Ilustrasi: Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Purn) TNI Budiman/CHA

Koran Sulindo – Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal (Purn) TNI Budiman menyatakan bahwa nasionalisme Proklamator RI, Bung Karno, tak usah dipertanyakan. Ia pun membantah tuduhan bahwa Bung Karno adalah pengkhianat negara seperti oleh rezim Soeharto.

“Tidak mungkin beliau pengkhianat. Beliau mencanangkan Pancasila,” kata Budiman dalam diskusi bertajuk “Konsolidasi Kekuatan Islam, Nasionalis dan TNI/Pori dalam mengawal Negara Pancasila” yang digelar PA GMNI, Jumat (21/6/2019) malam.

Acara itu digelar PA GMNI dalam rangka tahlilan haul Bung Karno.

Buktinya, kata Budiman, Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono atas nama bangsa dan negara mengganjar gelar pahlawan nasional kepada Soekarno. Pernyataan itu setelah Ketua Umum PA GMNI Ahmad Basarah bercerita soal bagaimana Bung Karno mendapat tuduhan keji sebagai pengkhianat karena dianggap mendukung pemberontakan PKI pada 1965. Tuduhan itu tak pernah dicabut dan berimbas hingga seorang Jokowi dituduh ‘PKI’ dan ‘Komunis’ hanya karena menjadi kader PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, putri sulung Soekarno.

Budiman juga mengungkapkan, adanya pihak yang ingin merongrong Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa. Ancaman itu tak terlihat, tetapi menurut Budiman, TNI-Polri pasti akan melawannya.

“Percayalah TNI dalam Sapta Marga, sumpah prajurit itu menyatakan kesetiaan kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Itu merupakan pegangan pokok yang harus dipertahankan setiap prajurit TNI baik udara, darat dan laut dan polisi dengan Tribratanya,” kata Budiman.

Dalam acara diskusi ini, hadir juga Alumni GMNI Andreas Hugo Pereira dan pengamat pertahanan dan militer Reza Haryadi.

Sementara itu Ketua Umum Syarikat Islam Hamdan Zoelva, yang juga menjadi pembicara, menyatakan Proklamator RI Soekarno dinilai sosok yang memahami secara substansi baik aspek nasionalis dan Islam. Dua dasar pemahaman itu bahkan mengantarkan Presiden RI Pertama itu sebagai pemimpin yang lengkap dalam menyusun pondasi bernegara.

Hamdan menceritakan, pertama kali Soekarno digembleng tentang keislaman lewat Oemar Said Tjokroaminoto. Saat itu, Soekarno tinggal bersama dengan Tjokroaminoto selama lima tahun di Surabaya.

Tjokroaminoto bahkan menulis sebuah buku yang bersifat sosialisme Islam yang menjadi rujukan Soekarno. Sebab, para pendiri bangsa tidak menyukai imperialisme dan kapitalisme. Namun, Hamdan mengingatkan bahwa sosialisme Islam sangat berbeda dengan sosialis Marxisme.

“Tapi sosialisme berketuhanan. Inilah cikal bakal yang melahirkan Pancasila,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Soekarno, kata Hamdan, lebih mendalami Islam saat berada di pengasingan selama tiga tahun di Ende, Nusa Tenggara Timur, Soekarno lebih banyak membaca literasi tentang Islam.

“Bacaannya hanya buku-buku Islam. Hanya hadis yang sahih riyawat Bukhari dan Muslim,” kata Hamdan.

Ia melanjutkan, di situlah Soekarno menyadari bahwa penerapan Islam oleh masyarakat Indonesia masih dangkal. Soekarno menyebutnya dengan abu Islam. Yaitu sebatas memahami praktiknya dengan kemenyan, serban dan jenggot.

Setelah pengasingan di Ende, Soekarno kemudian dilarikan ke Bengkulu yang akhirnya bertemu dengan Fatmawati. Di Bengkulu, kata Hamdan, Soekarno bergabung dengan Muhammadiyah dan sangat aktif di organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan.

Saat aktif di Muhammadiyah, Soekarno pernah protes dengan keras karena melihat tabir atau tirai penyekat yang membatasi shaf laki-laki dengan perempuan. Berdasarkan penilaian Soekarno, kata Hamdan, hal itu ibarat abu Islam yang sebenarnya tidak penting menurut ajaran Islam.

“Tidak perlu tabir, itu betapa Bung Karno mengerti Islam dan substansinya,” kata Hamdan. [CHA/DAS]