Perjalanan hidup Marco Kartodikromo merupakan contoh nyata dari semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang tercermin dalam karya jurnalistik dan aktivitas politiknya. Dari awal karirnya yang dimulai di perusahaan kereta api hingga keterlibatannya dalam organisasi Sarekat Islam dan berbagai media perlawanan, Marco tidak hanya menjadi seorang jurnalis, tetapi juga simbol perlawanan bagi rakyat pribumi.
Melalui tulisan-tulisannya, Marco berhasil menginspirasi banyak orang untuk bangkit melawan ketidakadilan, menjadikan pers sebagai alat perjuangan yang sangat efektif dalam menggerakkan kesadaran kolektif. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri lebih dalam perjalanan hidup dan kontribusi Marco Kartodikromo, serta bagaimana ia melalui karya jurnalistiknya mempengaruhi pergerakan nasional Indonesia yang semakin menguat di awal abad ke-20.
Awal Karir Jurnalistik
Dilansir dari laman kemdikbud, Marco Kartodikromo, lahir di Blora pada tahun 1890, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah pergerakan antikolonial Indonesia dan perkembangan jurnalisme pada awal abad ke-20.
Lahir dalam keluarga priayi berpangkat rendah, ayahnya adalah seorang kepala desa, Marco sejak muda sudah menunjukkan semangatnya dalam bekerja. Pada usia 15 tahun, ia mulai bekerja di Nederlandsch Indische Spoorweg (Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda) di Semarang.
Namun pada 1911 ia memutuskan untuk keluar akibat ketidaknyamanan dengan kebijakan rasis yang diterapkan di perusahaan tersebut. Pilihan ini menandai awal perjalanan karir Marco dalam dunia jurnalistik dan pergerakan politik Indonesia.
Setelah meninggalkan pekerjaan di perusahaan kereta api, Marco Kartodikromo pindah ke Bandung dan bergabung dengan surat kabar Medan Prijaji, yang dikelola oleh Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh penting dalam dunia jurnalistik Indonesia.
Di Medan Prijaji, Marco mulai belajar menulis dan bekerja sebagai seorang wartawan. Namun, surat kabar tersebut harus ditutup pada 1912 setelah terjerat masalah hukum. Keputusan ini membawa Marco ke Surakarta, di mana karir jurnalistiknya mulai berkembang lebih pesat.
Dukungan Terhadap Sarekat Islam dan Pengaruhnya di Surakarta
Di Surakarta, Marco Kartodikromo bergabung dengan Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadi pelopor dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Pada 1912, Marco bekerja di surat kabar Sarotomo, yang merupakan media resmi SI Surakarta. Di sinilah ia mulai menulis kritik keras terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda, termasuk mengkritik tokoh-tokoh yang dianggap mendukung kepentingan kolonial, seperti Dr. Rinkes, penasihat bumiputra dari pemerintah kolonial.
Kritikan Marco yang tajam terhadap pemerintahan Belanda menyebabkan Sarotomo beberapa kali mendapat ancaman untuk dihentikan. Namun, Marco tidak gentar dan terus menulis, menjadikan Sarotomo sebagai salah satu wadah perlawanan terhadap penjajahan.
Selain itu, di Surakarta, Marco juga merintis organisasi Inlandsche Journalisten Bond (IJB) pada 1913, yang bertujuan untuk meningkatkan literasi dan memberantas buta huruf di kalangan pribumi. Salah satu produk pertama dari IJB adalah surat kabar Doenia Bergerak, yang terbit pada 1 Januari 1914.
Doenia Bergerak: Media Perlawanan dan Penyebaran Semangat Nasionalisme
Doenia Bergerak menjadi media yang sangat penting dalam pergerakan nasional Indonesia, dengan konten yang tidak hanya berisi berita, tetapi juga opini dan seruan untuk melawan penindasan.
Surat kabar ini mendukung ideologi perlawanan dan mendorong pembaca untuk bangkit melawan penjajahan. Beberapa tokoh penting dalam jurnalisme Indonesia, seperti Darnakoesoemah, redaktur dari De Goentoer, dan R. Ayu Siti Soendari, pemimpin redaktur Wanita Sworo, turut menulis di Doenia Bergerak.
Melalui surat kabar ini, Marco mendapat dukungan dari berbagai kalangan, baik dari kalangan priayi yang mulai tergerak untuk bergabung dengan pergerakan nasional maupun dari pelajar bumiputra yang sedang menuntut ilmu di luar negeri, termasuk di Mesir dan Eropa.
Pada Agustus 1914, Doenia Bergerak sudah tersebar luas, tidak hanya di Surakarta, tetapi juga di berbagai negara seperti Jeddah, Kairo, dan Swiss.
Kerja Sama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Darnakoesoemah
Pada pertengahan 1914, dua tokoh pergerakan besar Indonesia, Tjipto Mangunkusumo dan Darnakoesoemah, pindah ke Surakarta. Kedatangan mereka semakin memperkuat pergerakan nasional yang dipelopori oleh Marco Kartodikromo.
Tjipto, yang juga seorang tokoh pergerakan dan dokter, membantu pergerakan Sarekat Islam di Surakarta dengan memberikan dukungan dalam bidang kesehatan. Marco berharap Tjipto dapat menjadi dokter yang melawan praktik pengobatan yang dilakukan oleh zending Kristen, sekaligus memperkuat posisi SI di Surakarta.
Sementara itu, Darnakoesoemah, yang sebelumnya menjadi bagian dari De Goentoer di Bandung, juga membantu menghidupkan kembali Doenia Bergerak, yang pada akhirnya berganti nama menjadi Goentoer Bergerak.
Darnakoesoemah turut menyumbangkan ide-ide progresif dalam jurnalisme dan memfasilitasi pencetakan surat kabar tersebut di Drukkerij Insulinde, sebuah percetakan yang terletak di Bandung.
Pengaruh dan Legasi Marco Kartodikromo dalam Pergerakan Nasional
Kerja sama antara Marco, Tjipto, dan Darnakoesoemah membawa dampak signifikan bagi pergerakan nasional Indonesia. Surakarta menjadi pusat aktivitas jurnalistik dan politik yang menginspirasi banyak tokoh lainnya, termasuk Haji Samanhudi dan Raden Marthodarsono.
Meskipun pada akhirnya rencana penggabungan beberapa surat kabar di Surakarta tidak terlaksana, dampak dari ide-ide yang dikembangkan oleh Marco dan rekan-rekannya sangat besar bagi perkembangan jurnalisme perlawanan di Indonesia.
Pada tahun 1914, meskipun menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial, Marco tetap setia pada komitmennya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui tulisan dan organisasi.
Pemikiran dan perjuangan Marco Kartodikromo mencerminkan semangat perlawanan terhadap penjajahan dan usaha untuk membangun kesadaran politik di kalangan pribumi Indonesia.
Marco Kartodikromo, melalui karya jurnalistiknya, tidak hanya memperkenalkan jurnalisme sebagai alat perjuangan, tetapi juga menunjukkan pentingnya persatuan di antara kaum pribumi untuk melawan ketidakadilan kolonial. Legasi yang ditinggalkannya tetap hidup dalam gerakan perlawanan Indonesia yang semakin menguat menuju kemerdekaan. [UN]