Ilustrasi: racolblegal.com
Ilustrasi: racolblegal.com

Secara harfiah marital rape adalah pemerkosaan yang dilakukan dalam lingkup sebuah perkawinan, mencakup segala tindakan aktivitas seksual yang dilakukan tanpa persetujuan (consent).

Pemerkosaan ini terjadi karena pemikiran terhadap otoritas tubuh perempuan menikah yang dianggap dimiliki oleh pihak laki-laki atau suami, hal ini menimbulkan akibat ketimpangan relasi kuasa dalam hubungan pernikahan. Ketimpangan seperti ini akan membuat ikatan pernikahan dianggap sama dengan pemberian “consent” yang akan menghilangkan nilai otoritas perempuan terhadap tubuh dan pilihannya.

Pada dasarnya nilai tersebut mengakar dari sistem patriarki yang menganggap tidak ada pemerkosaan dalam sebuah ikatan pernikahan. Menurut komnas perempuan tercatat dalam 2019 diadukan 100 kasus marital rape, dan pada 2020 diadukan 57 kasus.

Komnas perempuan berpendapat pula bahwa menurunnya pengaduan dapat diidentifikasikan karena pertama, catatan kasus tahunan  tergantung dari pengembalian kuesioner dari lembaga penyedia layanan, kepolisian, P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), rumah sakit dan pengadilan. Kedua, jumlah catatan kasus hanya berdasar kasus yang diadukan; Ketiga, dalam konteks pandemi, lembaga layanan korban terbatas kerjanya, dan korban juga terbatas mobilitasnya sehingga menjadi hambatan tersendiri untuk korban mengadukan kasus. Meskipun penurunan terjadi, banyak faktor seperti pengaduan tetapi ini tidak mencerminkan kasus nyata di Indonesia.

Bentuk perlindungan hukum terhadap perempuan dari marital rape baru ada ketika dikeluarkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).  Pada Pasal 1 angka 1 UU PKDRT menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pada Pasal 5 juga menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal adanya pemerkosaan dalam pernikahan. KUHP hanya mengenal pemerkosaan secara umum, yaitu yang dilakukan di luar ikatan pernikahan yang diatur  pada Pasal 285 KUHP sehingga marital rape tidak bisa dikategorikan sebagai tidak pidana pemerkosaan. Akan tetapi, bisa dijerat oleh UU PDKRT sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Negara memiliki tanggung jawab dalam melindungi dan menjamin setiap hak warga negaranya termasuk dalam kasus kekerasan seksual. Sebagai negara dengan tingkat kekerasan seksual yang cukup tinggi kita tidak mempunyai payung hukum yang memadai untuk hal ini.

Proses pembahasan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk menjadi undang-undang merupakan salah satu jalan keluar dengan menciptakan payung hukum untuk mencegah tindak kekerasan seksual termasuk marital rape.

Biarpun begitu, DPR tampaknya tidak menganggap bahwa RUU TPKS sebagai sesuatu yang darurat. Beberapa kali isu ini masuk dalam pembahasan, tetapi selalu berakhir dengan beberapa fraksi menolak dan mempermasalahkan frasa dalam RUU tersebut. Bahkan adanya mispersepsi yang beredar di masyarakat semakin membuat RUU TPKS diposisi yang sulit. Harapan itu juga pupus saat Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR tidak mengagendakan pembahasan RUU TPKS untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR terakhir di 2021.

 [Nova Shyntia]