali konsensus nasional itu melalui rekonsolidasi Islam wasathiyah, juga harus ditopang ekonomi berkeadilan sebagai arus baru ekonomi Indonesia. [DAS]