Wartawan kawakan, Mochtar Lubis melahirkan karya besar, Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab), buku yang ditulis berdasarkan ceramah di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977.
Buku Mochtar mengulas enam ciri manusia Indonesia (juga beberapa ciri tambahan) yang membuat senyum kita lebar karena orang seperti itu sekarang masih banyak. Walaupun kita nyebelin, Pak Mochtar memuji kita sebagai bangsa yang artistik alias nyeni.
Buku Manusia Indonesia (MI) kontroversial karena banyak yang senang menikmatinya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Saking gemparnya isi buku itu, entah berapa banyak tanggapan disampaikan, berapa kali diskusi diadakan, sampai akhirnya Pak Mochtar terpaksa menulis sebuah Tanggapan atas Tanggapan.
ak sedikit yang marah dan juga yang bersikap “buruk rupa cermin
dibelah” karena merasa dirinya yang dijadikan sasaran kelemahan. Pak Mochtar dinyatakan tak layak masuk daftar penerima bintang Mahaputra pemberian Pak Harto.
Mau tahu ciri-ciri kita? Namun, sebelum membaca, Anda sebaiknya tahan napas dan kalau perlu tutup mata karena sangat tak enak ketika mengetahuinya.
Ciri kesatu: munafik, yang oleh Pak Mochtar ditulis dengan huruf-
huruf kapital-mungkin saking sebalnya dia. Contoh yang masih relevan di masa kini di bidang hukum ialah “lain mulut lain di hati” alias “lain tuntutannya lain vonisnya”.
Jika berbicara soal penegakan hukum, mulut kita bisa sampai
berbusa-busa. Katanya hukum harus dijunjung tinggi, kenyataannya pengadilan bisa pilih kasih. Pengadilan mirip warung yang menjadi tempat jual-beli.
Ciri kedua: enggan bertanggung jawab. Lihatlah orang-orang yang korupsi, mulai dari yang mengembalikan uang sampai yang bersumpah dengan membawa-bawa nama Tuhan.
Ciri ketiga: feodal. Menurut buku MI, sepasang telinga pemimpin
kita biasanya tipis dan cepat berubah menjadi merah jika dikritik
kepemimpinannya. Pak Mochtar pernah memimpin harian Indonesia Raya, yang akhirnya diberedel karena mengungkap megakorupsi di Pertamina.
Ciri keempat: masih percaya takhayul dan jago bikin perlambang
tanpa makna. Setan, jin, genderuwo, banyak sekali di stasiun-stasiun televisi dan ditayangkan sampai berseri-seri.
Perlambang kosong sudah ada sejak dulu sampai sekarang. Anda
pasti pernah mendengar slogan “Panca Azimat Revolusi” bikinan Bung Karno atau teori “Manusia Pancasilais Seutuhnya” buatan Pak Harto.
Ciri kelima: artistik. “Bagi saya ciri artistik ini yang paling memesonakan, merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan,” tulis Pak Mochtar:
Ciri keenam: punya watak yang lemah sehingga mudah dipaksa
berubah keyakinannya demi kelangsungan hidup. Ditekan Amerika Serikat, direweli Australia, ya manut saja.
Ciri negatif manusia Indonesia lain versi Pak Mochtar banyak,
membuat kita makin tak betah. Namun, ternyata Pak Mochtar benar, apa adanya.
Sebagai penerus generasi Angkatan ’45, boleh kan menambah ciri-ciri lagi? Ciri-ciri tambahan ini diambil dari sekadar pengamatan yang jauh dari matang.
Ciri kesatu: senang nostalgia. Ternyata hidup lebih enak di masa
Orde Baru ketimbang sekarang di era Orde Reformasi.
Namun, kok kita lebih demokratis di masa Orde Lama dibandingkan dengan Orde Baru? Akan tetapi, nasib kita ternyata lebih sejahtera di “zaman normal” waktu Belanda berkuasa daripada di era Orde Lama.
Ciri kedua: cepat marah. Dipanasi nasionalismenya dalam konflik dengan Malaysia, langsung naik darah.
Ciri ketiga: tukang lego. Saya salah satu di antaranya.
Waktu kecil sering melego buku tulis bekas untuk membeli kerupuk.
Saat mahasiswa melego jins untuk membeli siomay.
Saat sudah pintar mencari dan mengumpulkan duit, harga diri saya lego demi kekuasaan. Saat berkuasa, semua kekayaan milik bangsa saya lego sekalian.
Apakah ada yang mau menyampaikan ciri-ciri tambahan? Silakan.