Mampukah Selamatkan Garuda dengan Dana Talangan Rp 8,5 Triliun?

Ilustrasi/garuda-indonesia.com

Koran Sulindo – Tulisan politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu viral dan ramai dibicarakan di beberapa grup aplikasi perpesanan WhatsApp pada pertengahan Juni lalu. Tulisan dengan judul BUMN dan UMKM dalam Cerita dan Angka, Siapa Pahlawan Sesungguhnya? itu mengkritik kinerja Menteri BUMN Erick Tohir. Dalam tulisan itu, Adian antara lain mempertanyakan dana Rp 8,5 triliun yang digelontorkan pemerintah untuk PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.

“Lucunya status Rp 8,5 triliun yang didapat Garuda ini tidak jelas diberikan sebagai apa. Apakah sebagai pinjaman atau penambahan modal (saham) negara,” tulis Adian.

Adian mengatakan mestinya Garuda yang sudah menjadi perusahaan terbuka dan sebagian sahamnya tidak lagi dimiliki pemerintah tidak lagi bergantung pada dana pemerintah, tetapi mencari pinjaman atau menerbitkan saham baru. Kalau pun toh pemerintah menyuntikan dana ke Garuda mestinya, kata Adian, kepemilikan swasta di perusahaan itu terdilusi atau berkurang.

Irfan Setiaputra, Direktur Utama Garuda mengatakan dana Rp 8,5 triliun tersebut adalah dana talangan, bukan penyertaan modal negara (PMN). “Itu dana talangan,” tegas Irfan pada Sabtu (13/6) lalu.

Sebelum tulisan Adian itu viral, Erick Tohir sudah menjelaskan soal suntikan dana ke sejumlah BUMN ini termasuk ke Garuda pada saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR pada Selasa (9/6) lalu. Kala itu, Erick menjelaskan total dana yang dikucurkan pemerintah kepada 11 BUMN untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai Rp 143,64 triliun.

Dana yang dikucurkan ini jenisnya berbeda-beda. Erick menjelaskan dari Rp 143,64 triliun tersebut sebagian besar yakni Rp 107,8 triliun atau sekitar 75% adalah piutang atau kewajiban pemerintah yang harus dibayarkan kepada sejumlah BUMN. Sementara 14% atau Rp 19,65 triliun berupa dana talangan dan 11% atau senilai Rp 15,5 triliun berupa penyertaan modal negara (PMN).

Selain PT Garuda Indonesia, BUMN yang mendapatkan dana talangan adalah PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp 3,5 triliun, Perum Perumnas sebesar Rp 650 miliar, PT Krakatau Steel sebesar Rp 3 triliun dan Holding Perkebunan PTPN sebesar Rp 4 triliun. “Dana talangan adalah dana pinjaman yang harus dikembalikan kembali kepada pemerintah beserta bunganya,” ujar Erick Thohir saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Jakarta, Selasa (9/6) lalu.

Dana Talangan
Meski sudah ramai digembar-gemborkan dan dibicarakan publik, sebetulnya kucuran dana talangan pemerintah ini belum masuk ke kas Garuda. Irfan Setiaputra yang dihubungi kembali pada Jumat (26/6) lalu mengatakan dana Rp 8,5 triliun itu belum cair. “Kita tunggu,” jawabnya singkat ketika ditanya lebih jauh kapan dana tersebut dicairkan.

Skema pengembaliannya juga, menurut Irfan masih dibahas.”Masih diskusi awal,” ujarnya.

Karena itu, Irfan pun belum mau bicara blak-blakan soal rencana penggunaan dana Rp 8,5 triliun tersebut. “Kita tunggu hasil diskusinya. Pasti ada syarat boleh dipakai untuk apa saja,” ujarnya.

Jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia dan Indonesia, kondisi keuangan Garuda sebenarnya sudah tidak sehat. Rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER), misalnya, sejak 2014 lalu berada di atas angka satu. Artinya, sebagian besar operasional Garuda didanai oleh utang, bukan oleh ekuitas. Terakhir per 31 Desember 2019, DER Garuda mencapai 5,18. Jumlah ekuitas hanya US$ 720,62 juta. Sementara total liabilitas atau kewajiban mencapai US$ 3,74 miliar.

Sementara di sisi lain, secara bisnis Garuda juga lebih sering mengalami kerugian ketimbang meraih laba bersih. Pendapatan memang naik terus dari tahun ke tahun. Dalam 4 tahun terakhir sejak 2016 misalnya, tingkat rata-rata pertumbuhan pendapatan tahunan (CAGR) sebesar 5,77%. Tetapi tingkat rata-rata pertumbuhan laba bersih tahunan (CAGR) minus 50,94%. Kondisi ini mencerminkan betapa Garuda tidak profitable.

Tak heran ketika pandemi Covid-19 melanda dunia dan perusahaan penerbangan berhenti beroperasi, Garuda menjadi kian oleng. Pada Juni 2020 Garuda nyaris mengalami gagal bayar “Trust Certificates” atau sukuk global senilai US$ 500 juta. Sukuk ini jatuh tempo pada 3 Juni 2020. Menyadari kondisi arus kas (cash flow) yang lagi seret karena dampak pandemi Covid-19, pada 30 April 2020 manajemen Garuda mengajukan permohonan dialog konstruktif dengan para pemegang sukuk.

Kemudian pada 19 Mei 2020, manajemen Garuda mengajukan permohonan perpanjangan jatuh tempo pembayaran sukuk tersebut. Beruntung mayoritas pemegang sukuk yaitu 90,88% atau senilai US$ 454,39 juta kemudian setuju perpanjangan jatuh tempo ini.

Bila tak disetujui, tentu Garuda mengalami gagal bayar. Sebab, mengutip laporan keuangan per akhir 2019, jumlah kas dan setara kas Garuda hanya US$ 299,35 juta. Artinya, kas Garuda pun tak cukup untuk membayar utang jatuh tempo tersebut. Dengan perpanjangan ini, dana talangan dari pemerintah sebesar Rp 8,5 triliun juga tentu tidak akan digunakan untuk melunasi utang tersebut. Tetapi yang pasti kucuran dana dari pemerintah tersebut menjadi beban utang baru bagi Garuda. Menyelesaikan masalah dengan masalah. [Julian A]