Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi pada 2004. KPK menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun, dan merugikan negara Rp3,7 triliun.
“Tersangka SAT selaku Ketua BPPN periode 2002 – 2004 diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/SKL kepada Sjamsul Nursalim,” kata juru bicara KPK, Febri diansyah, dalam rilis, seperti dikutip situs kpk.go.id.
Dalam kasus ini negara diduga mengalami kerugian sekurang-kurangnya Rp 3,7 triliun.
“Sjamsul Nursalim saat itu adalah pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI),” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK RI, Jakarta, Selasa (25/4), seperti dikutip antaranews.com.
Penyelidikan kasus tersebut dimulai sejak 2014 dengan meminta keterangan sejumlah pihak sehingga KPK dapat yakin bahwa perkara itu merugikan keuangan negara.
Setelah melakukan pengumpulan informasi dan data serta penyelidikan, kemudian meminta keterangan dari beberapa pihak, terpenuhi dua alat bukti yang cukup.
KPK juga sudah melakukan gelar perkara (ekspose) dan penyidik sudah menyepakati meningkatkan perkara ini ke tingkat penyidikan.
Syafruddin selaku ketua BPPN diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara, dalam perkara ini.Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun.
Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
TPPU
KPK akan menggunakan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai Tindak Pidana oleh Korporasi.
Penerapan itu aakan digunakan juga dalam penyidikan kasus dugaan korupsi oleh mantan Kepala BPPN Syafruddin.
“Cara asset recovery akan dilakukan adalah dengan menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga sudah diatur dalam Perma Korporasi bagaimana menerapkan tindak pidana ke perusahaannya, “ kata Basaria.
Saat itu Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.
“Ke manapun alur akan dicari, bukan hanya di Indonesia saja tapi juga di negara lain juga ada,” katanya.
Penerbitan SKL itu bukanlah suatu perbuatan tindak pidana korupsi karena merupakan suatu kebijakan pemerintah. Tapi berubah menjadi korupsi ketika saat berjalannya kebijakan ada orang yang mengambil manfaatnya untuk diri sendiri atau kelompok atau suatu korporasi.
“Kebijakan itu menjadi tindak pidana korupsi apabila di dalam proses berjalannya kebijakan tersebut ada sesuatu manfaat yang diambil, diperoleh orang yang mengambil kebijakan tersebut untuk kelompoknya atau diri sendiri atau orang lain,” katanya.
Saat ini KPK fokus kepada Syafruddin karena harusnya ada Rp4,8 triliun yang dikembalikan tapi hanya Rp1,1 triliun yang diambilalih sehingga merugikan negara Rp3,7 triliun.
“Seharusnya Rp4,8 triliun itu dilunasi dulu baru dikeluarkan SKL. Dengan dasar SKL ini maka dibuatkan SP3 oleh penyidik di Kejaksaan,” kata Basaria.
Syafruddin juga menjadi tersangka di Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi “cessie” oleh BPPN kepada Victoria Securities International Corporation. Kasus tersebut terkait dengan pembelian hak tagih (cessie) PT Adyaesta Ciptatama (AC) oleh PT Victoria Securities International (VSI) Corporation dari BPPN pada 2003 yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp420 miliar.
Latar Belakang
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian Indonesia dengan IMF.
BI mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun, penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.
Dalam kasus dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Akan tetapi, Kejaksaan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden RI Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Dalam penyelidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sejumlah pejabat pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004, yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001 s.d. 2004 Laksamana Sukardi, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000 s.d. 2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998 s.d. 1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999 s.d. 2000 dan Kepala Bappenas 2001 s.d. 2004 Kwik Kian Gie. [DAS]