Koran Sulindo – Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono 6 tahun penjara.
Selain pidana penjara, keduanya juga dikenakan denda Rp500 juta subsider 3 bulan karena terbukti menerima suap sejumlah Rp35,726 miliar serta gratifikasi dari sejumlah pihak sebesar Rp13,787 miliar.
“Mengadili, menyatakan terdakwa menyatakan terdakwa I Nurhadi dan terdakwa II Rezky Herbiyono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, berkali-kali, dan terus-menerus. Menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan,” kata ketua majelis hakim Saifuddin Zuhri , Rabu (10/3).
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Nurhadi divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan menantunya, Rezky Herbiyono, dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Sementara, Nurhadi dan Rezky tidak diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp83,013 miliar subsider 2 tahun penjara sebagaimana tuntutan JPU.
“Uang yang diterima terdakwa II adalah uang pribadi yang bukan uang negara sehingga majelis berkesimpulan tidak ada kerugian negara sehingga majelis hakim berpendirian kepada para terdakwa tidak dijatuhi hukuman tambahan sebagaimana tuntutan penuntut umum,” kata anggota majelis hakim Sukartono.
Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama alternatif kedua dan dakwaan kedua, yaitu Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) ke-1 KUHP.
“Hal-hal yang memberatkan para terdakwa tidak mengakui perbuatan secara terus terang, perbuatan para terdakwa tidak mendukung semangat pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, perbuatan terdakwa merusak nama baik MA RI dan lembaga peradilan di bawahnya,” ungkap hakim Sukartono.
Majelis hakim yang terdiri atas Saifuddin Zuhri, Duta Baskara, dan Sukartono juga mempertimbangkan sejumlah hal yang meringankan.
“Para terdakwa belum pernah dihukum, para terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, terdakwa 1 Nurhadi berjasa pada pengembangan kemajuan MA,” kata hakim Sukartono.
Dalam dakwaan pertama, majelis hakim menilai Nurhadi dan Rezky hanya terbukti menerima suap senilai Rp35,726 miliar dari Hiendra Soenjoto terkait dengan pengurusan dua gugatan.
Uang suap tersebut berbeda dengan tuntutan JPU KPK yang menyatakan keduanya menerima suap sejumlah Rp45,726 miliar dari Hiendra Soenjoto.
Suap tersebut diberikan terkait dengan gugatan PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) mengenai perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Gugatan kedua adalah gugatatan Hiendra Soenjto melawan Azhar Umar.
Untuk pengurusan kedua perkara tersebut, Nurhadi dan Rezky telah menerima uang dari Hiendra melalui sejumlah rekening pada periode 2 Juli 2015—5 Februari 2016 namun ada uang yang dikembalikan Rezky sejumlah Rp10 miliar.
“Karena upaya hukum PK yang diajukan PT MIT ditolak MA sesuai dengan putusan PK tanggal 18 Juni 2015, Hiendra Soenjoto meminta terdakwa II dengan mengirimkan somasi agar uangnya dikembalikan. Namun, karena uang yang diterima terdakwa II telah dipakai, diganti dengan sertifikat kebun kelapa sawit di Padang Lawas Sumut sebanyak 11 sertifikat pada tahap pertama,” kata anggota majelis hakim Duta Baskara.
Menurut hakim, Hiendra Soenjoto lalu mengagunkan sertifikat tersebut senilai Rp10 miliar.
“Bahwa uang suap dari Hiendra Soenjoto sejumlah Rp35,726 miliar terdakwa II telah menyatakan status mertuanya, yaitu terdakwa I Nurhadi selaku Sekretaris MA dan pemanfaatan jabatan oleh terdakwa II tersebut di antaranya terdakwa II menyampaikan ke Iwan Cendekia Liman bahwa PT MIT sedang dihandle oleh terdakwa I dan dipastikan aman,” tambah hakim Duta.
Dalam dakwaan kedua, Nurhadi bersama-sama dengan Rezky juga dinilai terbukti menerima gratifikasi sejumlah Rp13,787 miliar. Gratifikasi yang terbukti tersebut berbeda dengan tuntutan JPU KPK yang menyatakan keduanya menerima sebesar Rp37,287 miliar.
Menurut hakim, Nurhadi dan Rezky terbukti menerima gratifikasi dari empat pihak, yaitu pertama, Handoko Sutjitro pada tahun 2014 melalui rekening Rezky Herbiyono pada tanggal 20 Oktober 2014 sebesar Rp600 juta dan rekening Soepriyo Waskito Adi pada tanggal 23 Oktober 2014 sebesar Rp600 juta dan pada tanggal 3 November 2014 sebesar Rp1,2 miliar sehingga totalnya Rp2,4 miliar.
Handoko memberikan uang tersebut untuk pengurusan perkara No 264/Pdt.P/2015/PN SBY dan perkara itu dimenangkan Handoko.
Kedua, penerimaan dari Renny Susetyo Wardhani pada tahun 2015 yang diberikan melalui rekening atas nama Rezky Herbiyono pada tanggal 13 Mei 2015 sebesar Rp500 juta, 11 Agustus 2015 sebesar Rp700 juta, 5 Juni 2015 sebesar Rp1 miliar, dan 10 Juli 2015 sebesar Rp500 juta sehingga totalnya mencapai Rp2,7 miliar
Renny menyerahkan uang itu untuk pengurusan perkara Peninjauan Kembali No.368PK/Pdt/2015
Ketiga, penerimaan dari Direktur PT Multi Bangun Sarana Donny Gunawan pada tahun 2015 melalui rekening Rezky pada tanggal 4 November 2015 sebesar Rp2,5 miliar, rekening Calvin Pratama pada tanggal 4 Februari 2016 sebesar Rp1 miliar, rekening Yoga Dwi Hartiar pada tanggal 17 Maret 2016 sebesar Rp500 juta dan pada 31 Maret 2016 sebesar Rp3 miliar sehingga totalnya mencapai Rp7 miliar.
Donny Gunawan memberikan uang itu untuk pengurusan perkara di PN Surabaya No.100/Pdt.G/2014/PN.SBY dan Pengadilan Tinggi Surabaya No723/Pdt./2014/PT.Sby serta MA No 3220 K/PDT/2015.
Kempat, penerimaan dari Riadi Waluyo pada tanggal 20 April 2016 melalui rekening atas nama Calvin Pratama pada tanggal 19 Maret 2015 sebesar Rp1,687 miliar untuk pengurusan perkara di Pengadilan Negeri Denpasar No 710/Pdt.G/2015/Pn.Dps.
Terhadap putusan tersebut, Nurhadi dan Rezky menyatakan pikir-pikir selama 7 hari, sedangkan JPU KPK menyatakan banding. “Kami menyatakan banding,” kata JPU KPK Wawan Yunarwanto. [Wis]