Malaysia Masuk Perangkap Tiongkok yang Imperalis

Ilustrasi kerja sama Malaysia dan Tiongkok [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis pada masanya pernah berkata tentang negeri Tiongkok: Ici repose un géant endormi, laissez le dormir, car quand il s’éveillera, il étonnera le monde (Di sinilah seekor raksasa tertidur, biarkan ia tidur, karena ketika ia terbangun, ia akan mengejutkan dunia). Beberapa abad lalu, Napoleon sudah memprediksi akan kebangkitan negeri Tiongkok .

Kini ramalan Napoleon yang bernada khawatir itu menjadi kenyataan. Tiongkok sudah menggeliat menjadi kekuatan ekonomi, politik, dan militer di pentas dunia. Tiongkok kini tumbuh menjadi kekuatan raksasa dunia baik dari segi persenjataan, politik, maupun ekonomi. Karena itu, selain Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Tiongkok kini menjadi kekuatan imperialis baru yang sulit dibantah dalam hubungan internasional.

Kekhawatiran ini pula yang muncul dari seorang Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad. Pada awal terpilih, ia berkeras dan mengirim pesan kuat ke Beijing soal rencananya “memutus” hubungan kerja sama dan membatalkan berbagai proyek infrastruktur yang dibiayai oleh Tiongkok. Mahathir rupanya sudah membaca Tiongkok menjadikan utang sebagai alat untuk mengendalikan – kalau bukan menjajah – suatu negara apabila tak mampu membayar utang.

Kekhawatiran Mahathir itu sungguh beralasan. Tengok, misalnya, Sri Lanka yang boleh disebut terkena jebakan utang Tiongkok. Berawal dari negara tersebut bekerja sama dengan Tiongkok untuk membiayai pembangunan pelabuhan pada 2008. Namun, berjalannya waktu, pemerintah Sri Lanka tak mampu membayar utang dan karena itu kendali pelabuhan tersebut ini berada di bawah Tiongkok lewat perusahaan-perusahaannya dengan pengelolaan hingga 99 tahun.

Ketika mengunjungi Filipina pada Maret lalu, ia menyampaikan kekhawatirannya itu kepada Presiden Rodrigo Duterte. Ia meminta agar pemerintah Filipina berhati-hati untuk berutang kepada Tiongkok. Karena apabila tidak bisa membayar utang, maka Tiongkok akan mengendalikan negara tersebut.

Sebagaimana Napoleon dan Mahathir, pendiri PDI Perjuangan, Sabam Sirait pun selalu mengingatkan agar waspada terhadap perkembangan Tiongkok. “Di masa kepemimpinan Mao Tse Tung, Tiongkok belum ada kecenderungan berperilaku ekspansif. Tapi, sejak dipimpin Deng Xiaoping, kecenderungan ekspansif itu mulai terlihat,” kata Sabam ketika diwawancarai di Jakarta beberapa waktu lalu.

Masalahnya, kekhawatiran Mahathir itu hanya sebentar. Sikapnya terhadap Tiongkok hari ini terutama setelah mengikuti Forum Kedua Jalur Sutra atau One Belt One Road (OBOR) di Beijing pada 25 April lalu, berubah total. Ia mendukung penuh proyek OBOR yang digagas Tiongkok. Mahathir bahkan bersedia meneruskan proyek pembangunan jalur kereta api di Malaysia yang dikerjasamakan dengan perusahaan asal Tiongkok.

Kesediaan Mahathir itu berdasarkan kesepakatan adanya pemotongan biaya hingga sepertiga dari total nilai proyek. Juga karena kesepakatan lainnya seperti pembangunan 10 ribu unit rumah dengan harga terjangkau dan menggunakan sumber daya manusia dari Malaysia. “Saya sepenuhnya mendukung proyek OBOR. Saya yakin Malaysia akan mendapat manfaat dari proyek ini,” kata Mahathir seperti dikutip Associated Press pada 25 April lalu.

Imperialis
Pemerintah Tiongkok tampaknya merasa perlu memberikan penjelasan untuk menepis tuduhan menjadikan utang sebagai perangkap untuk menjajah negara lain. Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi mengatakan, proyek Jalur Sutra akan memberikan manfaat kepada negara-negara berkembang karena mempercepat pembangunan di dalam negeri. Karena itu, Wang Yi menolak, jika pinjaman untuk proyek Jalur Sutra disebut sebagai perangkap utang atau alat untuk memperluas Tiongkok secara geopolitik.

Akan tetapi, benarkah Tiongkok tidak menjadi ancaman dan tetap menjadi sekawan bagi negara-negara Dunia Ketiga?

Wang Yi bisa berdalih atau menyampaikan berbagai alasan untuk menepis tuduhan tersebut. Namun, kajian Pao Yu Ching, Profesor Emeritus Marygrove College, Amerika Serikat justru berkata lain. Dalam China and Chinese People in this New Phase of Imperialism, Pao Yu Ching menuturkan, pentingnya menganalisis pertumbuhan ekonomi Tiongkok secara kritis.

Terutama sejak bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001, Tiongkok memainkan peran paling penting dari negara berkembang menjadi negara maju walau “prestasi” itu kemudian meningkatkan kesenjangan baik di tingkat regional maupun di dalam negeri. Jumlah buruh industri Tiongkok, kata Pao Yu Ching, meningkat pesat dari 20 juta pada 2004 menjadi 80 juta pada 2014.

Dengan demikian, Tiongkok menjadi pemasok buruh industri global dan berupaya menekan secara intensif upah buruh di semua negara. Lalu, konsumen berpendapatan menengah ke atas di Tiongkok mampu membeli 24 juta unit mobil pada 2016. Jumlah ini melebihi penjualan mobil dunia pada 1979.

Selain Menyasar Asia Tenggara, ekspansi modal Tiongkok telah menancap terlebih dulu di Afrika. Sejumlah kalangan menyebut investasi tersebut sebagai bentuk penjajahan baru. Itu sebabnya, Barat yang masih mendominasi negeri-negeri Afrika wajar tidak menyukai perkembangan modal Tiongkok di Afrika. Apalagi perusahaan Barat disebut tidak mampu bersaing dengan perusahaan asal Tiongkok.

Investasi Tiongkok di Afrika mencapai US$ 101 miliar pada 2014. Selama tahun itu pula perdagangan bilateral mencapai US$ 221,9 miliar. Tiongkok juga menawarkan pinjaman sekitar US$ 60 miliar, termasuk US$ 5 miliar dana hibah dan pinjaman tanpa bunga dan berbagai pinjaman-pinjaman lainnya. Selain berinvestasi secara ekonomi, Tiongkok kini mulai membangun pangkalan militernya di Djibouti, Afrika dan Vanuatu, negara kecil di kawasan Pasifik.

Dari fakta itu, Pao Yu Ching menyimpulkan Tiongkok sebagai negara yang sedang berkembang menjadi kekuatan imperialis baru. Rasanya tak berlebihan apa yang disampaikan Pao Yu Ching itu. Merujuk teori Lenin tentang 5 ciri imperialisme, Tiongkok telah memenuhi ciri-ciri tersebut. Dalam Imperialisme, Tingkat Tertinggi Kapitalisme, Lenin mengatakan, ciri pertama imperialisme adalah konsentrasi produksi dan kapital telah mencapai tingkat demikian tingginya hingga membangun monopoli, yang memainkan peranan menentukan dalam kehidupan perekonomian negara kapitalis.

Kedua, berlangsung penggabungan monopoli kapital bank dengan monopoli kapital industri, atas dasar ini terbentuk kapitalisme finansial dan oligarki finansial. Ketiga, mempunyai arti yang istimewa pentingnya adalah ekspor kapital yang berbeda dengan ekspor barang dagangan. Keempat, proses monopolisasi sudah mencapai taraf terbentuknya monopoli internasional yang perkasa hingga di antara mereka terjadi pembagian daerah perekonomian dunia. Kelima, telah berakhir pembagian wilayah antara para penguasa kapitalis yang kuat.

Dari penjelasan Lenin itu, kita mungkin bisa memahami sikap Mahathir yang berubah 180 derajat. Malaysia sudah berada di dalam perangkap dan agaknya sulit untuk melarikan diri dari Tiongkok. [Kristian Ginting]