Ilustrasi: Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Trimedya Panjaitan (tengah) menyerahkan buku "Catatan Hukum Akhir Tahun PDIP 2018" kepada Ketua Setara Institute Hendardi (kiri) disaksikan guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Eddy OS Hiariej, Jakarta, Kamis (20/12/2018)/Istimewa

Koran Sulindo – Maraknya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap para kepala daerah pada 2018 menjadi salah satu catatan hukum akhir tahun DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ketua DPP PDI Perjuangan bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Trimedya Panjaitan menyoroti sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang berbiaya mahal sebagai salah satu faktor maraknya korupsi oleh kepala daerah.

“Di kampung saya, Tobasa (Toba Samosir, red) orang mau menjadi bupati itu setidaknya butuh Rp 30 miliar. Sementara, gaji bupati itu antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta dan tunjangan serta dana taktis antara Rp 50 juta sampai Rp 70 juta per bulan. Bagaimana dia membayar pengeluaran Rp 50 miliar?” tanya Trimedya, dalam peluncuran buku “Catatan Hukum Akhir Tahun 2018” di Jakarta, Kamis (20/12/2018).

Turut hadir Ketua Setara Institute Hendardi dan guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Eddy OS Hiariej.

Diakhir tahun ini, Trimedya mengajak seluruh pihak untuk berefleksi, apakah sistem pemilu langsung berbiaya mahal yang sudah dilakukan selama ini sudah tepat atau tidak. Juga meninjau ulang sistem pemilihan calon anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka.

“Apakah perlu dipertimbangkan kembali pemilihan kepala daerah lewat anggota Dewan?” ujarnya.

PDI Perjuangan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi yang dibuktikan dengan pemecatan seketika oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri terhadap kader yang terjerat korupsi.

“Ibu Megawati selalu mengingatkan, survei-survei sekarang (yang memenangkan PDIP) tidak akanada gunanya kalau banyak kader partai yang terkena OTT KPK,” ujarnya.

Wakil ketua  Komisi Hukum DPR RI itu meminta Polri dan Kejaksaan bersinergi dengan KPK dalam pemberantasan korupsi.

“Kinerja kejaksaan dari sejak Jaksa Agung M Prasetyo dilantik tidak ada peningkatan yang luar biasa. Kepolisian justru ada perbaikan di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian. Sekarang banyak orang kecewa tidak bisa menitipkan anak dan saudaranya masuk polisi. Itu baik,” katanya.

Meski sejumlah kepala daerah asal PDI Perjuangan terkena OTT KPK, Trimedya tetap mengapresiasi kinerja KPK. Namun ia mengingatkan agar KPK tidak hanya gencar dalam penindakan, tetapi juga terus melakukan upaya pencegahan dengan cara memberikan sosialisasi dan pendidikan antikorupsi kepada kader-kader partai politik.

Pada musim kampanye saat ini, Trimedya berharap Polri bersama TNI bisa terus bersinergi menjaga keamanan.

“Terutama pada masa-masa krusial nanti, yakni pada Februari sampai April,” kata Trimedya.

Menurut Trimedya, hiruk pikuk politik belakangan ini tidak terlepas dari masa kampanye pemilu yang panjang, yakni 7 bulan. Seharusnya, masa kampanye itu cukup 2 bulan. Selain biaya yang besar, peluang terjadi disabilitas keamanan juga semakin besar.

Tidak Memihak

Sementara itu, Hendardi mengatakan, kepala daerah asal PDI Perjuangan yang banyak terkena OTT KPK sepanjang 2018 adalah bukti bahwa sebagai partai penguasa, partai berlambang moncong putih sama sekali tidak menunjukkan pemihakan.

“Perbuatan korupsi adalah tindakan individual yang tidak bisa digeneralisasi untuk mengukur kinerja parpol dalam pemberantasan korupsi,” katanya.

Menurut Hendardi, komitmen partai terhadap pemberantasan korupsi bisa dilihat dari penyikapan parpol sebagai institusi atas kader yang terjerat kasus korupsi.

“Ada partai yang mempertahankan posisi yang sedang diduduki kadernya meski telah ditetapkan tersangka. Ada pula yang mengulur pergantian. Tetapi, ada juga partai yang langsung mengambil tindakan pemecatan terhadap kadernya,” kata Hendardi.

Setara Institute bekerja sama dengan PTIK/STIK saat ini sedang melakukan survei soal pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, dan pemilu presiden. Sebelumnya, Setara Institute bekerja sama dengan Litbang Kompas juga melakukan survei dengan tema yang relatif sama.

“Hasilnya banyak kegalauan yang terjadi dengan sistem politik saat ini,” kata Hendardi.

Salah satu kegalauan yang diketahui masyarakat adalah banyaknya kepala daerah yang terjaring OTT oleh KPK atas dugaan kasus korupsi.

Dalam catatan Setara Institute ada sebanyak 21 kepala daerah yang terjaring OTT sepanjang 2018. Dari 21 kepala daerah tersebut, meliputi tujuh dari PDIP, lima dari PG, dua dari Gerindra, dua dari PAN, dua dari PD, serta masing-masing seorang dari Partai Berkarya, Partai Aceh, dan PKB.

Sedangkan, Hiariej memaparkan hampir 80% OTT KPK terhadap kepala daerah berkaitan dengan perizinan, pengisian jabatan, serta pencairan anggaran dan pendapatan belanja negara.

“Dalam studi kejahatan, korupsi yang demikian dikualifikasikan sebagai discretionery corruption atau korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan,” kata Hiariej. [CHA/DAS]