Koran Sulindo – Sosoknya selalu tampil menonjol saat PDI Perjuangan menggelar kegiatan besar– Kongres dan Rapat Kerja Nasional—maupun acara-acara rutin, seperti peringatan ulang tahun PDI Perjuangan dan peringatan hari-hari besar agama. Nyaris tak ada mata acara yang tidak terpantau olehnya.
Tapi, kini sosok Mangara Monang Siahaan itu tidak akan terlihat lagi. PDI Perjuangan kehilangan salah seorang kader terbaiknya. Di keheningan subuh, Jum’at, 3 Juni 2016, Mangara mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Siloam T.B. Simatupang, Jakarta Selatan.
Setelah cukup lama bertarung melawan penyakit myelodysplastic syndrome atau sindrom mielodisplasia, penyakit di mana adanya kelainan darah dan sumsum tulang belakang, Mangara Siahaan akhirnya kalah.
Mangara Siahaan lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 19 April 1947. Sebagaimana tipikal “anak Siantar” karakternya keras dan konsisten. Ketika remaja di Jakarta, ia sempat menjalani kehidupan sebagai preman di sekitar kawasan Blok M, sambil kuliah di Fakultas Hukum UI. Tapi, Mangara tak menyelesaikan bangku kuliahnya.
Ia kemudian menjadi wartawan olahraga Harian Sinar Pagi, di awal tahun 1970-an. Profesi wartawan inipun tidak lama ditekuninya. Garis tangan kemudian membawanya ke dunia film. Sepanjang 1970-an hingga pertengahan 1980-an, Mangara membintangi puluhan film layar lebar. Salah satu yang cukup populer adalah Binalnya Anak Muda, yang dibintanginya bersama Yenny Rachman.
Ketika pertengahan 1980-an Megawati Soekarnoputri memutuskan terjun ke dunia politik-praktis, dengan masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Mangara Siahaan merupakan salah seorang terdekatnya. Kemanapun Megawati pergi, Mangara hampir selalu “mengawal” putri Bung Karno tersebut. Mangara berkeyakinan masuknya Megawati ke kandang banteng bukanlah tanpa agenda politik. “Sejak awal saya sudah yakin bahwa Bu Mega sudah punya agenda politik, bukan asal masuk saja,” tegas Mangara.
Keyakinan Mangara Siahaan itu bertambah kuat saat ia mendampingi Megawati dalam sebuah pertemuan dengan para sesepuh kaum nasionalis, tak lama setelah Megawati memutuskan masuk PDI. “Pertemuan itu berlangsung di rumah Bu Supeni. Bu Mega hanya ditemani saya,” kenang Mangara, dalam sebuah wawancara beberapa tahun lalu.
Alkisah, di awal pertemuan yang dihadiri puluhan sesepuh nasionalis itu Megawati bertanya: “Ada apa saya dipanggil Om-om dan Tante-tante?” Suasana hening sejenak. Lalu Bu Supeni menjelaskan bahwa mereka ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Megawati. Dan untuk itu, mereka sudah sepakat menunjuk Manai Sophiaan sebagai juru bicara. Sejenak kemudian, Manai Sophiaan mengajukan pertanyaan: “Anak kami mau kemana, kok masuk PDI?”
Mendengar pertanyaan itu, Megawati dengan tenang menjawab sambil tersenyum: “Aku naar (menuju) Merdeka Utara”. Mendengar jawaban itu, suasana langsung hening, hanya terdengar suara isak tangis para sesepuh nasionalis. Mereka langsung paham dan terharu mendengar tekad Megawati tersebut. “Peristiwa itu berlangsung hanya beberapa menit. Setelah itu, tak ada lagi pertanyaan. Acara dilanjutkan dengan silaturahim dan makan-makan,” tutur Mangara, yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut.
Dalam kampanye Pemilu 1987, PDI mulai melibatkan Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra sebagai juru kampanye. Keterlibatan putra-putri Bung Karno itu menjadi faktor utama keberhasilan kampanye PDI. Selain itu, figur Bung Karno juga dimunculkan sebagai simbol. Poster-poster atau gambar Bung Karno seringkali tampil di setiap kampanye, terutama di kota-kota besar. Bahkan dalam dua kampanye PDI putaran terakhir di Jakarta, gambar-gambar Bung Karno seakan mendominasi atribut yang ditampilkan para pendukung dan simpatisan partai.
Strategi melibatkan putra-putri Bung Karno itu terbukti jitu. Perolehan suara PDI pada Pemilu 1987 menanjak signifikan. Dari seluruh jumlah suara yang sah (85.809.816), PDI memperoleh 9.324.708 suara atau 10,87 persen. Perolehan itu setara dengan 40 kursi di DPR, dari 400 kursi di parlemen. Dengan demikian, berarti naik 16 kursi dibanding Pemilu 1982 yang hanya meraih 24 kursi di DPR. Secara garis besar, dibandingkan Pemilu 1982, PDI mengalami kenaikan perolehan suara di 22 provinsi (dari 27 provinsi yang ada saat itu). Di masa itu PDI dinilai cukup berhasil melakukan konsolidasi internal.
Mangara juga merupakan tim inti saat Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PDI dalam Kongres Luar Biasa (KLB), Desember 1993. Dalam tim sukses yang diketuai langsung oleh Taufiq Kiemas, juga terlibat Panda Nababan, Gusti Basan, dan Sophan Sophiaan. Di akhir KLB tersebut Megawati terpilih secara de facto sebagai ketua umum PDI.
Ketika PDI mengalami pergulatan keras melawan kekuasaan rezim Orde Baru, Mangara juga berada persis ditengah pusaran. Ia tetap setia mendampingi Megawati melewati “badai politik“ hingga munculnya era reformasi. Mangara pula salah seorang eksponen pertama PDI Perjuangan ketika dibentuk di tahun 1998. Dalam jajaran Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan (periode 1998-2003) namanya tercatat sebagai Wakil Sekjen. Posisi yang sama masih dijabatnya dalam periode selanjutnya (2003-2008). Aktivitasnya di partai banteng juga mengantarkan Mangara Siahaan sebagai anggota DPR selama tiga periode.
Sejak beberapa tahun terakhir, Mangara tidak lagi duduk sebagai wakil rakyat maupun jabatan di partai. Meski begitu, ia tetap aktif membantu berbagai perhelatan PDI Perjuangan.
Tapi, Januari lalu, dari hasil pemeriksaan dokter, ia diketahui mengidap sindrom mielodisplasia. Sejak itu, kesehatan Mangara menurun drastis. Beberapa kali ia terpaksa keluar-masuk rumah sakit. Sampai Jum’at subuh tadi, Tuhan memanggilnya ke haribaan-Nya.
Selamat jalan Bang Mangara. Jasamu bagi partai tak akan terlupakan. [IH]