Koran Sulindo – Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn.) Chappy Hakim terkait kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2018 lalu mengungkapkan, perlu adanya Mahkamah Penerbangan dan Dewan Penerbangan. Mahkamah Penerbangan akan menjadi “pengadilan” untuk menindaklanjuti hasil Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Nantinya Mahkamah Penerbangan ini yang akan memberikan sanksi profesi bagi mereka yang lalai dan berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan. Akan halnya Dewan Penerbangan akan memberikan masukan kepada para pengambil keputusan di tingkat strategis.
“Agar kebijakan yang dikeluarkan tidak berpotensi memunculkan masalah-masalah besar di lapangan,” tulis Chappy di akun Twitter-nya, @chappyhakim, pada Ahada sore ini, (4/11).
Masalah-masalah yang dimaksud, lanjutnya, adalah yang berkait dengan faktor kekurangan sumber daya manusia dan juga keterlambatan infrastruktur penerbangan. “Semua itu terlihat atara lain dari padatnya penerbangan di Cengkareng dan Halim serta beberapa bandara lainnya, yang menyebabkan faktor delay terjadi begitu banyak,” katanya lagi.
Menurut Chappy, adalah luar biasa hebat ada sebuah maskapai yang sanggup membeli ratusan pesawat terbang baru dan modern dalam waktu singkat. Sekaligus mampu merekrut begitu banyak pilot, teknisi, awak pesawat, dan tenaga administrasi dalam menjalankan maskapai dengan harga tiket yang murah.
“Dengan itu semua kiranya wajar sekali untuk meninjau ulang tentang aturan, undang-undang, dan kebijakan yang diberlakukan belakangan ini, yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung dengan realitas di lapangan, yang berpotensi untuk terjadinya kecelakaan pesawat terbang,” ujar Chappy.
Mengenai penyebab jatuhnya Lion Air JT-610 yang banyak ditanyakan orang kepada dirinya, Chappy mengatakan tidak tahu. “… dan saya berani jamin tidak ada seorang pun yang tahu penyebabnya sampai dengan KNKT selesai melaksanakan investigasinya,” katanya.
Investigasi itu sendiri akan memakan waktu cukup lama. “Namun, bisa saja orang berspkelulasi/’mengarang’ dengan imajinasinya tentang kemungkinan penyebab kecelakaan tersebut. Mohon maaf, saya tidak memiliki kemampuan analisis tentang penyebab kecelakaan tersebut, karena tidak memiliki cukup data utk melakukannya,” tulis Chappy.
Namun, dengan keterbatasan data yang diperoleh dari Internet dan sumber lain, lanjutnya, akan mudah didapat informasi tentang beberapa hal penting. “Bisa dilihat/dibuat perbandingan, maskapai penerbangan Indonesia dalam 10 atau 15 tahun belakangan ini,” katanya.
Chappy mengungkapkan, Lion Air akan terlihat sebagai sebuah maskapai penerbangan yang harga tiketnya paling murah, rute penerbangannya paling banyak, keluhan (antara lain tentang delay penerbangannya) paling sering, serta angka kecelakaannya juga yang paling banyak.
“Memang ada yang bilang, harga tiket tidak ada hubungannya dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan, akan tetapi dari data yang ada di Indonesia, maskapai yang menjual tiket paling murah terlihat sebagai maskapai yang paling banyak mengalami kecelakaan,” tulisnya.
Tidak saja banyak, tetapi juga ada dua kecelakaan yang sangat spektakuler, yakni tahun 2013, sebuah pesawat terbang baru produk teknologi mutakhir masuk laut dekat Denpasar, Bali. Satu lagi juga pesawat terbang baru supermodern masuk laut di perairan Karawang, tanggal 29 Oktober yang baru lalu.
“Sesuatu yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah penerbangan dunia, sebuah maskapai mengalami hal tersebut. Dari melihat data ini saja, sudah dapat disimpulkan bahwa ada sesuatu yang salah. Itu sebabnya perlu dilakukan penyelidikan yang cermat tentang hal ini,” ungkap Chappy. [PUR]