Manongkah: Selancar Lumpur ala Suku Laut Duanu

Manongkah, selancar lumpur yang digemari anak muda hingga orang tua

Koran SulindoBerselancar biasanya dilakukan di atas ombak yang tinggi ketika air laut mencapai pantai. Dengan menggunakan sebilah papan sebagai alat untuk bermanuver, adrenalin seorang peselancar akan terpacu untuk mengarahkan papan selancar mengikuti arus ombak sekaligus menjaga keseimbangan agar tidak jatuh ke laut.

Tapi apa jadinya jika berselancar di atas lumpur sambil mencari kerang? Itulah tradisi masyarakat suku laut Indragiri Hilir, Riau yang juga dikenal dengan Suku Duanu yang memiliki tradisi unik dan bertahan hingga kini, yakni manongkah.

Tongkah memiliki arti papan untuk tumpuan atau titian yang biasanya dipasang pada tempat becek dan basah (lumpur). Di komunitas suku Duanu, yang bermukim di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Tanah Merah dan Concong, tongkah menjadi salah satu alat bantu yang cukup unik ketika mencari kerang darah (Anadara Granosa) di pantai atau sungai yang berlumpur.

Dalam dialek Duanu tongkah disebut tiangan. Aktifitas tersebut kemudian dinamakan Menongkah atau Manongkah, yang dalam bahasa Duanu disebut Mut tiangan, atau Mud Ski: Ski Lumpur. Bermain manongkah pun menjadi kebiasaan Suku Duanu yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Baca juga: Periri Sesamungan: Tari Perdamaian dari Pulau Lombok

Dengan menggunakan sebidang papan, salah satu kaki bertumpu sebagai penyeimbang di atas papan dan satu kaki lainnya menjadi pengayuh di lumpur. Dahulu, ketika kayu besar masih mudah didapat, tongkah adalah sebentuk papan yang tidak bersambung.

Tetapi sekarang sudah banyak pula tongkah dari gabungan papan. Tongkah rata-rata memiliki panjang 2 meter sampai dengan 2,5 meter. Sementara lebarnya antara 50 cm sampai 80 cm, dan ketebalan 3 cm sampai 5 cm.

Gerak tongkah dipengaruhi lentik papan. Sebab tak jarang pula tongkah menancap ke dalam lumpur. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat tongkah adalah Pulai dan Jelutung. Kedua ujung tongkah berbentuk lonjong atau lancip serta melentik ke atas, hal ini dimaksudkan agar pergerakannya dapat lancar karena bila kurang melentik, seringkali tongkah menghujam atau menancap ke dalam lumpur. Bentuk tongkah secara umum seperti papan selancar yang sering digunakan oleh peselancar.

Aktivitas manongkah biasanya dilakukan pada saat air sungai/ laut Indragiri Hilir sedang surut. Dalam sebulan, menongkah kerang hanya bisa dilakukan sekitar 20 kali. Biasanya waktu manongkah antara pukul 04.00 sampai 14.00 WIB. Permukaan pantai penuh dengan lumpur saat air surut. Saat itulah warga manongkah mencari kerang.

Anak-anak memainkan manongkah dengan riang gembira. (Foto: @tripriau)

Menurut masyarakat Duanu, ada sekitar 17 lokasi pengambilan kerang. Ribuan hektare lautan lumpur di Sungai Bidari, Sungai Besar, Sungai Kecil, Sungai Beruang, Sungai Bukit, Desa Sungai Laut, Sungai Gamak Kecil, Sungai Gamak Besar, Sungai Temiang Kecil, Sungai Temiang Besar, Sungai Menteli, Sungai Lada, Sungai Barogong, Sungai Keramat dan Desa Sungai Buluh yang bermuara ke laut itulah, tempat Orang Suku Laut mencari kehidupan.

Aktivitas manongkah yang dilakukan masyarakat tergantung kondisi pasang dan surutnya air. Jika kegiatan manongkah dilakukan malam hari, tentu masyarakat harus menyiapkan alat penerangan untuk dapat mengambil kerang. Selain menggunakan penerangan dari lampu yang sangat sederhana seperti pelita dan sebagainya, ada juga masyarakat yang menggunakan lampu neon atau senter.

Kerang-kerang akan memancarkan sinarnya saat diterpa cahaya lampu dan cahaya yang terpancar itu menandakan lokasi kerang. Dalam waktu sekejap pula, tangan-tangan penongkah meraba dan mengambil kerang yang telah nampak di depan mata.

Pada tahun 2008 lalu, manongkah massal yang dilakukan komunitas Suku Duano mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan kategori Manongkah Massal yang melibatkan 388 peserta.

Baca juga: Kebersahajaannya URANG KANEKES

Menurut Ketua Suku Duanu, Sarpan Firmansyah, tradisi manongkah sudah ada di perkampungan suku laut Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir sejak tahun 1685. Dari sinilah berawal munculnya turunan manongkah seperti selancar atau surfing yang kali pertama diadakan di Hawai pada tahun 1767 dan terus berkembang ke skateboard pada tahun 1940 di Amerika Serikat.

Pada tahun 2016, Kabupaten Indragiri Hilir Riau mengadakan Festival Kebudayaan Menongkah dan menorehkan kembali rekor MURI dengan Mandi Lumpur Massal di atas Tongkah dengan 147 peserta. Pada 2017, Manongkah telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dan pada 2018, Kabupaten Inhil kembali mengadakan Festival Menongkah Heritage dengan berbagai lomba di antaranya lomba pacu tongkah, lomba merapah atau lomba lari di atas lumpur, dan perlombaan tradisi lainnya.

Penyerahan sertifikat WBTB Kemendikbud RI yang menetapkan Manongkah juga diserahkan kepada tujuh kepala desa di Pantai Bidari, Kuala Enok, Kecamatan Tanah Merah pada Agustus 2018 lalu. [GAB]